Pada intinya semua orang ingin menampilkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan citra diri yang dimilikinya atau ingin diciptakannya. Namun citra diri yang positif dinilai dalam berbagai situasi dan harus teruji waktu. “Kalau ia konsisten menampilkan citra diri yang sama dan diikuti dengan track record yang baik, maka pencitraan tersebut akan semakin kuat dan orang pun akan memiliki trust kepada Anda,” Indayati Oetomo, image consultant dan pendiri John Roberts Power Indonesia, menjelaskan.
Namun, banyak juga orang yang demi mengejar ambisi tertentu, lantas mengemas dirinya terlalu berlebihan. Mereka berupaya mengekspos diri dengan berbagai cara. Apalagi dengan adanya sosial media, orang bisa bebas menciptakan citra diri untuk mencapai tujuan tertentu. “Orang seperti ini ‘berbahaya’, karena akan tumbuh menjadi 'narsis' dan bisa menghalalkan segala cara untuk meraih ambisinya,” Inda menambahkan.
Dalam ilmu psikologi, pribadi yang narsis adalah orang yang terlalu mencintai diri sendiri dan sulit berempati kepada orang lain. Menurut American Psychology Association, seorang narsis biasanya juga memiliki gangguan kepribadian lain, seperti histrionic personality disorder, yaitu gemar mengungkapkan emosi secara berlebihan. Salah satu media yang digunakan para narsis untuk mempromosikan diri mereka adalah facebook. Biasanya mereka senang memasang foto profil yang menarik dan ‘beda’ untuk membuat orang lain terpesona.
Penelitian lain yang dilakukan Georgia University, Amerika Serikat, terhadap 130 pengguna facebook menyimpulkan, jumlah teman dan postingan di dinding (wall post) berkaitan dengan tingkat kenarsisan seseorang. Semakin narsis seseorang, jumlah temannya banyak namun tidak punya hubungan personal dengan orang-orang tersebut. Menurut Laura Buffardi, Ph.D, ketua penelitian tersebut, yang penting bagi mereka adalah kuantitas, bukan kualitas. Hasil riset ini dipublikasikan dalam jurnal Personality and Social Psychology Bulletin.
Fatalnya, pencitraan yang kebablasan terkadang juga membuat orang lupa diri. Karena terlalu sering memainkan citra diri yang berbeda dalam berbagai situasi, akhirnya mereka tak tahu lagi kepribadian mereka yang sesungguhnya. Citra diri yang baik, menurut Inda, memang bersifat adaptable, tapi tidak bisa berubah dari karakter aslinya. Misalnya, demi ingin naik jabatan, seseorang lalu mencitrakan dirinya sebagai karyawan teladan yang selalu bersikap manis terhadap rekan kerja maupun atasan. Sementara di luar tempat kerja, ia sering merendahkan atau bersikap kasar terhadap orang lain. Pencitraan seperti ini justru akan menjadi bumerang ketika orang menemukan fakta yang bertolak belakang dari aslinya. Dengan begitu, kepercayaan seseorang kepada dirinya pun akan luntur.
Karena itu, pencitraan diri yang efektif harus dilakukan secara proporsional. Tidak perlu terlalu menonjolkan kelebihan diri sendiri. “Bersikaplah seperti ikan hiu yang tahu kapan dia muncul dan kapan harus ‘tenggelam’. Bukan seperti lumba-lumba yang selalu muncul di permukaan untuk mendapat perhatian,” demikian Inda membuat kiasan.
Bagaimanapun, seperti halnya buku, tampilan cover atau kemasan sampul yang kita ciptakan tetap harus sesuai dengan content-nya. “Pencitraan yang ampuh haruslah didasari oleh kematangan pribadi dan integritas yang tinggi, bukan dengan memanipulasi diri. Apa yang dikatakan, itulah yang dilakukan,” kata Inda.
Namun, banyak juga orang yang demi mengejar ambisi tertentu, lantas mengemas dirinya terlalu berlebihan. Mereka berupaya mengekspos diri dengan berbagai cara. Apalagi dengan adanya sosial media, orang bisa bebas menciptakan citra diri untuk mencapai tujuan tertentu. “Orang seperti ini ‘berbahaya’, karena akan tumbuh menjadi 'narsis' dan bisa menghalalkan segala cara untuk meraih ambisinya,” Inda menambahkan.
Dalam ilmu psikologi, pribadi yang narsis adalah orang yang terlalu mencintai diri sendiri dan sulit berempati kepada orang lain. Menurut American Psychology Association, seorang narsis biasanya juga memiliki gangguan kepribadian lain, seperti histrionic personality disorder, yaitu gemar mengungkapkan emosi secara berlebihan. Salah satu media yang digunakan para narsis untuk mempromosikan diri mereka adalah facebook. Biasanya mereka senang memasang foto profil yang menarik dan ‘beda’ untuk membuat orang lain terpesona.
Penelitian lain yang dilakukan Georgia University, Amerika Serikat, terhadap 130 pengguna facebook menyimpulkan, jumlah teman dan postingan di dinding (wall post) berkaitan dengan tingkat kenarsisan seseorang. Semakin narsis seseorang, jumlah temannya banyak namun tidak punya hubungan personal dengan orang-orang tersebut. Menurut Laura Buffardi, Ph.D, ketua penelitian tersebut, yang penting bagi mereka adalah kuantitas, bukan kualitas. Hasil riset ini dipublikasikan dalam jurnal Personality and Social Psychology Bulletin.
Fatalnya, pencitraan yang kebablasan terkadang juga membuat orang lupa diri. Karena terlalu sering memainkan citra diri yang berbeda dalam berbagai situasi, akhirnya mereka tak tahu lagi kepribadian mereka yang sesungguhnya. Citra diri yang baik, menurut Inda, memang bersifat adaptable, tapi tidak bisa berubah dari karakter aslinya. Misalnya, demi ingin naik jabatan, seseorang lalu mencitrakan dirinya sebagai karyawan teladan yang selalu bersikap manis terhadap rekan kerja maupun atasan. Sementara di luar tempat kerja, ia sering merendahkan atau bersikap kasar terhadap orang lain. Pencitraan seperti ini justru akan menjadi bumerang ketika orang menemukan fakta yang bertolak belakang dari aslinya. Dengan begitu, kepercayaan seseorang kepada dirinya pun akan luntur.
Karena itu, pencitraan diri yang efektif harus dilakukan secara proporsional. Tidak perlu terlalu menonjolkan kelebihan diri sendiri. “Bersikaplah seperti ikan hiu yang tahu kapan dia muncul dan kapan harus ‘tenggelam’. Bukan seperti lumba-lumba yang selalu muncul di permukaan untuk mendapat perhatian,” demikian Inda membuat kiasan.
Bagaimanapun, seperti halnya buku, tampilan cover atau kemasan sampul yang kita ciptakan tetap harus sesuai dengan content-nya. “Pencitraan yang ampuh haruslah didasari oleh kematangan pribadi dan integritas yang tinggi, bukan dengan memanipulasi diri. Apa yang dikatakan, itulah yang dilakukan,” kata Inda.
Shinta Kusuma