Post power syndrome atau sindroma pasca berkuasa biasanya dialami oleh mereka yang dulunya punya kekuasaan atas orang-orang di sekelilingnya. Misalnya mantan komandan di ketentaraan/kepolisian, mantan pejabat tinggi, atau mantan direktur (atau jabatan tinggi lainnya) di perusahaan. Untuk masa sekarang, mungkin memang masih lebih banyak kaum pria yang mengalami sindroma ini. Tapi, menurut Monty Satiadarma, psikolog dari Universitas Tarumanagara Jakarta, tak lama lagi pasti akan makin banyak wanita yang juga mengalaminya, karena sekarang makin banyak wanita yang menempati posisi tinggi di berbagai institusi.
Post power syndrome timbul akibat ketidakmampuan seseorang untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu, khususnya bila masa lalu itu sangat membanggakan egonya. “Ia sulit menerima kenyataan bahwa kini ia tidak berkuasa lagi dan kehilangan berbagai privilege yang dulu diterimanya,” kata Monty. Mereka enggan melangkah menuju tahap penerimaan (acceptance); bahwa roda kehidupan selalu berputar, kadang kita ada di atas kadang di bawah; bahwa segala sesuatu di dunia ini ada masa kedaluwarsanya, termasuk jabatan dan kekuasaan.
Sindroma itu akan makin parah kalau kemampuan fisik orang itu juga makin terbatas akibat usia tua. Misalnya, penglihatan dan pendengaran tidak lagi tajam, menderita kelumpuhan, atau harus berdiet ketat karena menderita berbagai penyakit, yang membuatnya semakin frustrasi bahkan depresi. “Karena itu, sesungguhnya yang tersiksa bukan hanya anak-anak atau orang-orang di sekelilingnya, tapi juga dirinya sendiri. Bahkan mungkin si orang tualah yang lebih menderita,” Monty menjelaskan.
Namun, tidak semua orang yang dulu pernah berkuasa mengalami post power syndrome di masa tuanya. Banyak juga orang yang mampu menerima ‘masa redup matahari’-nya dengan ikhlas dan apa adanya. Apakah faktor kepribadian dasar seseorang ikut memengaruhi?
“Bisa ya, bisa tidak,” kata Monty, “Karena kita tidak akan pernah tahu bagaimana ‘kelakuan’ kita kalau tua nanti sampai kita mengalaminya sendiri. Bisa terjadi orang yang sebelumnya dikenal sabar dan nrimo, setelah tua –ketika semua ‘rem’ sudah tidak pakem lagi— berubah jadi tukang marah-marah. Atau justru sebaliknya, orang yang dulunya ‘sulit’ malah menjadi ‘jinak’ di masa tuanya. Tapi memang tidak ada salahnya sejak sekarang –selagi masih cukup muda— kita mulai melatih diri untuk ikhlas menerima cobaan hidup apa pun.”
Kalau perilaku anak kita bermasalah, sebagai orang tua kita bisa melakukan banyak hal untuk mengatasinya. Mulai dari menasihatinya, memarahinya, berkonsultasi pada gurunya, atau mendatangi psikolog anak. Tapi bila orang tua kita yang ‘bermasalah’, tentu tidak semudah itu menasihati atau mengajak mereka berkonsultasi ke psikolog. Apalagi selama ini ada anggapan umum bahwa kalau seseorang diajak ke psikolog berarti dia gila.
“Selain itu, biasanya ada egoisme tersendiri pada setiap orang tua. Meskipun berpendidikan akademis lebih rendah —mereka merasa lebih tahu dan berpengalaman tentang kehidupan dibandingkan anak-anaknya. Dan di mata orang tua, anak tetaplah anak, meski sang anak kini telah dewasa dan berkeluarga. Jadi wajar saja bila ada orang tua yang enggan menerima nasihat dan masukan dari anaknya, sekalipun nasihat dan masukan itu baik dan membangun,” Monty memaparkan.
Meminta bantuan dari orang-orang yang dihormati oleh orang tua kita –misalnya ustaz, pendeta, pastor, atau orang yang dituakan dalam keluarga besar— untuk membimbing orang tua kita agar menjadi lebih ikhlas menerima keadaan pasca berkuasa, tentu layak dicoba. Apalagi bila orang tua kita tergolong religius. Begitu juga dengan upaya berkonsultasi ke psikolog. “Tapi kalau merasa perlu berkonsultasi ke psikolog, sebaiknya datang bersama-sama, kalau perlu dengan semua anaknya. Rancanglah skenario sedemikian rupa, supaya orang tua tidak merasa bahwa dialah sang ‘tertuduh utama’, melainkan justru sebagai orang yang diperlukan nasihatnya,” Monty menyarankan.
Tapi kalau semua usaha itu tetap tidak membuahkan hasil, satu-satunya cara yang bisa dilakukan anak adalah ikhlas menerima kondisi orang tua apa adanya, dengan semua kerewelannya. “Sebenarnya anak punya pilihan: mau tetap merawat dan mendampingi orang tuanya atau melepaskan diri dari tanggung jawab. Namun kalau kita tetap ingin mendampingi mereka, dampingilah dengan ikhlas. Bersyukurlah bahwa kita masih diberi waktu dan kesempatan untuk membalas jasa mereka. Kalau dulu kita yang dirawat oleh mereka, kini giliran kita yang merawat mereka. Kalau kita tulus dan ikhlas menjalaninya, hal yang sangat berat pun jadi terasa (lebih) ringan. Dan kalau Anda percaya akan karma, yakinlah bahwa akan selalu ada reward untuk karma yang baik,” kata Monty.
Post power syndrome timbul akibat ketidakmampuan seseorang untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu, khususnya bila masa lalu itu sangat membanggakan egonya. “Ia sulit menerima kenyataan bahwa kini ia tidak berkuasa lagi dan kehilangan berbagai privilege yang dulu diterimanya,” kata Monty. Mereka enggan melangkah menuju tahap penerimaan (acceptance); bahwa roda kehidupan selalu berputar, kadang kita ada di atas kadang di bawah; bahwa segala sesuatu di dunia ini ada masa kedaluwarsanya, termasuk jabatan dan kekuasaan.
Sindroma itu akan makin parah kalau kemampuan fisik orang itu juga makin terbatas akibat usia tua. Misalnya, penglihatan dan pendengaran tidak lagi tajam, menderita kelumpuhan, atau harus berdiet ketat karena menderita berbagai penyakit, yang membuatnya semakin frustrasi bahkan depresi. “Karena itu, sesungguhnya yang tersiksa bukan hanya anak-anak atau orang-orang di sekelilingnya, tapi juga dirinya sendiri. Bahkan mungkin si orang tualah yang lebih menderita,” Monty menjelaskan.
Namun, tidak semua orang yang dulu pernah berkuasa mengalami post power syndrome di masa tuanya. Banyak juga orang yang mampu menerima ‘masa redup matahari’-nya dengan ikhlas dan apa adanya. Apakah faktor kepribadian dasar seseorang ikut memengaruhi?
“Bisa ya, bisa tidak,” kata Monty, “Karena kita tidak akan pernah tahu bagaimana ‘kelakuan’ kita kalau tua nanti sampai kita mengalaminya sendiri. Bisa terjadi orang yang sebelumnya dikenal sabar dan nrimo, setelah tua –ketika semua ‘rem’ sudah tidak pakem lagi— berubah jadi tukang marah-marah. Atau justru sebaliknya, orang yang dulunya ‘sulit’ malah menjadi ‘jinak’ di masa tuanya. Tapi memang tidak ada salahnya sejak sekarang –selagi masih cukup muda— kita mulai melatih diri untuk ikhlas menerima cobaan hidup apa pun.”
Kalau perilaku anak kita bermasalah, sebagai orang tua kita bisa melakukan banyak hal untuk mengatasinya. Mulai dari menasihatinya, memarahinya, berkonsultasi pada gurunya, atau mendatangi psikolog anak. Tapi bila orang tua kita yang ‘bermasalah’, tentu tidak semudah itu menasihati atau mengajak mereka berkonsultasi ke psikolog. Apalagi selama ini ada anggapan umum bahwa kalau seseorang diajak ke psikolog berarti dia gila.
“Selain itu, biasanya ada egoisme tersendiri pada setiap orang tua. Meskipun berpendidikan akademis lebih rendah —mereka merasa lebih tahu dan berpengalaman tentang kehidupan dibandingkan anak-anaknya. Dan di mata orang tua, anak tetaplah anak, meski sang anak kini telah dewasa dan berkeluarga. Jadi wajar saja bila ada orang tua yang enggan menerima nasihat dan masukan dari anaknya, sekalipun nasihat dan masukan itu baik dan membangun,” Monty memaparkan.
Meminta bantuan dari orang-orang yang dihormati oleh orang tua kita –misalnya ustaz, pendeta, pastor, atau orang yang dituakan dalam keluarga besar— untuk membimbing orang tua kita agar menjadi lebih ikhlas menerima keadaan pasca berkuasa, tentu layak dicoba. Apalagi bila orang tua kita tergolong religius. Begitu juga dengan upaya berkonsultasi ke psikolog. “Tapi kalau merasa perlu berkonsultasi ke psikolog, sebaiknya datang bersama-sama, kalau perlu dengan semua anaknya. Rancanglah skenario sedemikian rupa, supaya orang tua tidak merasa bahwa dialah sang ‘tertuduh utama’, melainkan justru sebagai orang yang diperlukan nasihatnya,” Monty menyarankan.
Tapi kalau semua usaha itu tetap tidak membuahkan hasil, satu-satunya cara yang bisa dilakukan anak adalah ikhlas menerima kondisi orang tua apa adanya, dengan semua kerewelannya. “Sebenarnya anak punya pilihan: mau tetap merawat dan mendampingi orang tuanya atau melepaskan diri dari tanggung jawab. Namun kalau kita tetap ingin mendampingi mereka, dampingilah dengan ikhlas. Bersyukurlah bahwa kita masih diberi waktu dan kesempatan untuk membalas jasa mereka. Kalau dulu kita yang dirawat oleh mereka, kini giliran kita yang merawat mereka. Kalau kita tulus dan ikhlas menjalaninya, hal yang sangat berat pun jadi terasa (lebih) ringan. Dan kalau Anda percaya akan karma, yakinlah bahwa akan selalu ada reward untuk karma yang baik,” kata Monty.
Tina Savitri