Sejak awal saya sangat antusias ketika mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang disebut Heart Focus atau Teknologi Ikhlas yang diselenggarakan oleh Katahati Institute. Ikhlas ada teknologinya? Menurut pengalaman beberapa teman, pelatihan ini cukup ampuh untuk membantu kita dalam mengelola emosi, termasuk memulihkan luka batin. Wah, tepat sekali, saya memang sedang punya banyak beban emosi.
Bertempat di sebuah hotel berbintang di Jakarta Selatan, saya bergabung dengan 20 peserta lainnya. Kelas dipandu oleh Mas Nunu – panggilan akrab Erbe Sentanu, pendiri Katahati Institute. Untuk pelatihan ini, kami diminta untuk mengistirahatkan otak kiri, agar otak kanan dapat lebih aktif bekerja. Artinya, kami dilarang untuk terlalu banyak berpikir dan menganalisis materi yang disampaikan. Cukup mendengarkan, melihat tayangan video, serta merasakan saja.
Pelatihan dibuka dengan pertanyaan: “Mana yang lebih berharga, 60 kilogram emas atau 60 kilogram manusia?” Kebanyakan peserta menjawab 60 kilogram emas. Hal ini aneh, sebab manusia diciptakan oleh Tuhan demikian sempurna dan merupakan makhluk yang memiliki kemampuan tak terbatas. Tapi mengapa kita menganggap kurang berharga dibanding emas? Pasalnya, selama ini kita banyak diracuni oleh emosi-emosi negatif, sehingga lupa akan kemuliaan diri sendiri.
Benar juga. Saya sendiri merasakan betapa mudahnya terpancing amarah, kesal atau kecewa terhadap lingkungan atau sikap orang lain. Kita sering terpaku pada pemuasan ego atau nafsu pribadi, sehingga sulit menerima bila kita gagal memperoleh sesuatu. Akibatnya kita merasa sedih, putus asa, atau takut berbuat kesalahan. Emosi-emosi, seperti putus asa (apathy), takut (fear), sedih (grief), marah (anger), nafsu (lust), dan sombong (pride), menyebabkan ‘ruang ‘gerak kita terbatas, sehingga kita sulit untuk merasa ikhlas. Padahal ikhlas adalah kunci dari rasa bahagia yang sebenarnya.
Masalahnya, otak memiliki suatu mekanisme yang bisa mengundang emosi tertentu. Jika emosi-emosi negatif tetap bercokol di hati kita, lama-kelamaan kita seperti ‘kecanduan’ dan terjebak dalam lingkaran emosi tersebut. Ketika kita marah dengan meledak-ledak misalnya, orang lain menjadi tidak nyaman atau berbalik memaki-maki. Sebaliknya bila rasa marah itu diabaikan atau diingkari, tidak akan hilang, tetapi ia ‘bersembunyi’ di alam bawah sadar, yang suatu saat siap ‘meledak’.
Emosi adalah energi yang bergerak, maka tidak dapat dimusnahkan begitu saja, tetapi bisa diubah menjadi energi lain. Maka, agar bisa terbebas dari emosi negatif, kita perlu mengubahnya menjadi emosi lain yang memiliki energi lebih tinggi, yaitu: menerima (acceptance), berani (courage), dan yang tertinggi adalah damai (peace). Pada zona tertinggi itulah kita baru benar-benar memasuki perasaan ikhlas, yang berarti juga mencapai kebahagiaan.
Jadi, untuk mendapatkan kebahagiaan, kita harus mencapai rasa ikhlas lebih dulu. Namun
gampang diucapkan, tapi sulit dilakukan. Mas Nunu tidak membahas definisi ikhlas, tetapi ia mengajak kita untuk ‘merasakannya’ langsung melalui meditasi rasa. Caranya boleh pilih: dengan melepaskan secara langsung (direct releasing), menyambut/membiarkan (welcoming/allowing), atau menyelam ke dalam perasaan itu (diving in).
Kami diminta untuk membayangkan suatu kejadian atau seseorang yang memicu emosi negatif kita, kemudian kita mempraktekkan pelepasannya dengan ketiga metode tersebut. Misalnya kita sedang marah atau kecewa terhadap si A, rasakan benar-benar kemarahan itu, ‘peluk’ perasaan itu erat-erat. Lalu, lepaskan perasaan tersebut perlahan-lahan. Setelah saya selesai mempraktekkannya, memang muncul perasaan ringan dan lega.
Dari pelatihan dua hari itu, saya ingin berbagi cara melepaskan perasaan negatif:
1. Duduklah di tempat yang tenang, bisa dengan memejamkan mata atau tidak.
2. Konsentrasikan pikiran Anda pada perasaan negatif atau nafsu yang sedang muncul (misalnya Anda marah pada seseorang, atau Anda sedih karena tidak mendapatkan perhatian dari seseorang). Rasakan benar-benar perasaan itu sedalam-dalamnya; Anda boleh menangis atau bahkan meratap.
3.Lepaskan perlahan-lahan perasaan itu, seperti Anda melepaskan sesuatu dari genggaman.
4. Rasa ikhlas dan damai akan muncul perlahan dengan sendirinya.
Bertempat di sebuah hotel berbintang di Jakarta Selatan, saya bergabung dengan 20 peserta lainnya. Kelas dipandu oleh Mas Nunu – panggilan akrab Erbe Sentanu, pendiri Katahati Institute. Untuk pelatihan ini, kami diminta untuk mengistirahatkan otak kiri, agar otak kanan dapat lebih aktif bekerja. Artinya, kami dilarang untuk terlalu banyak berpikir dan menganalisis materi yang disampaikan. Cukup mendengarkan, melihat tayangan video, serta merasakan saja.
Pelatihan dibuka dengan pertanyaan: “Mana yang lebih berharga, 60 kilogram emas atau 60 kilogram manusia?” Kebanyakan peserta menjawab 60 kilogram emas. Hal ini aneh, sebab manusia diciptakan oleh Tuhan demikian sempurna dan merupakan makhluk yang memiliki kemampuan tak terbatas. Tapi mengapa kita menganggap kurang berharga dibanding emas? Pasalnya, selama ini kita banyak diracuni oleh emosi-emosi negatif, sehingga lupa akan kemuliaan diri sendiri.
Benar juga. Saya sendiri merasakan betapa mudahnya terpancing amarah, kesal atau kecewa terhadap lingkungan atau sikap orang lain. Kita sering terpaku pada pemuasan ego atau nafsu pribadi, sehingga sulit menerima bila kita gagal memperoleh sesuatu. Akibatnya kita merasa sedih, putus asa, atau takut berbuat kesalahan. Emosi-emosi, seperti putus asa (apathy), takut (fear), sedih (grief), marah (anger), nafsu (lust), dan sombong (pride), menyebabkan ‘ruang ‘gerak kita terbatas, sehingga kita sulit untuk merasa ikhlas. Padahal ikhlas adalah kunci dari rasa bahagia yang sebenarnya.
Masalahnya, otak memiliki suatu mekanisme yang bisa mengundang emosi tertentu. Jika emosi-emosi negatif tetap bercokol di hati kita, lama-kelamaan kita seperti ‘kecanduan’ dan terjebak dalam lingkaran emosi tersebut. Ketika kita marah dengan meledak-ledak misalnya, orang lain menjadi tidak nyaman atau berbalik memaki-maki. Sebaliknya bila rasa marah itu diabaikan atau diingkari, tidak akan hilang, tetapi ia ‘bersembunyi’ di alam bawah sadar, yang suatu saat siap ‘meledak’.
Emosi adalah energi yang bergerak, maka tidak dapat dimusnahkan begitu saja, tetapi bisa diubah menjadi energi lain. Maka, agar bisa terbebas dari emosi negatif, kita perlu mengubahnya menjadi emosi lain yang memiliki energi lebih tinggi, yaitu: menerima (acceptance), berani (courage), dan yang tertinggi adalah damai (peace). Pada zona tertinggi itulah kita baru benar-benar memasuki perasaan ikhlas, yang berarti juga mencapai kebahagiaan.
Jadi, untuk mendapatkan kebahagiaan, kita harus mencapai rasa ikhlas lebih dulu. Namun
gampang diucapkan, tapi sulit dilakukan. Mas Nunu tidak membahas definisi ikhlas, tetapi ia mengajak kita untuk ‘merasakannya’ langsung melalui meditasi rasa. Caranya boleh pilih: dengan melepaskan secara langsung (direct releasing), menyambut/membiarkan (welcoming/allowing), atau menyelam ke dalam perasaan itu (diving in).
Kami diminta untuk membayangkan suatu kejadian atau seseorang yang memicu emosi negatif kita, kemudian kita mempraktekkan pelepasannya dengan ketiga metode tersebut. Misalnya kita sedang marah atau kecewa terhadap si A, rasakan benar-benar kemarahan itu, ‘peluk’ perasaan itu erat-erat. Lalu, lepaskan perasaan tersebut perlahan-lahan. Setelah saya selesai mempraktekkannya, memang muncul perasaan ringan dan lega.
Dari pelatihan dua hari itu, saya ingin berbagi cara melepaskan perasaan negatif:
1. Duduklah di tempat yang tenang, bisa dengan memejamkan mata atau tidak.
2. Konsentrasikan pikiran Anda pada perasaan negatif atau nafsu yang sedang muncul (misalnya Anda marah pada seseorang, atau Anda sedih karena tidak mendapatkan perhatian dari seseorang). Rasakan benar-benar perasaan itu sedalam-dalamnya; Anda boleh menangis atau bahkan meratap.
3.Lepaskan perlahan-lahan perasaan itu, seperti Anda melepaskan sesuatu dari genggaman.
4. Rasa ikhlas dan damai akan muncul perlahan dengan sendirinya.
Shinta Kusuma