Menikah tidak selalu berarti menyatukan dua orang dalam segala hal. Apalagi jika keduanya sama-sama mandiri dan mapan seperti Carrie Bradshaw dan Big, dua tokoh sentral dalam serial Sex and The City. Keduanya sudah berada di zona nyamannya sendiri. Agak sulit bagi mereka untuk melepas kebiasaan dan apa yang mereka miliki saat lajang – pertemanan, karier, dan kebebasan.
Dari soal nama saja, misalnya. Setelah menikah, banyak perempuan yang masih menggunakan nama gadisnya. Kalaupun mau mencantumkan nama belakang suami, itu adalah pilihan, bukan kewajiban. Begitu pula dalam hal keuangan. Masing-masing punya mobil, rumah, dan rekening atas nama pribadi – meskipun ada sebagian yang disimpan dalam joint account. Semua ini membuat mereka merasa aman dan tetap mandiri. Berbeda dengan generasi ibu kita. Setelah menikah, mereka akan sukarela menyatu dengan pasangan dan menerima sebagai 'half a couple'.
Hasil studi Judye Hess, PhD dan Padma Cattel, PhD yang dimuat dalam Journal of Couple Therapy memunculkan sebuah pemikiran alternatif bentuk hubungan yang disebut Dual Dwelling Duos (DDD) atau suami istri yang hidup terpisah. Bukan karena ‘fear of commitment’, tetapi justru untuk mempertahankan eksistensi diri masing-masing dan membuat perkawinan menjadi langgeng. Di Inggris, jumlah pasangan yang tinggal terpisah meningkat 40 persen dalam 10 tahun terakhir. Demikian dilansir dari dailymail.co.uk
Sementara menurut data dari Biro Sensus Amerika Serikat, pada 2006, ada 3,8 juta pasangan suami-istri yang tidak tinggal serumah. Seperti yang dilakukan beberapa pasangan selebritas: Woody Allen dan Mia Farrow atau Tim Burton dan Hellena Bonham-Carter yang tinggal bersebelahan di sebuah townhouse di London.
Fenomena ini, menurut Ratih Ibrahim psikolog dari Personal Growth, ditandai oleh makin mandiri dan mapannya perempuan zaman sekarang. Sekalipun sudah menikah, mereka ingin tetap memiliki ruang untuk diri sendiri. Faktor lain, suami istri sekarang memang seolah hidup di dunia berbeda. Mereka punya jam kerja dan profesi berbeda, yang membuat mereka jarang bertemu. “Walaupun terlihat sendiri-sendiri, bukan berarti mereka tidak akur. Karena hal ini dilakukan secara sadar oleh keduanya karena alasan praktis dan situasional,” ujar Ratih.
Shinta Kusuma
Dari soal nama saja, misalnya. Setelah menikah, banyak perempuan yang masih menggunakan nama gadisnya. Kalaupun mau mencantumkan nama belakang suami, itu adalah pilihan, bukan kewajiban. Begitu pula dalam hal keuangan. Masing-masing punya mobil, rumah, dan rekening atas nama pribadi – meskipun ada sebagian yang disimpan dalam joint account. Semua ini membuat mereka merasa aman dan tetap mandiri. Berbeda dengan generasi ibu kita. Setelah menikah, mereka akan sukarela menyatu dengan pasangan dan menerima sebagai 'half a couple'.
Hasil studi Judye Hess, PhD dan Padma Cattel, PhD yang dimuat dalam Journal of Couple Therapy memunculkan sebuah pemikiran alternatif bentuk hubungan yang disebut Dual Dwelling Duos (DDD) atau suami istri yang hidup terpisah. Bukan karena ‘fear of commitment’, tetapi justru untuk mempertahankan eksistensi diri masing-masing dan membuat perkawinan menjadi langgeng. Di Inggris, jumlah pasangan yang tinggal terpisah meningkat 40 persen dalam 10 tahun terakhir. Demikian dilansir dari dailymail.co.uk
Sementara menurut data dari Biro Sensus Amerika Serikat, pada 2006, ada 3,8 juta pasangan suami-istri yang tidak tinggal serumah. Seperti yang dilakukan beberapa pasangan selebritas: Woody Allen dan Mia Farrow atau Tim Burton dan Hellena Bonham-Carter yang tinggal bersebelahan di sebuah townhouse di London.
Fenomena ini, menurut Ratih Ibrahim psikolog dari Personal Growth, ditandai oleh makin mandiri dan mapannya perempuan zaman sekarang. Sekalipun sudah menikah, mereka ingin tetap memiliki ruang untuk diri sendiri. Faktor lain, suami istri sekarang memang seolah hidup di dunia berbeda. Mereka punya jam kerja dan profesi berbeda, yang membuat mereka jarang bertemu. “Walaupun terlihat sendiri-sendiri, bukan berarti mereka tidak akur. Karena hal ini dilakukan secara sadar oleh keduanya karena alasan praktis dan situasional,” ujar Ratih.
Shinta Kusuma