“Asyik, ya, sekali-sekali ketemu suami, pasti kayak pengantin baru terus.” Kalimat bernada godaan itu kerap dilontarkan oleh teman-teman Mita. Maklum, suami Mita –Pras-- bekerja di sebuah perusahaan minyak di Balikpapan, dan hanya bisa pulang menengok istri dan kedua anaknya di Jakarta tiga minggu sekali –biasanya selama seminggu.
Tapi, tiap kali mendengar komentar seperti itu, Mita justru lebih sering cemberut. “Selama dia di luar kota, saya mengurus anak-anak dan rumah tangga sendirian. Ketika suami pulang, saya berharap dia mau bantu-bantu sedikit mengurus anak atau pekerjaan lain. Bukannya membantu, eh, kerjanya cuma tidur seharian dan minta dilayani ini-itu. Alasan dia, setelah bekerja keras di rig, ia ingin istirahat total di rumah. Enak aja! Memangnya hanya dia yang capek?” ujar Mita dengan suara meninggi.
Menurut teori 'triangle of love'Stenberg, cinta disebut sempurna (consummate love) bila memiliki tiga unsur: passion (gairah), intimacy (keintiman), dan commitment (komitmen).
Dalam perkawinan jarak jauh, unsur yang berpotensi terganggu adalah keintiman. “Karena, keintiman tercipta dari kebersamaan sehari-hari. Makin sering pasangan menghadapi susah-senang bersama-sama, makin dalam keintiman yang tercipta,” papar Ira Puspitawati, psikolog dari Universitas Gunadarma, Depok. Menurutnya, masalah seperti ini sering terjadi di kalangan istri prajurit yang suaminya sering ditugaskan ke luar daerah dalam waktu lama.
Hal itu dibenarkan oleh Mita. “Setiap kali anak sakit, suami lebih sering sedang berada di rig. Kalau saya menelepon, dia hanya bisa bilang, 'Wah, aku nggak bisa pulang. Kamu telepon ibumu atau ibuku saja, minta bantuan mereka'. Padahal, bukannya tidak bisa mengatasi masalah sendirian, tapi saya benar-benar membutuhkan kehadiran suami untuk mendampingi dan memberi support moral,” keluhnya.
Di satu sisi, kondisi itu memang menjadikan Mita sebagai istri yang mandiri dan tidak cengeng. “Tapi, di sisi lain, kalau setiap kali harus menyelesaikan masalah keluarga sendirian, istri bisa menjadi terlalu mandiri dan perlahan-lahan kehilangan ketergantungan terhadap suami. Ini yang pelan-pelan mengikis keintiman. Apalagi kalau pada dasarnya ikatan batin pasangan itu tidak terlalu kuat,” papar Ira.
Kalau dibiarkan berlarut-larut, yang kemudian muncul adalah 'jauh di mata jauh di hati', perasaan kesepian, dan terabaikan. Apalagi kalau sang istri seorang ibu rumah tangga full time dan anak-anak sudah cukup besar dan punya dunia sendiri. Kondisi seperti ini sangat riskan dimasuki pihak ketiga, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Belum lagi usikan rasa curiga dan cemburu yang sering kali mengganggu pasangan yang terpaksa berpisah jauh dalam waktu lama. Apalagi kalau salah satu –atau keduanya-- bertipe pecemburu atau pencuriga. Akibatnya, rasa tenang dan damai tidak lagi menjadi milik Anda. Dan, kalau sudah begitu, setiap kali suami (atau istri) pulang, yang terjadi bukanlah ajang melepas kangen yang melankolis, melainkan justru perang mulut yang hot.
Menurut teori 'triangle of love'Stenberg, cinta disebut sempurna (consummate love) bila memiliki tiga unsur: passion (gairah), intimacy (keintiman), dan commitment (komitmen).
Dalam perkawinan jarak jauh, unsur yang berpotensi terganggu adalah keintiman. “Karena, keintiman tercipta dari kebersamaan sehari-hari. Makin sering pasangan menghadapi susah-senang bersama-sama, makin dalam keintiman yang tercipta,” papar Ira Puspitawati, psikolog dari Universitas Gunadarma, Depok. Menurutnya, masalah seperti ini sering terjadi di kalangan istri prajurit yang suaminya sering ditugaskan ke luar daerah dalam waktu lama.
Hal itu dibenarkan oleh Mita. “Setiap kali anak sakit, suami lebih sering sedang berada di rig. Kalau saya menelepon, dia hanya bisa bilang, 'Wah, aku nggak bisa pulang. Kamu telepon ibumu atau ibuku saja, minta bantuan mereka'. Padahal, bukannya tidak bisa mengatasi masalah sendirian, tapi saya benar-benar membutuhkan kehadiran suami untuk mendampingi dan memberi support moral,” keluhnya.
Di satu sisi, kondisi itu memang menjadikan Mita sebagai istri yang mandiri dan tidak cengeng. “Tapi, di sisi lain, kalau setiap kali harus menyelesaikan masalah keluarga sendirian, istri bisa menjadi terlalu mandiri dan perlahan-lahan kehilangan ketergantungan terhadap suami. Ini yang pelan-pelan mengikis keintiman. Apalagi kalau pada dasarnya ikatan batin pasangan itu tidak terlalu kuat,” papar Ira.
Kalau dibiarkan berlarut-larut, yang kemudian muncul adalah 'jauh di mata jauh di hati', perasaan kesepian, dan terabaikan. Apalagi kalau sang istri seorang ibu rumah tangga full time dan anak-anak sudah cukup besar dan punya dunia sendiri. Kondisi seperti ini sangat riskan dimasuki pihak ketiga, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Belum lagi usikan rasa curiga dan cemburu yang sering kali mengganggu pasangan yang terpaksa berpisah jauh dalam waktu lama. Apalagi kalau salah satu –atau keduanya-- bertipe pecemburu atau pencuriga. Akibatnya, rasa tenang dan damai tidak lagi menjadi milik Anda. Dan, kalau sudah begitu, setiap kali suami (atau istri) pulang, yang terjadi bukanlah ajang melepas kangen yang melankolis, melainkan justru perang mulut yang hot.
(bersambung)