Meluangkan waktu bersama sebagai keluarga yang lengkap tanpa pengasuh, adalah cara untuk menguatkan bonding keluarga.
Berikut penuturan salah seorang wanita karier dalam menjaga kebersamaan keluarganya:
Saya bekerja di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, di bagian Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkantor pusat di Jakarta. Lokasi perkebunan berada di Kalimantan dan Papua. Jadwal saya tidak tetap, berapa lama saya berada di Jakarta dan Kalimantan. Kalau pergi ke luar kota, saya bisa pergi sampai 2 minggu. Saya menikmati pekerjaan ini karena saya suka traveling. Sebelumnya, saya pernah bekerja di Non-Government Organization (NGO), kemudian menjadi pramugari di sebuah maskapai penerbangan asing.
Awal masuk perusahaan ini ketika Abi, anak sulung saya berusia 9 bulan, dan saya masih memberikan ASI. Saat tugas ke Kalimantan, lokasi yang saya datangi bukanlah kota dengan penginapan yang bagus, yang bisa memerah dan menyimpan ASI. Saya mengunjungi tempat-tempat yang 'sulit', jadi terpaksa saya membuang ASI. Sedih rasanya, ASI yang harusnya saya susukan untuk Abi, tetapi saya buang. Memahami kesedihan saya, teman dan keluarga menasehati saya, kalau memang sudah memutuskan untuk meninggalkan anak, kita harus mantap, jangan terus menerus memikirkan anak agar dia tidak gelisah.
Meski sering jauh dari rumah dalam waktu lama, tidak berarti saya tidak melakukan hal penting untuk anak. Misalnya, saat saya berada di Jakarta, saya luangkan waktu untuk membeli buku resep masakan untuk membuat menu. Ketika anak sakit dan saya tidak di rumah, saya memberikan instruksi kepada orang rumah apa yang harus dilakukan. Kalau suami sedang tidak ada di rumah, keputusan saya serahkan kepada suami.
Tantangan pertama dengan seringnya absen di rumah, yaitu ketika Abi ada acara di sekolah yang mengharuskan ibunya datang. Misalnya acara family day, atau mother's day, akhirnya selalu diwakili ibu saya. Ketika ada acara Father's day di sekolah, ayahnya juga tidak ada, karena Djunaidi, suami saya, juga sering tugas ke luar kota. Saya tahu Abi sangat kecewa. Saya juga jelaskan setiap orang tua pekerjaannya berbeda. Ada yang bekerja di luar kota, ada juga ibu yang tidak bekerja.
Ada konsep yang saya yakini dan saya terapkan, yaitu: meski anak belum bisa bicara, bukan berarti indera lainnya tidak berfungsi. Ketika matanya melihat, dan otaknya menganalisa, dia bisa menyimpulkan situasi. Kalau kita tidak mengomunikasikannya, dia akan mengambil asumsi. Asumsinya itu bisa saja keliru. Misalnya, sepulang kantor kita lelah, anak mengajak kita main tapi kita tolak dengan alasan lelah. Tapi kemudian kita duduk, lalu asyik dengan ponsel kita. Asumsi anak, bahwa dirinya tidak lebih penting dari sebuah ponsel. Itu sebabnya saya selalu mengomunikasikan apa pun yang saya alami kepada anak-anak, agar ia tidak membuat asumsi yang salah.
Tantangan kedua adalah menjaga relasi dengan suami agar tetap mesra. Kami berdua sering tugas ke luar kota. Kadang-kadang hari ini saya pulang, suami baru mau pergi. Atau, saya pergi hari ini, suami pergi keesokan harinya. Sejak awal menikah, kami berdua sepakat bahwa kami harus melakukan sesuatu yang ekstra, agar pekawinan kami tidak 'kering'. Kami menyiasatinya dengan mengikuti alur. Misalnya, saat kami bersamaan pulang dari luar kota, kalau flight-nya hanya sedikit berbeda waktu, kami akan saling menunggu di bandara. Setelah itu, kami tidak langsung pulang, tapi pergi berduaan. Kadang-kadang kami pergi menginap. Ada saja ide-ide yang munculnya spontan.
Tantangan ketiga adalah menyeimbangkan peran sebagai sepasang orang tua, yang bersama-sama mengasuh dan mendidik anak. Meluangkan waktu bersama sebagai keluarga yang lengkap tanpa pengasuh, adalah cara yang kami lakukan untuk menguatkan bonding. Misalnya saja di akhir minggu, suami saya sedang bertugas dan menginap. Sepulang dari kantor saya boyong anak-anak menyusul ayahnya di hotel tempatnya bertugas. Kami sengaja tidak mengajak pengasuh anak agar anak-anak fokus pada kami, orang tuanya. Meski hanya jalan-jalan ke mal, kami hanya berempat. Saya tidak menyesal memilih pekerjaan ini. Saya yakin, pasti ada waktunya saya bisa tinggal lebih lama di Jakarta.
Berikut penuturan salah seorang wanita karier dalam menjaga kebersamaan keluarganya:
Saya bekerja di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, di bagian Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkantor pusat di Jakarta. Lokasi perkebunan berada di Kalimantan dan Papua. Jadwal saya tidak tetap, berapa lama saya berada di Jakarta dan Kalimantan. Kalau pergi ke luar kota, saya bisa pergi sampai 2 minggu. Saya menikmati pekerjaan ini karena saya suka traveling. Sebelumnya, saya pernah bekerja di Non-Government Organization (NGO), kemudian menjadi pramugari di sebuah maskapai penerbangan asing.
Awal masuk perusahaan ini ketika Abi, anak sulung saya berusia 9 bulan, dan saya masih memberikan ASI. Saat tugas ke Kalimantan, lokasi yang saya datangi bukanlah kota dengan penginapan yang bagus, yang bisa memerah dan menyimpan ASI. Saya mengunjungi tempat-tempat yang 'sulit', jadi terpaksa saya membuang ASI. Sedih rasanya, ASI yang harusnya saya susukan untuk Abi, tetapi saya buang. Memahami kesedihan saya, teman dan keluarga menasehati saya, kalau memang sudah memutuskan untuk meninggalkan anak, kita harus mantap, jangan terus menerus memikirkan anak agar dia tidak gelisah.
Meski sering jauh dari rumah dalam waktu lama, tidak berarti saya tidak melakukan hal penting untuk anak. Misalnya, saat saya berada di Jakarta, saya luangkan waktu untuk membeli buku resep masakan untuk membuat menu. Ketika anak sakit dan saya tidak di rumah, saya memberikan instruksi kepada orang rumah apa yang harus dilakukan. Kalau suami sedang tidak ada di rumah, keputusan saya serahkan kepada suami.
Tantangan pertama dengan seringnya absen di rumah, yaitu ketika Abi ada acara di sekolah yang mengharuskan ibunya datang. Misalnya acara family day, atau mother's day, akhirnya selalu diwakili ibu saya. Ketika ada acara Father's day di sekolah, ayahnya juga tidak ada, karena Djunaidi, suami saya, juga sering tugas ke luar kota. Saya tahu Abi sangat kecewa. Saya juga jelaskan setiap orang tua pekerjaannya berbeda. Ada yang bekerja di luar kota, ada juga ibu yang tidak bekerja.
Ada konsep yang saya yakini dan saya terapkan, yaitu: meski anak belum bisa bicara, bukan berarti indera lainnya tidak berfungsi. Ketika matanya melihat, dan otaknya menganalisa, dia bisa menyimpulkan situasi. Kalau kita tidak mengomunikasikannya, dia akan mengambil asumsi. Asumsinya itu bisa saja keliru. Misalnya, sepulang kantor kita lelah, anak mengajak kita main tapi kita tolak dengan alasan lelah. Tapi kemudian kita duduk, lalu asyik dengan ponsel kita. Asumsi anak, bahwa dirinya tidak lebih penting dari sebuah ponsel. Itu sebabnya saya selalu mengomunikasikan apa pun yang saya alami kepada anak-anak, agar ia tidak membuat asumsi yang salah.
Tantangan kedua adalah menjaga relasi dengan suami agar tetap mesra. Kami berdua sering tugas ke luar kota. Kadang-kadang hari ini saya pulang, suami baru mau pergi. Atau, saya pergi hari ini, suami pergi keesokan harinya. Sejak awal menikah, kami berdua sepakat bahwa kami harus melakukan sesuatu yang ekstra, agar pekawinan kami tidak 'kering'. Kami menyiasatinya dengan mengikuti alur. Misalnya, saat kami bersamaan pulang dari luar kota, kalau flight-nya hanya sedikit berbeda waktu, kami akan saling menunggu di bandara. Setelah itu, kami tidak langsung pulang, tapi pergi berduaan. Kadang-kadang kami pergi menginap. Ada saja ide-ide yang munculnya spontan.
Tantangan ketiga adalah menyeimbangkan peran sebagai sepasang orang tua, yang bersama-sama mengasuh dan mendidik anak. Meluangkan waktu bersama sebagai keluarga yang lengkap tanpa pengasuh, adalah cara yang kami lakukan untuk menguatkan bonding. Misalnya saja di akhir minggu, suami saya sedang bertugas dan menginap. Sepulang dari kantor saya boyong anak-anak menyusul ayahnya di hotel tempatnya bertugas. Kami sengaja tidak mengajak pengasuh anak agar anak-anak fokus pada kami, orang tuanya. Meski hanya jalan-jalan ke mal, kami hanya berempat. Saya tidak menyesal memilih pekerjaan ini. Saya yakin, pasti ada waktunya saya bisa tinggal lebih lama di Jakarta.
Lukita Wardhani (35), ibu dua anak (usia 6 dan 3 tahun) seperti dikisahkan kepada Pesona.