Idealnya sebuah keluarga memang berkumpul, secara fisik dan batin. Atau, paling tidak, lebih banyak berkumpulnya ketimbang berpisah. Bukankah dulu kita sepakat menikah agar bisa senantiasa bersama-sama?
Sayangnya, kenyataan hidup tak selalu sesuai dengan keinginan. Meminta pasangan meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru di kota yang sama dengan Anda, jelas tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi bila pekerjaan itu memberi penghasilan yang memuaskan –yang belum tentu diperoleh dengan mudah di tempat lain-- atau dianggap sebagai suatu achievement yang membanggakan. “Kalau keadaan tidak atau belum memungkinkan untuk diubah, mau tak mau kita harus berdamai dengan kenyataan,” saran Ira Puspitawati, psikolog dari Universitas Gunadarma, Depok, yang belum lama ini sempat berpisah lama dengan suami dan kedua anaknya saat ia mengambil program S3 di Prancis.
Namun, 'berdamai' dalam hal ini bukan berarti kita hanya membiarkan hal-hal yang mengganjal perasaan itu terus berlangsung. “Bila selama ini istri merasa diperlakukan tak adil karena suami lebih banyak bersantai selagi libur, harus dibuat komitmen ulang. Idealnya komitmen dibuat sejak awal, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, mengingat kehidupan perkawinan bukan berlangsung sementara,” Ira menyarankan.
Misalnya, istri harus menyatakan dengan tegas bahwa dia pun butuh waktu istirahat dari pekerjaan rumah tangga, apalagi bila ia juga bekerja di luar rumah. Karena itu, ajaklah suami untuk berbagi tanggung jawab. Bukan berarti suami lantas harus mengambil alih semua tanggung jawab dan Anda enak-enakan ke salon atau tidur, tapi bagilah dengan adil. Saat Anda pijat ke spa, suami yang mengurus anak-anak. Setelah itu, giliran suami yang tidur atau menjalankan hobi pribadinya dan Anda mengurus anak-anak.
“Harus diakui, membuat komitmen seperti ini kedengarannya sederhana, tapi mewujudkannya ternyata tak gampang. Apalagi bila kebiasaan itu sudah berurat-berakar dan tidak ada niat baik dari kedua pihak untuk mengubahnya. Tapi, kalau tidak dilakukan sekarang, makin lama akan makin menumpuk dan akhirnya 'meledak' dalam berbagai bentuk,” tambah Ira.
Ia menambahkan, hal ini juga berlaku bagi para weekend husband dan weekend wife yang hanya bisa pulang ke rumah seminggu sekali (biasanya di akhir minggu) untuk menengok keluarga. “Jangan mentang-mentang suami yang cari uang, lantas ia merasa berhak enak-enakan di rumah. Suami juga harus disadarkan akan beratnya tugas-tugas rumah tangga yang tak ada habisnya dan tak kenal hari libur. Istri juga butuh beristirahat dan berlibur dari pekerjaan sehari-hari,” Ira menegaskan.
Bagaimana soal cemburu dan curiga pada pasangan yang jauh di mata? “Istri memang tidak bisa memonitor setiap gerakan suami yang dia lakukan nun jauh di sana, begitu juga sebaliknya. Tapi, apakah jarak yang dekat bisa dijadikan jaminan bahwa suami atau istri menjadi lebih setia?” Ira balik bertanya. Itulah gunanya komitmen, tambahnya. Dengan komitmen, kita bisa mengontrol dan menyaring apa saja yang boleh dilakukan, dan apa yang sebaiknya dihindari. Apalagi, dengan bantuan teknologi informasi yang makin canggih, mulai dari ponsel 3G hingga video chat, kini Anda dan pasangan (dan anak-anak) tak perlu lagi melewati masa-masa 'putus kontak' seperti yang terjadi di masa lau.
Kendati begitu, perkawinan jarak jauh bukan tak ada asyiknya sama sekali. Jarak yang jauh membuat Anda bisa memiliki kebebasan untuk mengatur kegiatan sendiri. Anda tak perlu bolak-balik minta izin suami untuk melakukan semua hal. Tak ada yang memandang dengan curiga bila Anda menelepon atau chatting di internet dengan teman-teman lama sampai jauh malam. Anda bisa mengikuti kursus bahasa Spanyol dua kali seminggu sambil memandangi guru native speaker-nya yang tampan. Anda juga tak perlu sering-sering melihat wajah jutek suami saat melihat Anda memborong pakaian atau sepatu, dan tak perlu membuatkan kopi setiap pagi.
Anda juga bisa 'jumpalitan' di tempat tidur yang biasanya harus dibagi bersama suami, dan terbebas untuk sementara dari suara ngoroknya yang dahsyat. 'Kemewahan' seperti itu nyaris tak bisa dinikmati oleh para istri yang 'ditongkrongi' suaminya setiap hari. “Pokoknya, sejauh tidak kebablasan dan urusan rumah tangga tetap running well, nikmati saja 'kejombloan' Anda dengan riang gembira,” saran Ira.
Sayangnya, kenyataan hidup tak selalu sesuai dengan keinginan. Meminta pasangan meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru di kota yang sama dengan Anda, jelas tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi bila pekerjaan itu memberi penghasilan yang memuaskan –yang belum tentu diperoleh dengan mudah di tempat lain-- atau dianggap sebagai suatu achievement yang membanggakan. “Kalau keadaan tidak atau belum memungkinkan untuk diubah, mau tak mau kita harus berdamai dengan kenyataan,” saran Ira Puspitawati, psikolog dari Universitas Gunadarma, Depok, yang belum lama ini sempat berpisah lama dengan suami dan kedua anaknya saat ia mengambil program S3 di Prancis.
Namun, 'berdamai' dalam hal ini bukan berarti kita hanya membiarkan hal-hal yang mengganjal perasaan itu terus berlangsung. “Bila selama ini istri merasa diperlakukan tak adil karena suami lebih banyak bersantai selagi libur, harus dibuat komitmen ulang. Idealnya komitmen dibuat sejak awal, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, mengingat kehidupan perkawinan bukan berlangsung sementara,” Ira menyarankan.
Misalnya, istri harus menyatakan dengan tegas bahwa dia pun butuh waktu istirahat dari pekerjaan rumah tangga, apalagi bila ia juga bekerja di luar rumah. Karena itu, ajaklah suami untuk berbagi tanggung jawab. Bukan berarti suami lantas harus mengambil alih semua tanggung jawab dan Anda enak-enakan ke salon atau tidur, tapi bagilah dengan adil. Saat Anda pijat ke spa, suami yang mengurus anak-anak. Setelah itu, giliran suami yang tidur atau menjalankan hobi pribadinya dan Anda mengurus anak-anak.
“Harus diakui, membuat komitmen seperti ini kedengarannya sederhana, tapi mewujudkannya ternyata tak gampang. Apalagi bila kebiasaan itu sudah berurat-berakar dan tidak ada niat baik dari kedua pihak untuk mengubahnya. Tapi, kalau tidak dilakukan sekarang, makin lama akan makin menumpuk dan akhirnya 'meledak' dalam berbagai bentuk,” tambah Ira.
Ia menambahkan, hal ini juga berlaku bagi para weekend husband dan weekend wife yang hanya bisa pulang ke rumah seminggu sekali (biasanya di akhir minggu) untuk menengok keluarga. “Jangan mentang-mentang suami yang cari uang, lantas ia merasa berhak enak-enakan di rumah. Suami juga harus disadarkan akan beratnya tugas-tugas rumah tangga yang tak ada habisnya dan tak kenal hari libur. Istri juga butuh beristirahat dan berlibur dari pekerjaan sehari-hari,” Ira menegaskan.
Bagaimana soal cemburu dan curiga pada pasangan yang jauh di mata? “Istri memang tidak bisa memonitor setiap gerakan suami yang dia lakukan nun jauh di sana, begitu juga sebaliknya. Tapi, apakah jarak yang dekat bisa dijadikan jaminan bahwa suami atau istri menjadi lebih setia?” Ira balik bertanya. Itulah gunanya komitmen, tambahnya. Dengan komitmen, kita bisa mengontrol dan menyaring apa saja yang boleh dilakukan, dan apa yang sebaiknya dihindari. Apalagi, dengan bantuan teknologi informasi yang makin canggih, mulai dari ponsel 3G hingga video chat, kini Anda dan pasangan (dan anak-anak) tak perlu lagi melewati masa-masa 'putus kontak' seperti yang terjadi di masa lau.
Kendati begitu, perkawinan jarak jauh bukan tak ada asyiknya sama sekali. Jarak yang jauh membuat Anda bisa memiliki kebebasan untuk mengatur kegiatan sendiri. Anda tak perlu bolak-balik minta izin suami untuk melakukan semua hal. Tak ada yang memandang dengan curiga bila Anda menelepon atau chatting di internet dengan teman-teman lama sampai jauh malam. Anda bisa mengikuti kursus bahasa Spanyol dua kali seminggu sambil memandangi guru native speaker-nya yang tampan. Anda juga tak perlu sering-sering melihat wajah jutek suami saat melihat Anda memborong pakaian atau sepatu, dan tak perlu membuatkan kopi setiap pagi.
Anda juga bisa 'jumpalitan' di tempat tidur yang biasanya harus dibagi bersama suami, dan terbebas untuk sementara dari suara ngoroknya yang dahsyat. 'Kemewahan' seperti itu nyaris tak bisa dinikmati oleh para istri yang 'ditongkrongi' suaminya setiap hari. “Pokoknya, sejauh tidak kebablasan dan urusan rumah tangga tetap running well, nikmati saja 'kejombloan' Anda dengan riang gembira,” saran Ira.
Tina Savitri