Setelah mengarungi pernikahan lebih dari 10 tahun, banyak cerita tertorehkan. Apa yang membuat para suami tetap betah menjalani perkawinan yang tentunya tak selalu mulus? Kita simak curhat tiga pria berikut ini.
Agoosh Yoosran (43), Presiden Direktur Mahaka Advertising, 16 tahun menikah
Tak malu dicap takut istri
"Jujur saja, saya tak pernah mengalami masa jenuh dengan istri saya, Laksmiwarti Witarso (41 tahun). Entah kalau dia, soalnya saya tidak pernah bertanya, ha..ha..ha…Tapi harus diakui, kehidupan rumah tangga saya tidak selalu mulus. Friksi-friksi selalu ada, terutama dalam dua-tiga tahun pertama pernikahan, apalagi setelah anak lahir. Biasanya karena beda pendapat atau beda nilai-nilai yang akan diterapkan di keluarga baru kami. Maklum kami berasal dari dua kultur berbeda. Saya berdarah Palembang-Sunda, Laksmi orang Jawa Timur. Tak jarang kami keras dengan pendapat masing-masing. Bahkan kalau sedang berdiskusi, kami terdengar seperti orang bertengkar. Padahal, memang seperti itulah gaya diskusi kami.
Yang pasti, saya paling tidak suka bertengkar lewat sms atau BBM (blackberry messenger). Kalau Laksmi kirim sms dan saya mencium gelagat tidak enak, saya langsung telepon dia dan bilang, “Sudah, nanti kita bicarakan di rumah saja.” Kalau lewat SMS atau BBM, mana saya tahu intonasi suaranya? Salah-salah kami malah tambah emosi.
Kalau ngambek, biasanya kami lebih banyak diam. Tapi, seiring waktu, kami baikan sendiri, kok. Pernah juga kami bertengkar hebat hingga memuncak, tapi saya tak pernah mau mengucapkan kata 'cerai'. Soalnya, saya sayang sekali pada keluarga saya dan saya punya tanggung terhadap kedua anak saya, Tamara Adjani (15 tahun), Muhammad Raihan (11 tahun). Anak memang perekat ajaib perkawinan kami.
Salah satu trik saya menghindari pertengkaran adalah dengan mencari tahu jadwal haid Laksmi. Saya hafal tanggal-tanggal dia menjadi sensitif menjelang haid. Kalau sudah begitu, saya lebih banyak diam. Kalau mau mendiskusikan sesuatu yang sensitif, lebih baik saya tunggu sampai haidnya selesai. Kalau saya nekat bisa gawat!
Meski cenderung diam, saya termasuk family man. Saya selalu berangkat dan pulang kerja tepat waktu, supaya masih punya waktu untuk keluarga. Teman-teman sering meledek, “Ah, kamu takut sama bini!” Saya tertawa saja. Bukan takut, tapi saya memang senang di rumah. Saya juga ingin menunjukkan pada Laksmi bahwa saya menghormati dia dengan tidak sering keluyuran sepulang kantor. Sebab saya juga tidak mau dia sering keluyuran sampai malam dengan teman-temannya.
Waktu masih single, saya mau pulang jam berapa pun tidak ada yang complain. Sekarang tidak bisa begitu lagi, tapi ini bukan bentuk pengorbanan. Tanggung jawab saya sekarang memang sudah beda. Saya hanya mengikuti alur kehidupan."
"Jujur saja, saya tak pernah mengalami masa jenuh dengan istri saya, Laksmiwarti Witarso (41 tahun). Entah kalau dia, soalnya saya tidak pernah bertanya, ha..ha..ha…Tapi harus diakui, kehidupan rumah tangga saya tidak selalu mulus. Friksi-friksi selalu ada, terutama dalam dua-tiga tahun pertama pernikahan, apalagi setelah anak lahir. Biasanya karena beda pendapat atau beda nilai-nilai yang akan diterapkan di keluarga baru kami. Maklum kami berasal dari dua kultur berbeda. Saya berdarah Palembang-Sunda, Laksmi orang Jawa Timur. Tak jarang kami keras dengan pendapat masing-masing. Bahkan kalau sedang berdiskusi, kami terdengar seperti orang bertengkar. Padahal, memang seperti itulah gaya diskusi kami.
Yang pasti, saya paling tidak suka bertengkar lewat sms atau BBM (blackberry messenger). Kalau Laksmi kirim sms dan saya mencium gelagat tidak enak, saya langsung telepon dia dan bilang, “Sudah, nanti kita bicarakan di rumah saja.” Kalau lewat SMS atau BBM, mana saya tahu intonasi suaranya? Salah-salah kami malah tambah emosi.
Kalau ngambek, biasanya kami lebih banyak diam. Tapi, seiring waktu, kami baikan sendiri, kok. Pernah juga kami bertengkar hebat hingga memuncak, tapi saya tak pernah mau mengucapkan kata 'cerai'. Soalnya, saya sayang sekali pada keluarga saya dan saya punya tanggung terhadap kedua anak saya, Tamara Adjani (15 tahun), Muhammad Raihan (11 tahun). Anak memang perekat ajaib perkawinan kami.
Salah satu trik saya menghindari pertengkaran adalah dengan mencari tahu jadwal haid Laksmi. Saya hafal tanggal-tanggal dia menjadi sensitif menjelang haid. Kalau sudah begitu, saya lebih banyak diam. Kalau mau mendiskusikan sesuatu yang sensitif, lebih baik saya tunggu sampai haidnya selesai. Kalau saya nekat bisa gawat!
Meski cenderung diam, saya termasuk family man. Saya selalu berangkat dan pulang kerja tepat waktu, supaya masih punya waktu untuk keluarga. Teman-teman sering meledek, “Ah, kamu takut sama bini!” Saya tertawa saja. Bukan takut, tapi saya memang senang di rumah. Saya juga ingin menunjukkan pada Laksmi bahwa saya menghormati dia dengan tidak sering keluyuran sepulang kantor. Sebab saya juga tidak mau dia sering keluyuran sampai malam dengan teman-temannya.
Waktu masih single, saya mau pulang jam berapa pun tidak ada yang complain. Sekarang tidak bisa begitu lagi, tapi ini bukan bentuk pengorbanan. Tanggung jawab saya sekarang memang sudah beda. Saya hanya mengikuti alur kehidupan."
(bersambung)