Jangan biarkan mimpi hanya tinggal mimpi. Dengan sedikit 'kenekatan', Anda pasti bisa mewujudkannya di usia berapa pun.
RANI R. MOEDIARTA, Pindah ke Bali, Sendirian!
“Duh, aku ingiiin... deh, tinggal di Bali.” Coba ingat-ingat lagi, berapa kali gagasan itu muncul dalam pikiran Anda, khususnya setiap kali pulang berlibur dari Bali. Namun, biasanya, semua itu cuma omong doang. Pindah ke Bali? Wah, bagaimana dengan karier saya? Mau kerja apa di sana? Bagaimana sekolah anak-anak? Bagaimana kalau ternyata tidak betah? Walhasil, semua berakhir dengan gone with the wind.
Tapi, tidak demikian Rani R. Moediarta (50), penulis freelance dan mantan wartawati yang kerap mengisi rubrik Jeda di Pesona. Saat meliput upacara ngaben Raja Gianyar di Ubud, 1997, ia terpukau oleh alam, budaya dan masyarakat Bali. “Musiknya seperti memanggil-manggil,” kenang Rani. Apalagi, menurut seorang teman, Ubud berarti obat, obat bagi jiwa. “Kata dia, kalau punya masalah, keinginan yang tak sampai, atau karya mandek, tinggal saja di Ubud sebulan. Pasti yang diinginkan akan tercapai. Saya memilih percaya.”
Seiring dengan makin tidak nyamannya suasana Jakarta (makin macet dan jauh), ia mulai kepikiran untuk meninggalkan Jakarta. Suatu hari pada 2005, bersama beberapa teman sesama lajang, Rani berdiskusi soal tinggal bersama di hari tua. Bikin compound di Bali: sharing halaman, membangun rumah masing-masing, kecil-kecil saja. “Karena sudah punya bibit rindu pada Bali, sayalah yang paling serius menanggapi. Kenapa mesti menunggu tua?”
Ia lantas berinisiatif mencari tanah di Bali, dibantu beberapa teman. Ada 12 tawaran tanah for sale di sekitar Ubud, Tabanan, Payangan, dan Mambal. Tapi akhirnya yang terpilih –karena harganya paling murah- adalah sebidang tanah di Desa Ungasan –wilayah perbukitan menuju ke arah Uluwatu, dengan pemandangan laut dari ketinggian. Tapi, celakanya, teman-teman yang dulu bersemangat untuk sharing, ternyata tidak serius. “Mereka malah kaget melihat saya serius. Ternyata saya saja yang ge-er,” ucap Rani, tertawa.
Karena hati sudah bulat, Rani nekat membeli tanah seluas 2400 meter persegi itu sendiri, dengan memindahkan seluruh aset miliknya, ditambah pinjaman dari seorang sahabat. Sebagai single parent berputra tunggal yang kini sudah mandiri, Rani memang tak punya banyak 'beban'. Pelan-pelan, dibantu para sahabat, ia membangun istana impiannya, yang kemudian diberinya nama Villa Tulipe.