Setelah mengarungi pernikahan lebih dari 10 tahun, banyak cerita tertorehkan. Apa yang membuat para suami tetap betah menjalani perkawinan yang tak selalu mulus? Kita simak curhat tiga pria ini.
Bonny Widjoseno (42 tahun), Business Development Zoom Production, 11 tahun menikah
Ingin istri selalu tersenyum
Usia pacaran saya dan istri, Ade Wiranti (37 tahun), terhitung singkat. Hanya setahun dan langsung menikah. Konsekuensinya, proses adaptasi kami menjadi lebih panjang. Perasaan saya, justru Ade yang lebih banyak kagetnya. Dia baru tahu ternyata saya ini A, B, C. Saya sendiri sih, santai saja, mungkin karena waktu itu saya masih egoistis.
Sebetulnya, sebelum berpacaran kami sudah kenal cukup lama sebagai teman sepermainan. Ternyata modal itu tidak ada apa-apanya. Pada lima tahun pertama menikah, kami harus pontang-panting mengatasi perbedaan yang ada. Pokoknya seru! Sekarang kalau saya ingat-ingat masa itu, rasanya ajaib karena ternyata kami bisa mengatasinya. Kini saya mengerti, menikah adalah sebuah anugerah untuk memahami hidup. Hidup saya sekarang adalah gambaran pernikahan saya.
Setelah menikah, tidak ada yang saya rindukan dari masa-masa bujang. Ya, di awal-awal pernikahan memang masih ada keinginan untuk bebas, main, atau nongkrong dengan teman-teman. Tapi, sekarang tidak ada lagi keinginan itu. Justru saat bertengkar dengan istri, saya merindukan saat-saat rukun dengannya.
Dulu, saat bertengkar, biasanya Ade yang berinisiatif mengajak berbaikan. Maklum, dulu saya memang sangat egoistis. Pokoknya, kalau saya pikir yang saya katakan benar, ya harus benar. Saya sering tidak mau kompromi. Bahkan di tahun-tahun pertama pernikahan, saya tidak pernah menanyakan pendapat istri, sementara Ade selalu meminta pendapat saya. Dia hanya sering protes kalau saya bekerja agak ‘gila’. Kalau Ade sudah protes karena kehilangan waktu untuk bersama, ujung-ujungnya kami bertengkar. Tetapi, lagi-lagi Ade yang lebih banyak berusaha mengerti saya. Beruntung sekali saya!
Setelah pernikahan kami mendekati tahun ke-10 dan dikaruniai dua anak; Qaniya Imani Widjoseno (10 tahun), Muhammad Kynan Widjoseno (8 tahun), saya banyak berubah. Saya mulai mau berkompromi, sampai-sampai istri saya pangling, “Kenapa sih, nggak dari dulu kamu seperti ini?” Wah, saya juga tidak tahu jawabannya. Yang saya tahu, makin hari saya makin bisa menekan ego. Alasan lain, mungkin karena saya sadar bahwa saya bisa kehilangan Ade setiap saat kalau saya masih bersikap begitu.
Sekarang saya lebih banyak bersyukur dan berintrospeksi. Ternyata kunci utama pernikahan saya dipegang oleh istri saya. Kalau selama ini Ade tidak ikhlas, mungkin pernikahan kami sudah bubar sejak dulu. Kalau sesekali kami bertengkar, saya sering sedih. Maunya cepat-cepat baikan, lalu gandengan tangan, lalu pelukan, ha..ha..ha... Oleh karena itu, best achievement saya sekarang adalah membuat Ade selalu tersenyum. Bukan sekadar senyum, tapi senyum bahagia. Sebab selama ini dia sudah sering senyum hanya untuk memberi semangat atau bersikap sopan kepada saya.
Saya juga berusaha mempertahankan ritual semasa masih pacaran. Kami sering pergi berdua saja. Apalagi Ade sering tugas ke luar kota, jadi kami harus pandai-pandai memanfaatkan waktu. Kami juga berencana pensiun dini. Alasannya sederhana. Sejak menikah hingga sekarang, kami belum pernah melakukan second honeymoon. Begitu menikah kami langsung punya anak dan terlilit kesibukan bekerja. Sayangnya, sampai sekarang anak-anak belum bisa ditinggal.
Bonny Widjoseno (42 tahun), Business Development Zoom Production, 11 tahun menikah
Ingin istri selalu tersenyum
Usia pacaran saya dan istri, Ade Wiranti (37 tahun), terhitung singkat. Hanya setahun dan langsung menikah. Konsekuensinya, proses adaptasi kami menjadi lebih panjang. Perasaan saya, justru Ade yang lebih banyak kagetnya. Dia baru tahu ternyata saya ini A, B, C. Saya sendiri sih, santai saja, mungkin karena waktu itu saya masih egoistis.
Sebetulnya, sebelum berpacaran kami sudah kenal cukup lama sebagai teman sepermainan. Ternyata modal itu tidak ada apa-apanya. Pada lima tahun pertama menikah, kami harus pontang-panting mengatasi perbedaan yang ada. Pokoknya seru! Sekarang kalau saya ingat-ingat masa itu, rasanya ajaib karena ternyata kami bisa mengatasinya. Kini saya mengerti, menikah adalah sebuah anugerah untuk memahami hidup. Hidup saya sekarang adalah gambaran pernikahan saya.
Setelah menikah, tidak ada yang saya rindukan dari masa-masa bujang. Ya, di awal-awal pernikahan memang masih ada keinginan untuk bebas, main, atau nongkrong dengan teman-teman. Tapi, sekarang tidak ada lagi keinginan itu. Justru saat bertengkar dengan istri, saya merindukan saat-saat rukun dengannya.
Dulu, saat bertengkar, biasanya Ade yang berinisiatif mengajak berbaikan. Maklum, dulu saya memang sangat egoistis. Pokoknya, kalau saya pikir yang saya katakan benar, ya harus benar. Saya sering tidak mau kompromi. Bahkan di tahun-tahun pertama pernikahan, saya tidak pernah menanyakan pendapat istri, sementara Ade selalu meminta pendapat saya. Dia hanya sering protes kalau saya bekerja agak ‘gila’. Kalau Ade sudah protes karena kehilangan waktu untuk bersama, ujung-ujungnya kami bertengkar. Tetapi, lagi-lagi Ade yang lebih banyak berusaha mengerti saya. Beruntung sekali saya!
Setelah pernikahan kami mendekati tahun ke-10 dan dikaruniai dua anak; Qaniya Imani Widjoseno (10 tahun), Muhammad Kynan Widjoseno (8 tahun), saya banyak berubah. Saya mulai mau berkompromi, sampai-sampai istri saya pangling, “Kenapa sih, nggak dari dulu kamu seperti ini?” Wah, saya juga tidak tahu jawabannya. Yang saya tahu, makin hari saya makin bisa menekan ego. Alasan lain, mungkin karena saya sadar bahwa saya bisa kehilangan Ade setiap saat kalau saya masih bersikap begitu.
Sekarang saya lebih banyak bersyukur dan berintrospeksi. Ternyata kunci utama pernikahan saya dipegang oleh istri saya. Kalau selama ini Ade tidak ikhlas, mungkin pernikahan kami sudah bubar sejak dulu. Kalau sesekali kami bertengkar, saya sering sedih. Maunya cepat-cepat baikan, lalu gandengan tangan, lalu pelukan, ha..ha..ha... Oleh karena itu, best achievement saya sekarang adalah membuat Ade selalu tersenyum. Bukan sekadar senyum, tapi senyum bahagia. Sebab selama ini dia sudah sering senyum hanya untuk memberi semangat atau bersikap sopan kepada saya.
Saya juga berusaha mempertahankan ritual semasa masih pacaran. Kami sering pergi berdua saja. Apalagi Ade sering tugas ke luar kota, jadi kami harus pandai-pandai memanfaatkan waktu. Kami juga berencana pensiun dini. Alasannya sederhana. Sejak menikah hingga sekarang, kami belum pernah melakukan second honeymoon. Begitu menikah kami langsung punya anak dan terlilit kesibukan bekerja. Sayangnya, sampai sekarang anak-anak belum bisa ditinggal.
(bersambung)