Banyak orang berpendapat bahwa ibu dengan anak gadisnya bisa merupakan sahabat akrab. Bahkan lewat keakraban itu, sang ibu bisa 'mengarahkan' putrinya sekaligus belajar banyak hal yang berguna bagi dirinya sendiri. Berikut kisah dua ibu tentang putri mereka.
Lina Hutabarat (42)
“Tidak terlalu mudah bagi putri saya, Sasha (13 tahun) untuk cepat akrab dengan orang baru. Dia terlihat pendiam, tapi bisa ngobrol jika bertemu dengan orang yang ‘kena' di hatinya. Dia juga sangat pemilih --sifat yang mungkin menurun dari ayahnya. Dalam berteman, dia memiliki kelompok anak-anak yang setipe dengannya. Dia tidak begitu menyukai sesuatu yang 'heboh' dan sifatnya berlebihan.
Mengingat sikap Sasha seperti itu, saya punya trik untuk memancing dia agar bercerita, dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan. Misalnya sepulang dia dari sekolah, saya tanya apa yang dikerjakannya hari itu, adakah murid yang dihukum, siapa yang tidak masuk, dan sebagainya. Metode ini cukup berhasil. Sasha pun berinisiatif bercerita lebih dulu sebelum saya bertanya. Namun soal asmara, saya masih menahan diri untuk tidak bertanya. Rasanya, untuk anak seumurnya, kan masih dalam batas ‘cinta monyet’.
Boleh dibilang Sasha terlalu baik untuk anak seusianya. Dia lebih sering memilih menghindari pertikaian, dan tidak suka atau tidak mau membuat masalah. Memang, ayahnya pernah menganggap hal ini sebagai kelemahan, karena sepertinya dia tidak mau berjuang. Tapi setelah saya perhatikan, agaknya dia mempunyai cara sendiri untuk menghadapi masalahnya.
Saya ingat ketika kami menonton film Cinderella. Iseng saya bertanya, 'Sasha ingin jadi Cinderella?' Dengan santai dia mengatakan bahwa dia lebih memilih menjadi tikus, karena bisa membantu Cinderella ketika sedang kesulitan. Di sini saya belajar memahami sudut pandang dia.
Saya pernah dibuat terkejut oleh pernyataan Sasha ketika dia mengikuti reatreat beberapa waktu lalu. Ia harus mengisi kuis bertema orang tua ideal. Ada satu jawaban yang membuat saya sangat sedih. Sasha menulis: 'Saya sebal dengan Mama, karena walaupun saya tidak bersalah, saya tetap dimarahi.' Saya pun ingat ketika Samuel (adik Sasha) berbuat kesalahan. Waktu itu saya juga menegur Sasha, karena dia anak sulung, tugasnya adalah mengingatkan adiknya. Agaknya dia tidak begitu mengerti arti teguran saya.
Bagaimana saya membereskan masalah itu? Saya mencari waktu untuk menjelaskannya dengan cara yang lembut. Sasha harus mengerti bahwa dia anak sulung dan tugas dia adalah menjaga adiknya.
Saat ia duduk di bangku SMP, boleh dibilang Sasha hanya menginjak mal dua kali tanpa pengamatan saya. Itu pun tak lebih dari 2 jam, dan saya menjemputnya. Dia tidak keberatan sama sekali. Karena dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga.
Suatu waktu saya menawarinya untuk bergabung dengan teman-temannya bermain ice skating yang berlokasi di dekat rumah. 'Ah, malas! Lebih enak di rumah,' katanya. Mungkin karena suasana rumah yang hangat, penuh dengan orang yang ia kenal dekat, membuatnya memilih sendiri tempat bergaulnya.
Sikap Sasha yang tidak terlalu banyak berkomentar mengajari saya untuk lebih bisa menahan emosi. Misalnya jika saya berbeda pendapat dengan suami, Sasha memilih diam dan tidak memanas-manaskan suasana. Melihat sikapnya yang selalu netral, saya pun bisa tenang.
Cara berpakaian Sasha sangat menggambarkan karakternya, simpel. Ia pun tidak terlalu gemar mengenakan aksesori. Tampaknya selera kami hampir sama, walaupun dulu saya ingin sekali dia tampil girlie. Berdandan merupakan 'acara' yang lumayan seru bagi kami berdua. Saya anggap Sasha adalah 'personal fashion advisor' saya, ha, ha, ha!”
Lina Hutabarat (42)
“Tidak terlalu mudah bagi putri saya, Sasha (13 tahun) untuk cepat akrab dengan orang baru. Dia terlihat pendiam, tapi bisa ngobrol jika bertemu dengan orang yang ‘kena' di hatinya. Dia juga sangat pemilih --sifat yang mungkin menurun dari ayahnya. Dalam berteman, dia memiliki kelompok anak-anak yang setipe dengannya. Dia tidak begitu menyukai sesuatu yang 'heboh' dan sifatnya berlebihan.
Mengingat sikap Sasha seperti itu, saya punya trik untuk memancing dia agar bercerita, dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan. Misalnya sepulang dia dari sekolah, saya tanya apa yang dikerjakannya hari itu, adakah murid yang dihukum, siapa yang tidak masuk, dan sebagainya. Metode ini cukup berhasil. Sasha pun berinisiatif bercerita lebih dulu sebelum saya bertanya. Namun soal asmara, saya masih menahan diri untuk tidak bertanya. Rasanya, untuk anak seumurnya, kan masih dalam batas ‘cinta monyet’.
Boleh dibilang Sasha terlalu baik untuk anak seusianya. Dia lebih sering memilih menghindari pertikaian, dan tidak suka atau tidak mau membuat masalah. Memang, ayahnya pernah menganggap hal ini sebagai kelemahan, karena sepertinya dia tidak mau berjuang. Tapi setelah saya perhatikan, agaknya dia mempunyai cara sendiri untuk menghadapi masalahnya.
Saya ingat ketika kami menonton film Cinderella. Iseng saya bertanya, 'Sasha ingin jadi Cinderella?' Dengan santai dia mengatakan bahwa dia lebih memilih menjadi tikus, karena bisa membantu Cinderella ketika sedang kesulitan. Di sini saya belajar memahami sudut pandang dia.
Saya pernah dibuat terkejut oleh pernyataan Sasha ketika dia mengikuti reatreat beberapa waktu lalu. Ia harus mengisi kuis bertema orang tua ideal. Ada satu jawaban yang membuat saya sangat sedih. Sasha menulis: 'Saya sebal dengan Mama, karena walaupun saya tidak bersalah, saya tetap dimarahi.' Saya pun ingat ketika Samuel (adik Sasha) berbuat kesalahan. Waktu itu saya juga menegur Sasha, karena dia anak sulung, tugasnya adalah mengingatkan adiknya. Agaknya dia tidak begitu mengerti arti teguran saya.
Bagaimana saya membereskan masalah itu? Saya mencari waktu untuk menjelaskannya dengan cara yang lembut. Sasha harus mengerti bahwa dia anak sulung dan tugas dia adalah menjaga adiknya.
Saat ia duduk di bangku SMP, boleh dibilang Sasha hanya menginjak mal dua kali tanpa pengamatan saya. Itu pun tak lebih dari 2 jam, dan saya menjemputnya. Dia tidak keberatan sama sekali. Karena dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga.
Suatu waktu saya menawarinya untuk bergabung dengan teman-temannya bermain ice skating yang berlokasi di dekat rumah. 'Ah, malas! Lebih enak di rumah,' katanya. Mungkin karena suasana rumah yang hangat, penuh dengan orang yang ia kenal dekat, membuatnya memilih sendiri tempat bergaulnya.
Sikap Sasha yang tidak terlalu banyak berkomentar mengajari saya untuk lebih bisa menahan emosi. Misalnya jika saya berbeda pendapat dengan suami, Sasha memilih diam dan tidak memanas-manaskan suasana. Melihat sikapnya yang selalu netral, saya pun bisa tenang.
Cara berpakaian Sasha sangat menggambarkan karakternya, simpel. Ia pun tidak terlalu gemar mengenakan aksesori. Tampaknya selera kami hampir sama, walaupun dulu saya ingin sekali dia tampil girlie. Berdandan merupakan 'acara' yang lumayan seru bagi kami berdua. Saya anggap Sasha adalah 'personal fashion advisor' saya, ha, ha, ha!”