Sebetulnya kesepian adalah hal yang lumrah terjadi pada manusia. Sepanjang masa hidup kita, sekali-dua pasti kita pernah merasakannya. "Karena, kesepian berkaitan dengan relasi kita dengan seseorang. Kita akan diserang rasa kesepian apabila terjadi kesenjangan antara keinginan untuk dekat secara emosional dengan seseorang, tapi kita gagal mencapainya," ujar Agustine Sukarlan Basri, psikolog dari Universitas Indonesia, yang akrab disapa Titien. Dengan kata lain, kesepian bersumber dari cinta atau afeksi yang bertepuk sebelah tangan atau yang tidak berhasil kita dapatkan sesuai harapan kita.
Karena berada di wilayah pikiran (state of mind), kesepian bisa terjadi pada siapa pun, wanita ataupun pria, pada usia berapa pun. Anak-anak, remaja, dewasa, hingga kelompok usia lanjut tak terbebas dari ancaman kesepian: anak yang jarang 'disapa' secara emosional oleh orang tuanya, anak yang merasa tidak diterima oleh lingkungan pergaulannya, pemuda yang naksir berat pada teman sekelasnya tapi tak dilirik sedikit pun oleh gadis pujaan, atau istri yang suaminya lebih suka menghabiskan waktu luang bersama teman-temannya ketimbang bersama sang istri. Orang tua, terutama para ibu yang anak-anaknya sudah meninggalkan rumah (karena menikah/sekolah/bekerja di luar kota) juga kerap diserang rasa kesepian, yang biasa disebut empty nest syndrome alias sindroma sarang kosong.
Menurut Titien, di Amerika Serikat kurva kasus kesepian pada orang-orang usia 80 tahun ke atas biasanya meningkat lagi. Dengan kondisi fisik yang sudah sangat terbatas, mereka merasa 'ditinggalkan' oleh anak-cucu yang sibuk dengan kegiatan masing-masing, sementara pasangan hidup dan teman-teman sebaya sudah banyak yang meninggal dunia. Padahal di masa 'larut senja' itu mereka justru sangat membutuhkan teman dan perhatian dari orang-orang sekitarnya.
Ada anggapan umum bahwa orang yang hidup sendiri alias tidak menikah, atau menikah tapi tidak punya anak, pasti akan merasa kesepian. Itu adalah anggapan yang keliru. "Loneliness (kesepian) tidak sama dengan solitude (kesendirian), karena kondisi kesendirian lebih bersifat fisik, lebih objektif, dan lebih merupakan pilihan, misalnya karena saat itu seseorang memang sedang butuh menyendiri dengan alasan-alasan tertentu, atau karena pada dasarnya dia memang senang menyendiri," kata Titien.
Sementara kesepian berkaitan dengan perasaan (emosi) dan pikiran. Kita bisa saja berada di tengah keramaian, punya suami dan anak-anak di rumah, punya banyak teman, dan dikelilingi kolega di kantor, tapi kita seolah merasa sendirian, terasing, ditinggalkan, tak hidup tak punya arti lagi, atau tidak dimengerti oleh siapa pun, yang pada akhirnya menyisakan rasa hampa dan nelangsa yang sangat menyiksa jiwa dan menggerogoti kebahagiaan kita.
"Orang yang kesepian biasanya lalu mencari pelarian dalam berbagai bentuk. Mulai dari mengisolasi diri secara sosial dan emosional, sering menangis, sering marah-marah kepada orang rumah atau anak buah di kantor tanpa alasan penting, bersikap rewel, merasa putus asa, mengonsumsi minuman keras, berkelahi (biasanya pada anak-anak lelaki remaja), merokok atau makan tanpa henti, dan banyak lagi -yang pada dasarnya merupakan pelampiasan dari ketidakbahagiaan yang dirasakannya," papar Titien.
Karena berada di wilayah pikiran (state of mind), kesepian bisa terjadi pada siapa pun, wanita ataupun pria, pada usia berapa pun. Anak-anak, remaja, dewasa, hingga kelompok usia lanjut tak terbebas dari ancaman kesepian: anak yang jarang 'disapa' secara emosional oleh orang tuanya, anak yang merasa tidak diterima oleh lingkungan pergaulannya, pemuda yang naksir berat pada teman sekelasnya tapi tak dilirik sedikit pun oleh gadis pujaan, atau istri yang suaminya lebih suka menghabiskan waktu luang bersama teman-temannya ketimbang bersama sang istri. Orang tua, terutama para ibu yang anak-anaknya sudah meninggalkan rumah (karena menikah/sekolah/bekerja di luar kota) juga kerap diserang rasa kesepian, yang biasa disebut empty nest syndrome alias sindroma sarang kosong.
Menurut Titien, di Amerika Serikat kurva kasus kesepian pada orang-orang usia 80 tahun ke atas biasanya meningkat lagi. Dengan kondisi fisik yang sudah sangat terbatas, mereka merasa 'ditinggalkan' oleh anak-cucu yang sibuk dengan kegiatan masing-masing, sementara pasangan hidup dan teman-teman sebaya sudah banyak yang meninggal dunia. Padahal di masa 'larut senja' itu mereka justru sangat membutuhkan teman dan perhatian dari orang-orang sekitarnya.
Ada anggapan umum bahwa orang yang hidup sendiri alias tidak menikah, atau menikah tapi tidak punya anak, pasti akan merasa kesepian. Itu adalah anggapan yang keliru. "Loneliness (kesepian) tidak sama dengan solitude (kesendirian), karena kondisi kesendirian lebih bersifat fisik, lebih objektif, dan lebih merupakan pilihan, misalnya karena saat itu seseorang memang sedang butuh menyendiri dengan alasan-alasan tertentu, atau karena pada dasarnya dia memang senang menyendiri," kata Titien.
Sementara kesepian berkaitan dengan perasaan (emosi) dan pikiran. Kita bisa saja berada di tengah keramaian, punya suami dan anak-anak di rumah, punya banyak teman, dan dikelilingi kolega di kantor, tapi kita seolah merasa sendirian, terasing, ditinggalkan, tak hidup tak punya arti lagi, atau tidak dimengerti oleh siapa pun, yang pada akhirnya menyisakan rasa hampa dan nelangsa yang sangat menyiksa jiwa dan menggerogoti kebahagiaan kita.
"Orang yang kesepian biasanya lalu mencari pelarian dalam berbagai bentuk. Mulai dari mengisolasi diri secara sosial dan emosional, sering menangis, sering marah-marah kepada orang rumah atau anak buah di kantor tanpa alasan penting, bersikap rewel, merasa putus asa, mengonsumsi minuman keras, berkelahi (biasanya pada anak-anak lelaki remaja), merokok atau makan tanpa henti, dan banyak lagi -yang pada dasarnya merupakan pelampiasan dari ketidakbahagiaan yang dirasakannya," papar Titien.
Tina Savitri