Memikul noken (tas khas Papua yang terbuat dari serat kulit kayu) yang berisi buah-buahan dan sayuran, seorang wanita bernama Halosina mengajak ke empat anaknya yang masih kecil untuk menuruni bukit menuju ke pasar. Seorang ibu bernama Halosina menjadi tokoh sentral dalam film dokumenter ini. Ia adalah istri dari seorang suami yang berpoligami meski tidak punya pekerjaan. Asrida, sang sutradara menjadikan Halosina sebagai potret mayoritas wanita Papua yang kini harus berjuang untuk menghidupi keluarga menggantikan peran para suami yang mengabaikan kebutuhan keluarga. Kebiasaan Asrida yang suka mendengarkan cerita para warga desa membuatnya dapat menarik kesimpulan bahwa para istri di Papua memiliki tanggung jawab yang besar untuk mencari nafkah. Jika laki-laki terbiasa membicarakan hal-hal yang besar seperti politik dan pemekaran wilayah, mengapa para wanita hanya bisa membicarakan hal-hal sederhana seperti apa makanan untuk anak-anaknya? Dengan banyaknya program pemerintah dan pemekaran di berbagai wilayah membuat laki-laki lebih sering menghabiskan waktu di kota dan meninggalkan kebiasaan memagari dan menyiapkan lahan kebun. Absennya para suami membuat istri-istri menanggung beban untuk menanam, merawat, memanen hasil pertanian, hingga menjualnya ke pasar.
Film dokumenter berdurasi 62 menit ini awalnya ingin menceritakan tokoh Halosina sebagai seorang dukun beranak di tengah sulitnya fasilitas kesehatan di Papua. Namun alur cerita diubah sang sutradara saat mendapati Halosina pindah dari kampungnya yang berada di Desa Huguma ke Desa Anjelma, di area pedalaman Yahukimo, sekitar lima jam berjalan kaki dari pinggran kota Wamena, karena dianggap mencuri ubi dari kebun adik iparnya. Kelaparan dan tidak punya uang, Halosina terpaksa mengambil ubi dari kebun adik iparnya untuk memberi makan anak-anaknya. Walau bagaimanapun, perilakunya ini dianggap sebagai pelanggaran hukum adat dan ia harus membayar denda sebesar satu juta rupiah. Halosina pun menghadapi kenyataan pahit saat Hosea sang suami sama sekali tidak membelanya di depan Ketua Adat dan adiknya sang pemilik tanah. Ternyata ada alasan sang suami saat tidak membela istrinya, ia merasa malu tidak bisa memberi makan istri dan anak-anaknya.
Realita kehidupan di Papua seakan sangat jauh dengan kehidupan kita di kota besar seperti Jakarta. Mama-mama di Papua dengan keadaan yang serba sulit karena terbatasnya fasilitas dan mahalnya barang-barang harus bertahan seorang diri menjadi tulang punggung keluarga. Keindahan alam Papua menjadi saksi bisu bagaimana para mama berjuang seorang diri dalam mencari nafkah.
Di film ini, sang sutradara menganalogikan seorang ibu sebagai tanah bagi anak-anaknya. Seorang ibu yang berada dalam kondisi serba nyaman ditambah dukungan suami saja belum tentu bisa membesarkan anak dengan baik. Bagaimana dengan kondisi mama-mama yang penuh tanggung jawab di Papua? Bagaimana nasib anak-anak itu kelak saat dewasa jika tumbuh dari ibu yang berkondisi sulit? Bagi Anda yang tertarik menyaksikan, film ini dirilis serentak pada tanggal 8 Januari 2015 di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Aprilia Ramadhani
Foto: Dok. Kalyana Shira Films