Tanggal 13 Maret 2013 adalah hari kedua conclave (konklaf: sidang para kardinal) di Kapel Sistine Vatikan untuk memilih Paus yang baru. Pengunduran diri Paus Benediktus XVI membuat hati umat Katolik sedunia diliputi sejuta tanda tanya. Kasusnya persis sama seperti 600 tahun silam ketika Paus Celestine V mengundurkan diri. Proses pemilihan Paus pengganti pun membuat umat Katolik tak kalah penasaran. Mereka menantikan asap putih mengepul dari cerobong asap Kapel Sistine, pertanda telah terpilihnya seorang Paus baru yang akan memimpin umat Katolik sedunia.
Habemus Papam! Paus baru telah terpilih! Seruan dari atas balkon Gereja Santo Petrus Vatikan mengakhiri penantian itu. Voting sudah dilakukan, dan hasilnya Kardinal Bergoglio terpilih menjadi Paus yang baru. Teman terdekatnya, satu dari 114 kardinal yang hadir, Claudio Hummes - mantan Uskup Agung Sao Paulo, Brasil— duduk di sebelahnya. Sadar bahwa Bergoglio akan segera menjadi Paus yang nantinya tak boleh mengumbar emosi secara sembarangan, Claudio segera memeluk Bergoglio dan berkata, “Jangan lupakan kaum miskin.”
Paus terpilih yang kemudian bergelar Paus Fransiskus rupanya terus mengingat pesan sang sahabat. “Kaum miskin, kaum miskin. Sejak itu saya selalu mengingat Fransiskus dari Asisi,” ujar Bergoglio yang kemudian memilih nama Francesco I (Francis atau Fransiskus) sebagai nama kepausannya untuk menghormati Santo Fransiskus dari Asisi, anak orang kaya yang peduli pada orang miskin dan sangat rendah hati, yang kemudian mendirikan Ordo Fransiskan pada abad ke-13.
Inilah langkah pertama Bergoglio sebagai Paus Fransiskus: fokus kepada orang miskin, berbuat amal, jujur, dan rendah hati. Ditahbiskan pada 19 Maret 2013 lalu, berita tentang sang Paus baru memenuhi halaman depan media cetak dan online serta menjadi headline news di televisi seluruh dunia: mulai dari sang Paus baru yang meminta kepada seluruh umat agar memberkatinya (sebelum ia memberkati orang lain), Paus naik bus, Paus membayar hotel sendiri, Paus memilih sepatu, hingga Paus memimpin misa pertamanya di Gereja Santa Anna, gereja terkecil di wilayah Vatikan.
Sang Paus baru adalah orang Argentina sekaligus orang Italia, umurnya sudah 76 tahun, paru-parunya tinggal satu, ia memasak sendiri makanannya, ia seorang Yesuit, berada di Argentina selama periode perang saudara yang brutal –yang dikenal dengan sebutan Dirty War. Pada akhirnya sang Paus mengeluarkan pernyataan bahwa ia siap melayani. “Delapan tahun lalu saya belum siap. Sekarang saya siap,” katanya.
Kehadiran Paus Fransiskus yang bersahaja ini memang sangat dibutuhkan oleh gereja-gereja miskin –maksudnya, umat Katolik di negara-negara miskin. Ia juga kerap menjalankan tugasnya tanpa harus selalu taat pada panduan kepausan. Pendek kata, Paus Fransiskus banyak memberi kejutan –sesuatu yang jarang dialami oleh Gereja Katolik.
Tantangan pertama yang ia hadapi tak lama setelah ditahbiskan menjadi paus adalah lawatannya ke Brasil pada Juli lalu yang disambut oleh demonstrasi. Situasi Brasil saat itu memang sedang panas-panasnya. Satu minggu sebelum kedatangannya, Brasil sempat lumpuh karena masyarakatnya melakukan demo besar-besaran terhadap pemerintah mereka yang korup.
Tetapi pada hari ketibaannya, lebih dari 3 juta orang menyambut kedatangannya di Rio de Janeiro. Sekitar satu juta kaum muda juga hadir di kota itu untuk meramaikan Festival Kaum Muda Katolik. Melihat sambutan seperti itu, Paus Fransiskus tidak bisa menutup-nutupi kegembiraannya. Di dalam mobil kepausan yang ia tumpangi, ia berpindah-pindah tempat duduk dari kiri ke kanan supaya dapat menyentuh tangan orang-orang yang mengelu-elukannya, bahkan sempat mencium seorang bayi. “Izinkan saya mengetuk pintu ini. Saya minta izin untuk datang dan tinggal beberapa hari bersama Anda,” kata Paus Fransiskus kepada presiden Brasil Dilma Roussef dan Gubernur Rio de Janeiro, Sergio Cabral.
Namun kehadirannya yang dirancang bersamaan dengan Hari Kaum Muda Sedunia dan konferensi internasional pemuda Katolik ini juga disambut dengan demo di dekat Istana Guanabara oleh massa yang marah karena uang rakyat digunakan untuk menyambut kedatangan sang Paus. Selain itu, rakyat juga marah kepada Cabral yang menghadapi demo antikorupsi itu dengan penuh kekerasan.
Tapi justru di situlah Paus Fransiskus berhasil menunjukkan kharismanya yang istimewa. Ia menegaskan tujuannya untuk mengembalikan fokus Gereja Katolik Roma kepada kaum terpinggirkan, terutama di Brasil dan negara-negara Amerika Latin lainnya yang rata-rata masih miskin. Akibatnya, pemberitaan positif tentang kedatangan sang Paus malah melonjak.
Melompat turun dari mobil kepausan, Paus Fransiskus berjalan menyalami para penyambutnya. “Jangan terbiasa tumbuh dengan kejahatan, tapi perangilah kejahatan,” pesannya dengan lembut kepada masyarakat Varginha, wilayah kumuh yang dulunya merupakan jalur perdagangan gelap obat bius dan senjata. “Jangan kehilangan kepercayaan, jangan biarkan harapanmu dipadamkan.”
Peduli pada kaum miskin dan tertindas memang merupakan salah satu inti ajaran Katolik dan menjadi kepedulian Paus-Paus pendahulunya. Bedanya, Paus Fransiskus langsung mewujudkannya di awal jabatannya. Ia mewujudkannya antara lain dengan melepas simbol-simbol kemewahan seorang paus. Ia memilih tinggal di guesthouse ketimbang di apartemen kepausan yang mewah, mengenakan salib dari besi (bukan dari emas) di dadanya. Ke mana-mana ia menggunakan penerbangan komersial, bukan penerbangan khusus kepausan. Ia juga meminta kepada para imam agar tidak menggunakan mobil mewah dan menghindari hal-hal yang sifatnya duniawi. Memang sudah waktunya rakyat memiliki Paus yang rendah hati dan tidak duniawi.
Habemus Papam! Paus baru telah terpilih! Seruan dari atas balkon Gereja Santo Petrus Vatikan mengakhiri penantian itu. Voting sudah dilakukan, dan hasilnya Kardinal Bergoglio terpilih menjadi Paus yang baru. Teman terdekatnya, satu dari 114 kardinal yang hadir, Claudio Hummes - mantan Uskup Agung Sao Paulo, Brasil— duduk di sebelahnya. Sadar bahwa Bergoglio akan segera menjadi Paus yang nantinya tak boleh mengumbar emosi secara sembarangan, Claudio segera memeluk Bergoglio dan berkata, “Jangan lupakan kaum miskin.”
Paus terpilih yang kemudian bergelar Paus Fransiskus rupanya terus mengingat pesan sang sahabat. “Kaum miskin, kaum miskin. Sejak itu saya selalu mengingat Fransiskus dari Asisi,” ujar Bergoglio yang kemudian memilih nama Francesco I (Francis atau Fransiskus) sebagai nama kepausannya untuk menghormati Santo Fransiskus dari Asisi, anak orang kaya yang peduli pada orang miskin dan sangat rendah hati, yang kemudian mendirikan Ordo Fransiskan pada abad ke-13.
Inilah langkah pertama Bergoglio sebagai Paus Fransiskus: fokus kepada orang miskin, berbuat amal, jujur, dan rendah hati. Ditahbiskan pada 19 Maret 2013 lalu, berita tentang sang Paus baru memenuhi halaman depan media cetak dan online serta menjadi headline news di televisi seluruh dunia: mulai dari sang Paus baru yang meminta kepada seluruh umat agar memberkatinya (sebelum ia memberkati orang lain), Paus naik bus, Paus membayar hotel sendiri, Paus memilih sepatu, hingga Paus memimpin misa pertamanya di Gereja Santa Anna, gereja terkecil di wilayah Vatikan.
Sang Paus baru adalah orang Argentina sekaligus orang Italia, umurnya sudah 76 tahun, paru-parunya tinggal satu, ia memasak sendiri makanannya, ia seorang Yesuit, berada di Argentina selama periode perang saudara yang brutal –yang dikenal dengan sebutan Dirty War. Pada akhirnya sang Paus mengeluarkan pernyataan bahwa ia siap melayani. “Delapan tahun lalu saya belum siap. Sekarang saya siap,” katanya.
Kehadiran Paus Fransiskus yang bersahaja ini memang sangat dibutuhkan oleh gereja-gereja miskin –maksudnya, umat Katolik di negara-negara miskin. Ia juga kerap menjalankan tugasnya tanpa harus selalu taat pada panduan kepausan. Pendek kata, Paus Fransiskus banyak memberi kejutan –sesuatu yang jarang dialami oleh Gereja Katolik.
Tantangan pertama yang ia hadapi tak lama setelah ditahbiskan menjadi paus adalah lawatannya ke Brasil pada Juli lalu yang disambut oleh demonstrasi. Situasi Brasil saat itu memang sedang panas-panasnya. Satu minggu sebelum kedatangannya, Brasil sempat lumpuh karena masyarakatnya melakukan demo besar-besaran terhadap pemerintah mereka yang korup.
Tetapi pada hari ketibaannya, lebih dari 3 juta orang menyambut kedatangannya di Rio de Janeiro. Sekitar satu juta kaum muda juga hadir di kota itu untuk meramaikan Festival Kaum Muda Katolik. Melihat sambutan seperti itu, Paus Fransiskus tidak bisa menutup-nutupi kegembiraannya. Di dalam mobil kepausan yang ia tumpangi, ia berpindah-pindah tempat duduk dari kiri ke kanan supaya dapat menyentuh tangan orang-orang yang mengelu-elukannya, bahkan sempat mencium seorang bayi. “Izinkan saya mengetuk pintu ini. Saya minta izin untuk datang dan tinggal beberapa hari bersama Anda,” kata Paus Fransiskus kepada presiden Brasil Dilma Roussef dan Gubernur Rio de Janeiro, Sergio Cabral.
Namun kehadirannya yang dirancang bersamaan dengan Hari Kaum Muda Sedunia dan konferensi internasional pemuda Katolik ini juga disambut dengan demo di dekat Istana Guanabara oleh massa yang marah karena uang rakyat digunakan untuk menyambut kedatangan sang Paus. Selain itu, rakyat juga marah kepada Cabral yang menghadapi demo antikorupsi itu dengan penuh kekerasan.
Tapi justru di situlah Paus Fransiskus berhasil menunjukkan kharismanya yang istimewa. Ia menegaskan tujuannya untuk mengembalikan fokus Gereja Katolik Roma kepada kaum terpinggirkan, terutama di Brasil dan negara-negara Amerika Latin lainnya yang rata-rata masih miskin. Akibatnya, pemberitaan positif tentang kedatangan sang Paus malah melonjak.
Melompat turun dari mobil kepausan, Paus Fransiskus berjalan menyalami para penyambutnya. “Jangan terbiasa tumbuh dengan kejahatan, tapi perangilah kejahatan,” pesannya dengan lembut kepada masyarakat Varginha, wilayah kumuh yang dulunya merupakan jalur perdagangan gelap obat bius dan senjata. “Jangan kehilangan kepercayaan, jangan biarkan harapanmu dipadamkan.”
Peduli pada kaum miskin dan tertindas memang merupakan salah satu inti ajaran Katolik dan menjadi kepedulian Paus-Paus pendahulunya. Bedanya, Paus Fransiskus langsung mewujudkannya di awal jabatannya. Ia mewujudkannya antara lain dengan melepas simbol-simbol kemewahan seorang paus. Ia memilih tinggal di guesthouse ketimbang di apartemen kepausan yang mewah, mengenakan salib dari besi (bukan dari emas) di dadanya. Ke mana-mana ia menggunakan penerbangan komersial, bukan penerbangan khusus kepausan. Ia juga meminta kepada para imam agar tidak menggunakan mobil mewah dan menghindari hal-hal yang sifatnya duniawi. Memang sudah waktunya rakyat memiliki Paus yang rendah hati dan tidak duniawi.