Menurut psikolog A. Kasandra Putranto, banyak pertimbangan yang memberatkan pasangan untuk memilih bercerai. Selain memikirkan repotnya mengurus perceraian,muncul ketakutan mengecewakan anak-anak dan keluarga besar, ditambah dengan pandangan miring dari lingkungan sekitar. 'Sudah tua kok mau cerai? Nggak malu sama anak-cucu?' Komentar semacam ini yang kerap memaksa pasangan usia matang tetap mempertahankan perkawinan yang tidak bahagia, dan menunggu sampai maut memisahkan.
Alasan terkuat penyebab terjadinya perceraian di usia matang menurut Kasandra, adalah ketidakpuasan terhadap pasangan. “Mereka ‘merasa’ ada kekurangan pada pasangannya atau kenyataannya memang ada kekurangan pada pasangannya sehingga ia ingin mencari yang lain. Padahal sejatinya setiap manusia pasti punya kekurangan. Apapun kekurangan pasangan sebenarnya bukan alasan untuk bercerai,” paparnya.
Kekecewaan terhadap pasangan ataupun masalah perkawinan yang terakumulasi selama bertahun-tahun dan berusaha diredam karena berbagai pertimbangan, seringkali mencapai titik puncaknya ketika mereka memasuki usia yang semakin matang. Apalagi bila mereka tidak pernah berupaya menyelesaikan masalahnya, misalnya dengan berkonsultasi ke psikolog atau konsultan perkawinan.
Alasan lain, munculnya masalah baru seiring bertambah usia. Misalnya, sang istri yang sudah memasuki masa menopause sehingga malas melakukan hubungan seks. “Semakin berumur seringkali wanita semakin malas untuk berhubungan intim akibat kondisi fisik yang menurun. Sementara laki-laki tetap membutuhkan karena masih punya gairah seksual. Atau, si suami lebih suka menghabiskan waktu dengan berleyeh-leyeh di rumah, sementara istrinya masih ingin bergaul ke luar rumah,” kata Kasandra. “Kondisi ini bisa memicu konflik bahkan perselingkuhan, yang tak menutup kemungkinan berujung pada perceraian.”
(bersambung)