Apa yang membuat seorang desainer produk multitalenta seperti Philippe Starck dapat terus menelurkan karya-karya yang berkualitas? Dalam sebuah wawancara, ia menjawab, “I never read any magazines or watch TV. I live alone mostly, in the middle of nowhere.”
Mungkin Starck – seniman serbabisa yang merancang optical mouse sampai sofa Bubble Club – agak berlebihan. Di era serbacepat sekarang, apa ada orang yang tidak terkoneksi dengan sekitarnya? Mungkin pagi Anda tidak lagi akrab dengan media konvensional. Tapi bangun tidur dan menyambar smartphone untuk membaca timeline media sosial, telah menjadi rutinitas banyak orang. Dunia menjadi semakin riuh dan ‘dekat’. Sehingga mungkin seseorang seperti Starck, yang butuh ketenangan untuk terus berkreasi, memilih hidup ‘in the middle of nowhere’. Ia memutuskan tak mau terbawa tren dan terganggu oleh kicauan media sosial maupun konvensional.
Tapi tak semua orang memilih gaya hidup seperti itu. Kerajaan Inggris saja punya akun resmi di media sosial. Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono, tak ketinggalan. Apalagi Barack Obama, yang kemenangannya menjadi presiden AS periode pertama ditengarai berkat kesuksesannya mengelola media sosial dengan cermat.
Pendek kata, gaya hidup seperti Starck mungkin tak lumrah diadopsi orang biasa. Coba bayangkan apa yang akan dikatakan orang bila Anda mengaku tidak punya akun Facebook, misalnya? Dianggap sebagai makhluk langka? Aneh? Hmm, bisa jadi. Survei Pesona tahun lalu menunjukkan bahwa 91 persen orang memiliki akun Facebook. Maknanya, hampir semua orang merasa perlu memiliki media sosial ciptaan Mark Zuckerberg ini. Walaupun bila dikejar dengan pertanyaan lain seperti, “apakah dengan punya akun media sosial membuat Anda lebih bahagia?” saya tidak yakin semua orang menjawab ya.
Bagi saya sendiri, akun media sosial tidak menjamin kebahagiaan. Jadi pasti hak seseorang bila ia tidak mempunyainya – kecuali kantor tempatnya bekerja memutuskan lain (mungkin untuk membantu eksistensi dan … narsisisme?)
Sekali lagi, aktif di media sosial adalah urusan individual. Namun, tetap perlu hati-hati mengelolanya. Sebab menulis sesuatu – status misalnya – ibarat bicara dengan mikrofon. Kalau tidak mau didengar orang banyak, jangan pernah menuliskannya. Tapi sungguh, saya bisa mengerti pilihan Starck. Hidup sepertinya memang jauh lebih sederhana ketika ‘apple’ dan ‘blackberry’ cuma punya makna tunggal: buah-buahan.
Mungkin Starck – seniman serbabisa yang merancang optical mouse sampai sofa Bubble Club – agak berlebihan. Di era serbacepat sekarang, apa ada orang yang tidak terkoneksi dengan sekitarnya? Mungkin pagi Anda tidak lagi akrab dengan media konvensional. Tapi bangun tidur dan menyambar smartphone untuk membaca timeline media sosial, telah menjadi rutinitas banyak orang. Dunia menjadi semakin riuh dan ‘dekat’. Sehingga mungkin seseorang seperti Starck, yang butuh ketenangan untuk terus berkreasi, memilih hidup ‘in the middle of nowhere’. Ia memutuskan tak mau terbawa tren dan terganggu oleh kicauan media sosial maupun konvensional.
Tapi tak semua orang memilih gaya hidup seperti itu. Kerajaan Inggris saja punya akun resmi di media sosial. Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono, tak ketinggalan. Apalagi Barack Obama, yang kemenangannya menjadi presiden AS periode pertama ditengarai berkat kesuksesannya mengelola media sosial dengan cermat.
Pendek kata, gaya hidup seperti Starck mungkin tak lumrah diadopsi orang biasa. Coba bayangkan apa yang akan dikatakan orang bila Anda mengaku tidak punya akun Facebook, misalnya? Dianggap sebagai makhluk langka? Aneh? Hmm, bisa jadi. Survei Pesona tahun lalu menunjukkan bahwa 91 persen orang memiliki akun Facebook. Maknanya, hampir semua orang merasa perlu memiliki media sosial ciptaan Mark Zuckerberg ini. Walaupun bila dikejar dengan pertanyaan lain seperti, “apakah dengan punya akun media sosial membuat Anda lebih bahagia?” saya tidak yakin semua orang menjawab ya.
Bagi saya sendiri, akun media sosial tidak menjamin kebahagiaan. Jadi pasti hak seseorang bila ia tidak mempunyainya – kecuali kantor tempatnya bekerja memutuskan lain (mungkin untuk membantu eksistensi dan … narsisisme?)
Sekali lagi, aktif di media sosial adalah urusan individual. Namun, tetap perlu hati-hati mengelolanya. Sebab menulis sesuatu – status misalnya – ibarat bicara dengan mikrofon. Kalau tidak mau didengar orang banyak, jangan pernah menuliskannya. Tapi sungguh, saya bisa mengerti pilihan Starck. Hidup sepertinya memang jauh lebih sederhana ketika ‘apple’ dan ‘blackberry’ cuma punya makna tunggal: buah-buahan.
Hannie Kusuma