Ke mana rencana Anda menghabiskan weekend? Jika Anda belum memiliki rencana apapun, mungkin bisa menghadiri pameran gitar yang digelar gitaris Dewa Budjana di Museum Nasional, Jakarta. Pameran ini digelar mulai tanggal 30 Agustus hingga 1 September 2013 dan dibuka untuk umum.
Bertepatan dengan hari ulang tahun ke-50, Budjana yang hingga kini masih menjadi gitaris grup band Gigi ini, membuka pameran puluhan gitar kesayangannya. Tak tanggung-tanggung, ke-34 gitar tersebut dilukis oleh 34 pelukis yang berbeda dari berbagai daerah, yang didatanginya secara khusus, satu persatu. Di antaranya ada nama-nama besar seperti Srihadi Soedarsono, Djoko Pekik, Sunaryo, Jeihan Sukmantoro, dan Nyoman Gunarsa, hingga angkatan yang lebih muda seperti Jango Paramarta, Made Sumadiyasa, Putu Sutawijaya, Pande Ketut Taman, dan Nyoman Masriadi. Juga ada nama perupa seperti Nyoman Nuarta, Heri Dono, dan Bob Sick Aditya. Tak ketinggalan pelukis wanita, diantaranya: Ay Tjoe Christine, Midori Hirota, Syagini Ratna Wulan, dan Erica.
Mungkin orang berpendapat bahwa gitar yang dilukis atau diukir adalah seni rupa kontemporer baru, di mana media konvensional berupa kanvas dan kertas, juga kayu, batu, logam, resin atau pvc (yang terakhir ini disebut seni rupa tiga dimensi), diganti dengan gitar. Pendapat ini sepenuhnya benar, tapi lukisan di gitar-gitar Budjana, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar karya seni kontemporer. Di dalam karya yang begitu indah itu, terkandung makna filosofis yang dalam, yaitu bersatunya unsur seni rupa dan seni suara, gambar atau ukiran dengan gitar sebagai instrumen musik. Makna filosofis ini makin terasa karena kolaborasi ini melibatkan para seniman utama di Indonesia.
[Cek bagaimana musik bisa mencegah pikun di sini]
“Saya membebaskan mereka mengeksplorasi gitar saya. Sebab sebagai musisi, saya juga tidak suka didikte,” ujar Budjana dalam konferensi pers di Museum Nasional, Jumat (30/8/2013). Ia mengisahkan, banyak pengalaman tak terlupakan selama proses kurasi seluruh gitarnya tersebut. Ada pelukis yang sudah berusia 90-an tahun dan merasa sudah tak sanggup melukis. Tak tega melihat pelukis tersebut, akhirnya gitar Budjana hanya ditanda tangani oleh sang pelukis. Tak hanya dilukis, ada pula gitar yang diukir, bahkan ada gitar yang diubah fungsinya sampai Budjana tak bisa menggunakannya lagi sebagai alat musik.
Tidak hanya mengumpulkan para maestro seni rupa, Budjana juga mengajak para fotografer profesional, yaitu Jay Subiakto, Rio Helmi, Ray Bachtiar, Darwis Triadi, Anton Ismael, Aryono Huboyo Djati, dan Firdaus Fadlil. Mereka tidak hanya memotret gitar yang selesai dilukis, tetapi juga proses pengerjaannya. Foto-foto ini kemudian dibukukan, dan diluncurkan pada saat pembukaan pameran.
Buku berjudul “Dawai-Dawai Dewa Budjana” ini ditulis oleh Bre Redana, Redaktur Senior Kompas. Bre dipilih karena dianggap cukup tahu musik dan banyak bergaul dengan para pelukis. Bre harus membuat tulisan sebanyak jumlah gitar yang dilukis.
Buku tersebut bukan akhir dari proyek ini. Budjana akan membuatkan ‘rumah’ bagi ke-34 gitarnya tersebut. Sebidang tanah telah disiapkan di Payogan, Ubud, Bali, yang di atasnya kelak akan dibangun sebuah museum yang diberi nama “Museum Gitarku”. Gambar arsitek dan konstruksinya telah selesai dibuat oleh Popo Danes, arsitek kelas dunia asal Bali. Museum ini akan jadi bagian dari Resor Santosa.
“Untuk saat ini, saya masih menggunakan gitar-gitar yang telah dilukis itu. Setelah museumnya selesai, saya akan menyimpan semua gitar saya di dalam museum dan tidak akan digunakan lagi,” ungkapnya.
Tenni Purwanti