Secara terminologi medis, tidak ada penyakit yang namanya 'lupa berat'. Jika seseorang tidak bisa mengingat kejadian di masa lalu, belum tentu langsung dikatakan ia menderita alzheimer. Selain itu, kegagalan mengingat juga tidak selalu berhubungan dengan usia. Bisa karena kita kurang berkonsentrasi atau karena memang ada gangguan pada anatomi otak akibat benturan keras di kepala atau penyakit tertentu (stroke, epilepsi, dll)
Namun, untuk bisa mengatakan ini lupa ringan atau berat, kata dr. Suryo Dharmono, Sp.K (J), psikiater dari RS Cipto Mangunkusumo, tidak bisa hanya dilihat dari satu parameter. Sekalipun seseorang mengalami kerusakan anatomi pada otak (dari hasil pemeriksaan MRI atau CT Scan), tetap harus diperkuat dengan serangkaian tes neurokognitif, seperti: mini-mental state evaluation. Dari hasil tes ini baru terlihat apakah gangguan kognitif yang terjadi bersifat permanen atau temporer.
Yang perlu diwaspadai adalah jika lupa yang dialami sudah mengganggu aktivitas keseharian, mengubah perilaku, dan membahayakan diri sendiri maupun lingkungan. Hal ini yang biasa dialami oleh mereka yang mengidap demensia atau pikun. Demensia dibedakan antara demensia alzheimer (karena proses penuaan) dan demensia vaskular (disebabkan oleh adanya gangguan pada pembuluh darah seperti stroke).
Selain faktor organik, kegagalan mengingat juga bisa dipengaruhi oleh kondisi psikologis. Salah satunya emosi. Menurut Kristy Nielson dari Marquette University in Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat, emosi yang meluap-luap (excitement) sebenarnya dapat memperkuat ingatan seseorang. Hal ini terjadi karena perasaan tersebut memicu adrenalin sehingga bisa mengaktifkan hippocampus. Hal ini menjelaskan mengapa kejadian yang sangat menyenangkan atau sangat menyebalkan akan lebih mudah diingat ketimbang ingatan yang netral (tidak membangkitkan emosi apapun).
Lupa selektif ini merupakan bentuk “benteng pertahanan pribadi” (defense mechanism). Jika pada kasus amnesia organik orang diminta terus-menerus mengingat, maka pada kasus penanganan amnesia psikogenik, perlu dilakukan terapi (psikoterapi) untuk memulihkan efek traumatis pada pasien. “Penanganannya perlu hati-hati dan memakan waktu lebih lama karena harus menunggu kesiapan mental pasien,” ungkap dr. Suryo.
Stop multitasking
Terkadang kita lupa bukan karena tidak ingat, tapi karena terlalu banyak informasi yang diproses dalam suatu waktu. Inilah salah satu efek samping jika kita sering mengerjakan banyak tugas sekaligus (multitasking). Selain tidak fokus, multitasking dapat memicu stres sehingga mengganggu kerja otak dalam memroses informasi.
Dalam keadaan stres, hipotalamus (bagian kecil otak yang terletak di bawah otak besar dan talamus) mengeluarkan hormon kortisol. Jika hormon ini berlebihan, akan menimbulkan kerusakan pada dinding pembuluh darah, meningkatkan kadar gula darah, dan meracuni hippocampus (bagian otak yang merupakan “bank data”).
Namun, untuk bisa mengatakan ini lupa ringan atau berat, kata dr. Suryo Dharmono, Sp.K (J), psikiater dari RS Cipto Mangunkusumo, tidak bisa hanya dilihat dari satu parameter. Sekalipun seseorang mengalami kerusakan anatomi pada otak (dari hasil pemeriksaan MRI atau CT Scan), tetap harus diperkuat dengan serangkaian tes neurokognitif, seperti: mini-mental state evaluation. Dari hasil tes ini baru terlihat apakah gangguan kognitif yang terjadi bersifat permanen atau temporer.
Yang perlu diwaspadai adalah jika lupa yang dialami sudah mengganggu aktivitas keseharian, mengubah perilaku, dan membahayakan diri sendiri maupun lingkungan. Hal ini yang biasa dialami oleh mereka yang mengidap demensia atau pikun. Demensia dibedakan antara demensia alzheimer (karena proses penuaan) dan demensia vaskular (disebabkan oleh adanya gangguan pada pembuluh darah seperti stroke).
Selain faktor organik, kegagalan mengingat juga bisa dipengaruhi oleh kondisi psikologis. Salah satunya emosi. Menurut Kristy Nielson dari Marquette University in Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat, emosi yang meluap-luap (excitement) sebenarnya dapat memperkuat ingatan seseorang. Hal ini terjadi karena perasaan tersebut memicu adrenalin sehingga bisa mengaktifkan hippocampus. Hal ini menjelaskan mengapa kejadian yang sangat menyenangkan atau sangat menyebalkan akan lebih mudah diingat ketimbang ingatan yang netral (tidak membangkitkan emosi apapun).
Lupa selektif ini merupakan bentuk “benteng pertahanan pribadi” (defense mechanism). Jika pada kasus amnesia organik orang diminta terus-menerus mengingat, maka pada kasus penanganan amnesia psikogenik, perlu dilakukan terapi (psikoterapi) untuk memulihkan efek traumatis pada pasien. “Penanganannya perlu hati-hati dan memakan waktu lebih lama karena harus menunggu kesiapan mental pasien,” ungkap dr. Suryo.
Stop multitasking
Terkadang kita lupa bukan karena tidak ingat, tapi karena terlalu banyak informasi yang diproses dalam suatu waktu. Inilah salah satu efek samping jika kita sering mengerjakan banyak tugas sekaligus (multitasking). Selain tidak fokus, multitasking dapat memicu stres sehingga mengganggu kerja otak dalam memroses informasi.
Dalam keadaan stres, hipotalamus (bagian kecil otak yang terletak di bawah otak besar dan talamus) mengeluarkan hormon kortisol. Jika hormon ini berlebihan, akan menimbulkan kerusakan pada dinding pembuluh darah, meningkatkan kadar gula darah, dan meracuni hippocampus (bagian otak yang merupakan “bank data”).
Di sinilah kita perlu belajar untuk memperlambat ritme kerja dan relaks. Lakukan tugas satu per satu, sehingga kita pun menjadi lebih tenang dan berkonsentrasi. Riset terakhir dari The California Institute of Technology, Amerika Serikat, membuktikan bahwa ingatan seseorang akan semakin kuat dan bertahan lama jika ia dalam kondisi santai. Jadi, sesibuk apa pun, cobalah luangkan waktu untuk bersantai. Bisa dengan duduk minum kopi di taman, menikmati udara segar, mendengarkan lagu favorit hingga belajar meditasi.
Shinta Kusuma