Pada zaman ibu-ibu kita dulu, single income dari suami sudah cukup untuk menghidupi keluarga. Tapi, seiring perkembangan dan tuntutan zaman, hanya mengandalkan gaji suami ternyata sudah tidak cukup lagi, sehingga istri harus ikut bekerja untuk mencari tambahan. Namun belakangan, ketika tuntutan hidup semakin tinggi lagi (karena standar hidup juga makin tinggi), maka biarpun suami dan istri sudah sama-sama bekerja, tetap saja hasilnya belum mencukupi, sehingga keduanya dituntut bekerja lebih keras lagi untuk mencari tambahan, misalnya dengan bekerja lembur atau mencari penghasilan tambahan.
Menurut Roslina Verauli, psikolog dari Universitas Tarumanagara Jakarta, kondisi seperti itu bukan hanya terjadi di kota-kota besar dan di kalangan menengah ke atas yang bekerja di kantoran. Tapi juga di kota-kota kecil dan di kalangan menengah ke bawah, misalnya para pekerja pabrik.
Mau tak mau semua itu ikut mendorong terjadinya perubahan pola dalam masyarakat, termasuk pola perkawinan. Karena sama-sama harus bekerja keras mencari nafkah, suami dan istri jadi sama-sama sibuk, sama-sama terperangkap kemacetan di jalan, sama-sama pulang malam (setidaknya setelah magrib), dan setiba di rumah sama-sama sudah kecapekan. “Karena sama-sama memahami beratnya kehidupan yang harus dijalani setiap hari, suami istri jadi lebih bisa saling memahami kelelahan masing-masing –sekaligus memahami kesenangan dan kepuasan pribadi yang diperoleh dari bekerja— sehingga tidak lagi menuntut pelayanan macam-macam dari pasangannya,” Roslina menjelaskan.
Misalnya, suami masa kini umumnya tidak lagi menuntut istrinya untuk memasak setiap hari atau membuatkan kopi. Mereka tak keberatan menyantap masakan buatan Si Mbak atau yang dibeli dari warung makan. Mereka juga tidak keberatan anak-anak (termasuk yang masih bayi) diasuh oleh baby sitter atau PRT. Sebaliknya, para istri juga tidak lagi menuntut suami mereka menyerahkan seluruh penghasilannya, atau minta diantar jemput setiap hari ke kantor (apalagi kalau arahnya berlawanan).