“Kita tidak boleh hidup bermalas-malasan. Semua harus dikejar, tak boleh lengah, tak boleh berlambat-lambat. Lebih cepat lebih baik. Kalau tidak, kita akan menjadi manusia yang biasa-biasa saja, medioker, tak pernah tercatat dalam sejarah.” Rasanya kita sering mendengar kalimat sejenis itu dalam berbagai pelatihan motivasi.
Tapi, benarkah mereka yang namanya tercatat dalam sejarah adalah orang-orang yang hidupnya selalu bergegas? Rasanya sih, justru sebaliknya. Seorang James Watt (1736-1819), misalnya. Penemu mesin uap itu justru mendapat inspirasi ketika asyik bermalas-malasan mengamati ketel air di dapur ibunya. Saat air menggelegak, tekanan uap air di dalam ketel menekan ke luar, sehingga mengangkat tutup ketel.
James Faraday (1791-1867), penemu listrik, juga 'menemukan' aliran elektromagnetik saat sedang asyik mengamati petir yang sedang 'membelah' langit. Setelah melamun sekian lama, ia mengadakan eksperimen dengan sepotong kawat yang ternyata bisa mengalirkan listrik dari petir tersebut, yang bisa digunakan untuk menggerakkan benda-benda.
Nama Bung Karno (1901-1970) tercatat dengan indah dalam sejarah Indonesia bukan karena hidupnya yang grusa-grusu, melainkan karena kecintaannya yang mendalam dan cita-citanya yang tinggi dan tak pernah putus untuk tanah airnya. Demi cintanya itu, ia rela berkorban dengan dipenjara berkali-kali. Dan justru dalam pengasingannya yang sunyi dan terisolasi itu, ia menuliskan gagasan-gagasannya yang luar biasa untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.
“Jadi, siapa bilang bahwa gagasan-gagasan besar dan penemuan-penemuan penting yang berguna bagi banyak orang lahir dari orang-orang yang hidupnya tergesa-gesa? Justru sebaliknya, hal-hal besar itu justru dihasilkan oleh orang orang-orang yang hidupnya tenang, sehingga mereka bisa fokus menekuni hal-hal yang mereka sukai dengan maksimal dan sepenuh hati,” tegas Erbe Sentanu –akrab disapa Nunu– transformation coach dari Katahati Institute .
Ia menambahkan, sesungguhnya orang Jawa sudah sejak dulu memiliki falsafah hidup 'alon-alon waton kelakon', yang artinya 'pelan-pelan tapi terlaksana' (bukan diterjemahkan sebagai 'biar lambat asal selamat'). “Perjalanan jauh berasal dari langkah kecil, dan hal-hal besar dimulai dari hal-hal kecil yang sepintas lalu mungkin terlihat tidak berarti. Asal kita menekuninya dengan penuh cinta, perlahan-lahan, dan tak pernah bosan, hal yang kecil pun bisa menjelma menjadi sesuatu yang besar,” Nunu menjelaskan.
Buktinya, meski berkarya jauh dari hiruk-pikuk kota besar, dan hanya mengurusi penderita penyakit kusta di pelosok India yang papa, nama Bunda Teresa bisa terkenal ke seluruh dunia, bahkan berhasil meraih Nobel Perdamaian. Dalam ritme hidupnya yang perlahan tapi penuh pengabdian, ia justru berhasil menjadi tokoh yang sangat powerful, khususnya dalam menggalang dana dari seluruh dunia untuk membantu karya kemanusiaannya.
Dan ada satu hal lagi yang tak kalah penting, kata Nunu. Yakinlah bahwa segala sesuatu akan kita dapatkan pada waktunya. Jadi percuma saja kita memaksa diri –atau memaksakan sesuatu— agar lebih cepat mendapatkan hal yang kita inginkan kalau memang belum waktunya. Sayangnya, bagi kebanyakan orang, kesadaran seperti itu baru sebatas 'lip service', tapi belum meyakininya sampai ke hati. Tak heran kalau mereka masih lebih suka bergegas dalam mengejar sesuatu. “Tapi juga bukan berarti bahwa usaha atau bekerja keras jadi tidak penting lagi, lho. Terlalu lugu kalau kita lantas menerjemahkannya seperti itu.”
Tapi, benarkah mereka yang namanya tercatat dalam sejarah adalah orang-orang yang hidupnya selalu bergegas? Rasanya sih, justru sebaliknya. Seorang James Watt (1736-1819), misalnya. Penemu mesin uap itu justru mendapat inspirasi ketika asyik bermalas-malasan mengamati ketel air di dapur ibunya. Saat air menggelegak, tekanan uap air di dalam ketel menekan ke luar, sehingga mengangkat tutup ketel.
James Faraday (1791-1867), penemu listrik, juga 'menemukan' aliran elektromagnetik saat sedang asyik mengamati petir yang sedang 'membelah' langit. Setelah melamun sekian lama, ia mengadakan eksperimen dengan sepotong kawat yang ternyata bisa mengalirkan listrik dari petir tersebut, yang bisa digunakan untuk menggerakkan benda-benda.
Nama Bung Karno (1901-1970) tercatat dengan indah dalam sejarah Indonesia bukan karena hidupnya yang grusa-grusu, melainkan karena kecintaannya yang mendalam dan cita-citanya yang tinggi dan tak pernah putus untuk tanah airnya. Demi cintanya itu, ia rela berkorban dengan dipenjara berkali-kali. Dan justru dalam pengasingannya yang sunyi dan terisolasi itu, ia menuliskan gagasan-gagasannya yang luar biasa untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.
“Jadi, siapa bilang bahwa gagasan-gagasan besar dan penemuan-penemuan penting yang berguna bagi banyak orang lahir dari orang-orang yang hidupnya tergesa-gesa? Justru sebaliknya, hal-hal besar itu justru dihasilkan oleh orang orang-orang yang hidupnya tenang, sehingga mereka bisa fokus menekuni hal-hal yang mereka sukai dengan maksimal dan sepenuh hati,” tegas Erbe Sentanu –akrab disapa Nunu– transformation coach dari Katahati Institute .
Ia menambahkan, sesungguhnya orang Jawa sudah sejak dulu memiliki falsafah hidup 'alon-alon waton kelakon', yang artinya 'pelan-pelan tapi terlaksana' (bukan diterjemahkan sebagai 'biar lambat asal selamat'). “Perjalanan jauh berasal dari langkah kecil, dan hal-hal besar dimulai dari hal-hal kecil yang sepintas lalu mungkin terlihat tidak berarti. Asal kita menekuninya dengan penuh cinta, perlahan-lahan, dan tak pernah bosan, hal yang kecil pun bisa menjelma menjadi sesuatu yang besar,” Nunu menjelaskan.
Buktinya, meski berkarya jauh dari hiruk-pikuk kota besar, dan hanya mengurusi penderita penyakit kusta di pelosok India yang papa, nama Bunda Teresa bisa terkenal ke seluruh dunia, bahkan berhasil meraih Nobel Perdamaian. Dalam ritme hidupnya yang perlahan tapi penuh pengabdian, ia justru berhasil menjadi tokoh yang sangat powerful, khususnya dalam menggalang dana dari seluruh dunia untuk membantu karya kemanusiaannya.
Dan ada satu hal lagi yang tak kalah penting, kata Nunu. Yakinlah bahwa segala sesuatu akan kita dapatkan pada waktunya. Jadi percuma saja kita memaksa diri –atau memaksakan sesuatu— agar lebih cepat mendapatkan hal yang kita inginkan kalau memang belum waktunya. Sayangnya, bagi kebanyakan orang, kesadaran seperti itu baru sebatas 'lip service', tapi belum meyakininya sampai ke hati. Tak heran kalau mereka masih lebih suka bergegas dalam mengejar sesuatu. “Tapi juga bukan berarti bahwa usaha atau bekerja keras jadi tidak penting lagi, lho. Terlalu lugu kalau kita lantas menerjemahkannya seperti itu.”
Tina Savitri