Siti Aminah
“Mungkin di mata orang, saya tuh, bodoh. Kok, mau saja menyusahkan diri untuk orang lain,” tutur Siti Aminah, suaranya teredam raungan sirene ambulans yang tengah membelah kemacetan Jakarta di suatu siang. Terlihat lelah dan agak mengantuk, sesekali ia memandang ke belakang, memeriksa kondisi pasiennya yang sedang hamil tua dan siap melahirkan. Bayinya diperkirakan cukup besar, sehingga memerlukan alat khusus yang tidak dimiliki posko kesehatan Al-Amien milik Siti Aminah. Alhasil, seorang tukang ojek yang mangkal di sekitar Al-Amien didapuk menjadi sopir ambulans dadakan. Bahkan jika Siti Aminah –akrab disapa Mimin atau Bu Bidan— tidak sedang mengantuk (ia mengaku tidak tidur semalaman karena harus membantu persalinan), tak jarang ia sendiri yang menyetir. Baginya yang terpenting nyawa terselamatkan.
Wanita kelahiran Jombang, 6 Juni 1956, ini memang menyebut dirinya ‘bidan pinggiran’. Selain tempat praktiknya memang di daerah pinggiran (antara Jakarta Utara-Jakarta Timur–Bekasi), pasien yang datang ke poskonya juga rata-rata berasal dari masyarakat ‘pinggiran’, kelas bawah, termasuk para wanita pemulung. Tak heran bila ia kerap menerima bayaran yang seadanya. Kalau pasien tak punya uang, ia cukup dibayar dengan bahan-bahan makanan, ikan hasil tangkapan, bahan bangunan, atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Agar poskonya bisa tetap beroperasi, Mimin memberlakukan subsidi silang.
Bayaran berupa bahan bangunan lantas ia jadikan sebuah bangunan di bantaran sungai di daerah Cakung yang difungsikan sebagai PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) bagi anak-anak balita yang tinggal di daerah kumuh sekitar situ. Di sela kesibukannya, Mimin akitf berkeliling untuk mengadakan pengobatan gratis di daerah-daerah tersebut sambil mengedukasi mereka tentang kesehatan wanita dan anak.
“Saya ikhlas melakukan semua ini. Tujuan saya murni ingin berbuat baik saja, tidak mencari penghargaan apa-apa. Bagi saya, bekerja adalah ibadah. Memang sudah panggilan hati,” ujarnya bersemangat. Dengan bantuan 6 bidan muda binaannya, rumah bertingkat dua miliknya pun dialihfungsikan sebagai posko kesehatan yang di dalamnya terdapat ruang persalinan, lengkap dengan peralatan sederhana, termasuk inkubator buatan. Juga ada ruang perawatan intensif serta ruang ultrasonografi. “Seadanya saja. Kalau harus khusus mengontrak, saya tidak punya biaya.”
Mobil ambulans tua yang digunakan untuk pengobatan keliling serta mengantar pasien rujukan juga merupakan mobil pribadi yang ‘disulap’ seadanya. Sayangnya mobil ini kini lebih sering mogok. “Ibu Mentri Kesehatan (almarhumah) kabarnya sudah menandatangani persetujuan untuk memberikan bantuan mobil ambulans pada kami sejak tahun lalu, tapi sampai sekarang kok, belum sampai juga,” tuturnya sambil sesekali menghapus peluh yang menetes di pelipis akibat ikut mendorong mobil mogok dan berada di dalam mobil tanpa berpendingin, di siang hari yang terik.
Jiwa sosial itu diakuinya sudah ada sejak kecil. Setamat dari pendidikan ilmu keperawatan, ia mengabdikan diri sebagai pegawai negeri dengan menjadi bagian dari angkatan darat. Kariernya berjalan lancar dan ia terlibat dalam banyak kegiatan kemanusiaan. Selanjutnya ia memutuskan pensiun muda dan mencalonkan diri menjadi anggota dewan, dengan harapan dapat menyuarakan aspirasi masyarakat bawah. Sayangnya, walau mendapatkan banyak suara, langkah Mimin terhambat dengan permainan politik dan pendanaan yang terbatas. Daripada menghabiskan banyak dana untuk berpolitik, lebih baik ia gunakan untuk mengobati orang saja. Lebih berguna.
“Kalau dipikir-pikir, memang nggak ada untungnya buat saya. Apalagi kenyataannya lebih banyak pasien yang tidak membayar. Menurut catatan saya, hingga saat ini mencapai 280 juta rupiah biaya pengobatan yang tidak terbayar. Tapi mau bagaimana lagi, faktanya mereka memang tidak mampu membayar,” ucapnya lirih. Untuk menutupi kekurangan dana dan menambah biaya obat-obatan, kini ia tengah berusaha menggadaikan tanah kosong milik keluarganya, atau mengajak teman-temannya untuk bekerjasama menggarapnya. Ia juga memberdayakan keahlian memasak dengan menjual keripik tempe (yang lezat dan renyah) serta menerima pesanan katering dan nasi boks.
“Masakan saya enak, lho, banyak yang suka. Waktu masih pendidikan dulu, saya pernah punya rumah makan. Suami saya dulunya pelanggan masakan saya sekaligus pasien,” ia berpromosi sambil tertawa lepas. Ia bersyukur memiliki suami dan dua anak yang mau mengerti bahkan mendukung kegiatan sosialnya. “Untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, suami yang mengambil alih. Anak-anak pun sudah besar (kuliah S1 dan S2). Walau tidak pernah merasakan hasil kerja keras sendiri, saya bahagia melakukan semua ini,” tuturnya, santai.
“Mungkin di mata orang, saya tuh, bodoh. Kok, mau saja menyusahkan diri untuk orang lain,” tutur Siti Aminah, suaranya teredam raungan sirene ambulans yang tengah membelah kemacetan Jakarta di suatu siang. Terlihat lelah dan agak mengantuk, sesekali ia memandang ke belakang, memeriksa kondisi pasiennya yang sedang hamil tua dan siap melahirkan. Bayinya diperkirakan cukup besar, sehingga memerlukan alat khusus yang tidak dimiliki posko kesehatan Al-Amien milik Siti Aminah. Alhasil, seorang tukang ojek yang mangkal di sekitar Al-Amien didapuk menjadi sopir ambulans dadakan. Bahkan jika Siti Aminah –akrab disapa Mimin atau Bu Bidan— tidak sedang mengantuk (ia mengaku tidak tidur semalaman karena harus membantu persalinan), tak jarang ia sendiri yang menyetir. Baginya yang terpenting nyawa terselamatkan.
Wanita kelahiran Jombang, 6 Juni 1956, ini memang menyebut dirinya ‘bidan pinggiran’. Selain tempat praktiknya memang di daerah pinggiran (antara Jakarta Utara-Jakarta Timur–Bekasi), pasien yang datang ke poskonya juga rata-rata berasal dari masyarakat ‘pinggiran’, kelas bawah, termasuk para wanita pemulung. Tak heran bila ia kerap menerima bayaran yang seadanya. Kalau pasien tak punya uang, ia cukup dibayar dengan bahan-bahan makanan, ikan hasil tangkapan, bahan bangunan, atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Agar poskonya bisa tetap beroperasi, Mimin memberlakukan subsidi silang.
Bayaran berupa bahan bangunan lantas ia jadikan sebuah bangunan di bantaran sungai di daerah Cakung yang difungsikan sebagai PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) bagi anak-anak balita yang tinggal di daerah kumuh sekitar situ. Di sela kesibukannya, Mimin akitf berkeliling untuk mengadakan pengobatan gratis di daerah-daerah tersebut sambil mengedukasi mereka tentang kesehatan wanita dan anak.
“Saya ikhlas melakukan semua ini. Tujuan saya murni ingin berbuat baik saja, tidak mencari penghargaan apa-apa. Bagi saya, bekerja adalah ibadah. Memang sudah panggilan hati,” ujarnya bersemangat. Dengan bantuan 6 bidan muda binaannya, rumah bertingkat dua miliknya pun dialihfungsikan sebagai posko kesehatan yang di dalamnya terdapat ruang persalinan, lengkap dengan peralatan sederhana, termasuk inkubator buatan. Juga ada ruang perawatan intensif serta ruang ultrasonografi. “Seadanya saja. Kalau harus khusus mengontrak, saya tidak punya biaya.”
Mobil ambulans tua yang digunakan untuk pengobatan keliling serta mengantar pasien rujukan juga merupakan mobil pribadi yang ‘disulap’ seadanya. Sayangnya mobil ini kini lebih sering mogok. “Ibu Mentri Kesehatan (almarhumah) kabarnya sudah menandatangani persetujuan untuk memberikan bantuan mobil ambulans pada kami sejak tahun lalu, tapi sampai sekarang kok, belum sampai juga,” tuturnya sambil sesekali menghapus peluh yang menetes di pelipis akibat ikut mendorong mobil mogok dan berada di dalam mobil tanpa berpendingin, di siang hari yang terik.
Jiwa sosial itu diakuinya sudah ada sejak kecil. Setamat dari pendidikan ilmu keperawatan, ia mengabdikan diri sebagai pegawai negeri dengan menjadi bagian dari angkatan darat. Kariernya berjalan lancar dan ia terlibat dalam banyak kegiatan kemanusiaan. Selanjutnya ia memutuskan pensiun muda dan mencalonkan diri menjadi anggota dewan, dengan harapan dapat menyuarakan aspirasi masyarakat bawah. Sayangnya, walau mendapatkan banyak suara, langkah Mimin terhambat dengan permainan politik dan pendanaan yang terbatas. Daripada menghabiskan banyak dana untuk berpolitik, lebih baik ia gunakan untuk mengobati orang saja. Lebih berguna.
“Kalau dipikir-pikir, memang nggak ada untungnya buat saya. Apalagi kenyataannya lebih banyak pasien yang tidak membayar. Menurut catatan saya, hingga saat ini mencapai 280 juta rupiah biaya pengobatan yang tidak terbayar. Tapi mau bagaimana lagi, faktanya mereka memang tidak mampu membayar,” ucapnya lirih. Untuk menutupi kekurangan dana dan menambah biaya obat-obatan, kini ia tengah berusaha menggadaikan tanah kosong milik keluarganya, atau mengajak teman-temannya untuk bekerjasama menggarapnya. Ia juga memberdayakan keahlian memasak dengan menjual keripik tempe (yang lezat dan renyah) serta menerima pesanan katering dan nasi boks.
“Masakan saya enak, lho, banyak yang suka. Waktu masih pendidikan dulu, saya pernah punya rumah makan. Suami saya dulunya pelanggan masakan saya sekaligus pasien,” ia berpromosi sambil tertawa lepas. Ia bersyukur memiliki suami dan dua anak yang mau mengerti bahkan mendukung kegiatan sosialnya. “Untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, suami yang mengambil alih. Anak-anak pun sudah besar (kuliah S1 dan S2). Walau tidak pernah merasakan hasil kerja keras sendiri, saya bahagia melakukan semua ini,” tuturnya, santai.
Ayumi Tanggo