Hubungan seorang ibu dan anak perempuannya merupakan hubungan yang istimewa sekaligus rumit. Ikatan batin yang tumbuh kuat sejak di dalam kandungan, membuat kita dengan mudah dekat dan mencintai ibu kita. Dia adalah sosok wanita pertama yang kita kenal, kita kagumi, dan yang akan menentukan citra diri kita sebagai wanita dan sebagai ibu. Namun di sisi lain, kedekatan emosional yang begitu besar juga berpotensi memicu konflik. Mulai dari urusan memilih baju hingga pasangan hidup.
Menurut Linda Perlman Gordon dan Susan Morris Shaffer dalam bukunya, Too Close for Comfort? Questioning the Intimacy of Today's New Mother-Daughter Relationship, hubungan ibu dan anak perempuannya tak pernah berada dalam satu tahap kehidupan yang sama. Ibu selalu ingin menjadi sosok yang mengayomi dan memberi kasih sayang. Ia ingin terus menjaga putrinya agar selalu aman dan bahagia. Itulah sebanya mengapa banyak ibu terkesan selalu ikut campur dalam menentukan langkah hidup anaknya. Mereka seolah ‘lupa’ bahwa semakin bertambah umur, putrinya membutuhkan ruang untuk tumbuh dan menjadi diri sendiri. Tak heran jika kemudian nuansa ‘love and hate’ atau ‘benci tapi rindu’ kerap mewarnai hubungan seorang ibu dan putrinya.
“Baik ibu maupun anak perempuan sebenarnya memiliki kebutuhan yang sama, yaitu cinta, pengertian, dan respek Ketika salah satu atau keduanya tidak memenuhi atau terpenuhi kebutuhan tersebut, maka hubungan mereka pun akan terganggu,” begitu kata psikiater asal Los Angeles, Dr. Charles Sophy, dalam bukunya, Side by Side: The Revolutionary Mother-Daughter Program for Conflict-Free Communication.
Sekalipun ia adalah wanita paling mulia di muka bumi, sosok ibu tidak selamanya sempurna. Ia juga manusia biasa yang bisa berbuat salah dan punya sisi gelap. Mungkin sebagian dari mereka sudah mampu menyelesaikan masalah pribadinya di masa lalu, tetapi ada pula yang belum tuntas. Inilah yang kemudian muncul ke permukaan dalam bentuk sikap, perlakuan, dan kata-kata yang ditunjukkan kepada kita, anak-anaknya. Akibatnya, kadang timbul rasa kesal, sakit hati, mungkin juga dendam kepada ibu kita.
Begitulah ‘ujian rasa’ yang harus kita terima dan jalani. Tetapi kalau kita gagal melewati ujian ini, kita akan terus mengalami episode masalah yang sama dengan anak-anak kita. Tetapi jika kita berhasil melewatinya, kita akan bisa ‘berdamai’ dengan semua pengalaman pahit di masa lalu dan menerima ibu kita dengan segala ‘ketidaksempurnaan’ –nya sebagai bagian dari jati diri kita. Karena, seburuk apa pun, ia tetaplah ibu kita.
Menurut Linda Perlman Gordon dan Susan Morris Shaffer dalam bukunya, Too Close for Comfort? Questioning the Intimacy of Today's New Mother-Daughter Relationship, hubungan ibu dan anak perempuannya tak pernah berada dalam satu tahap kehidupan yang sama. Ibu selalu ingin menjadi sosok yang mengayomi dan memberi kasih sayang. Ia ingin terus menjaga putrinya agar selalu aman dan bahagia. Itulah sebanya mengapa banyak ibu terkesan selalu ikut campur dalam menentukan langkah hidup anaknya. Mereka seolah ‘lupa’ bahwa semakin bertambah umur, putrinya membutuhkan ruang untuk tumbuh dan menjadi diri sendiri. Tak heran jika kemudian nuansa ‘love and hate’ atau ‘benci tapi rindu’ kerap mewarnai hubungan seorang ibu dan putrinya.
“Baik ibu maupun anak perempuan sebenarnya memiliki kebutuhan yang sama, yaitu cinta, pengertian, dan respek Ketika salah satu atau keduanya tidak memenuhi atau terpenuhi kebutuhan tersebut, maka hubungan mereka pun akan terganggu,” begitu kata psikiater asal Los Angeles, Dr. Charles Sophy, dalam bukunya, Side by Side: The Revolutionary Mother-Daughter Program for Conflict-Free Communication.
Sekalipun ia adalah wanita paling mulia di muka bumi, sosok ibu tidak selamanya sempurna. Ia juga manusia biasa yang bisa berbuat salah dan punya sisi gelap. Mungkin sebagian dari mereka sudah mampu menyelesaikan masalah pribadinya di masa lalu, tetapi ada pula yang belum tuntas. Inilah yang kemudian muncul ke permukaan dalam bentuk sikap, perlakuan, dan kata-kata yang ditunjukkan kepada kita, anak-anaknya. Akibatnya, kadang timbul rasa kesal, sakit hati, mungkin juga dendam kepada ibu kita.
Begitulah ‘ujian rasa’ yang harus kita terima dan jalani. Tetapi kalau kita gagal melewati ujian ini, kita akan terus mengalami episode masalah yang sama dengan anak-anak kita. Tetapi jika kita berhasil melewatinya, kita akan bisa ‘berdamai’ dengan semua pengalaman pahit di masa lalu dan menerima ibu kita dengan segala ‘ketidaksempurnaan’ –nya sebagai bagian dari jati diri kita. Karena, seburuk apa pun, ia tetaplah ibu kita.
Shinta Kusuma