Perkembangan biologis dan ketertarikan terhadap lawan jenis merupakan hal normal pada tumbuh kembang remaja. Melirik lawan jenis dan ingin tampil menarik juga merupakan perkembangan yang normal. Tapi setelah 'remaja galau' ini saling tertarik, jatuh cinta, dan saling 'nembak', selanjutnya apa?
Survei Komisi Nasional Perlindungan Anak di 33 provinsi pada tahun 2008 menyebut, siswa SMP dan SMA yang menonton film porno sebanyak 97%. Saat berpacaran, remaja yang melakukan ciuman, masturbasi, dan oral seks sebanyak 93,7%. Siswi SMP yang sudha tidak perawan tercatat 62,7%, dan yang pernah aborsi mencapai 21,2%.
Survei yang tak kalah mengejutkan juga dilakukan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia pada tahun 2012, yang menyebut hubungan seks pranikah di rumah orang tuanya sendiri! Remaja-remaja ini rupanya tahu persis kapan orang tua mereka pergi dan kapan pulangnya. Mereka melakukan di rumah mungkin karena belum cukup uang atau tak berani untuk melakukannya di hotel atau losmen. Selain itu, karena kedua orang tua bekerja, di rumah hanya ada si Mbak, sementara kontrol sosial semakin longgar.
Nyatanya hubungan seks yang belum waktunya dilakukan itu bisa dengan leluasa mereka lakukan. Pada masyarakat urban, remaja yang melakukan hubungan seks pranikah jumlahnya lebih banyak. Kedua orang tua mereka bekerja, tidak ada yang mengawasi. "Hubungan seks di kalangan remaja bisa terjadi karena mereka tidak tahu cara mengelola dorongan seksualnya dan tidak tahu cara menghargai diri sendiri. Mereka tidak tahu, karena orang tua tidak memberi tahu cara menghargai diri sebagai perempuan atau sebagai laki-laki," papar Yudiana Ratna Sari, M.Si atau Sari dari Universitas Indonesia. Sebab lainnya, orang tua juga tidak pernah memberi tahu anak cara mengendalikan dorongan seksual secara tepat sesuai usia mereka. Didukung kecanggihan teknologi, anak-anak yang sudah memiliki smartphone di usia sangat dini akan mencari jawabannya di internet. Apa yang mereka akses, sejauh mana orang tua tahu dan peduli?
"Dan jangan lupakan peran peer. Kalau kita melihat masalah ini dari sudut remaja, peer pressure (tekanan kelompok pergaulan) bisa ikut berperan dalam gaya pacaran mereka. Kontribusinya bahkan bisa mencapai lebih dari 50% terhadap perilaku anak kita," jelas Sari. Seorang remaja putri yang berusaha menjaga keperawanannya barangkali bisa dijadikan bahan tertawaan teman-temannya, yang menganggap bahwa melepas keperawanan merupakan gaya hidup modern, dan yang masih perawan menjadi out of date.
"Teman sebaya itu sangat penting bagi remaja. Ketika desakan teman sebaya sangat kuat, siapa yang bisa tahan? Orang tua sering beranggapan remaja seharusnya sudah bisa berpikir dan tahu sendiri batas-batasnya, tetapi tidak demikian kenyataannya. Orang tua seharusnya membantu mereka menetapkan batas-batasnya, jangan cuma menasihati 'jangan kelewat batas'," ujar Sari.
Batasan tumbuh dari norma. Setiap keluarga tentu memiliki nilai dan norma yang harus dipatuhi setiap anggota keluarga. Ada norma yang bisa dilanggar, yang bisa dinego, yang harus dipatuhi, serta yang tidak boleh dilanggar dan tidak boleh dinego. Batasan yang tidak boleh dilanggar dan tidak boleh dinego, misalnya, remaja Anda boleh pacaran tapi tidak boleh pergi berduaan, harus ditemani kakak atau adik. Anak harus paham betul aturan yang ditetapkan oleh orang tuanya, dan bila melanggar harus siap menghadapi konsekuensinya. "Remaja juga butuh punishment untuk pelanggaran yang dia lakukan, karena anak harus mengerti dan paham tentang kekhawatiran orang tuanya," papar Sari.
Tak dipungkiri, sekarang ini telah terjadi pergeseran nilai, yang kalau ditelusuri dimulai oleh orang tua juga. "Zaman saya kecil, untuk mendapatkan sepatu baru harus mendapat nilai bagus dulu, lalu menunggu sampai ayah gajian. Tidak serta merta mendapatkan yang dimau merupakan bagian dari pengendalian diri. Sekarang anak-anak dengan mudah mendapatkan apa saja, bahkan yang tidak mereka perlukan, karena orang tua sekarang mau gampangnya saja," papar Sari. Padahal, kemampuan mengendalikan diri pada anak -termasuk tidak mengumbar nafsu- sangat dibutuhkan untuk mencegah perilaku seks bebas pada remaja. Nah, sudahkah kita mengajarkan nilai itu?
Survei Komisi Nasional Perlindungan Anak di 33 provinsi pada tahun 2008 menyebut, siswa SMP dan SMA yang menonton film porno sebanyak 97%. Saat berpacaran, remaja yang melakukan ciuman, masturbasi, dan oral seks sebanyak 93,7%. Siswi SMP yang sudha tidak perawan tercatat 62,7%, dan yang pernah aborsi mencapai 21,2%.
Survei yang tak kalah mengejutkan juga dilakukan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia pada tahun 2012, yang menyebut hubungan seks pranikah di rumah orang tuanya sendiri! Remaja-remaja ini rupanya tahu persis kapan orang tua mereka pergi dan kapan pulangnya. Mereka melakukan di rumah mungkin karena belum cukup uang atau tak berani untuk melakukannya di hotel atau losmen. Selain itu, karena kedua orang tua bekerja, di rumah hanya ada si Mbak, sementara kontrol sosial semakin longgar.
Nyatanya hubungan seks yang belum waktunya dilakukan itu bisa dengan leluasa mereka lakukan. Pada masyarakat urban, remaja yang melakukan hubungan seks pranikah jumlahnya lebih banyak. Kedua orang tua mereka bekerja, tidak ada yang mengawasi. "Hubungan seks di kalangan remaja bisa terjadi karena mereka tidak tahu cara mengelola dorongan seksualnya dan tidak tahu cara menghargai diri sendiri. Mereka tidak tahu, karena orang tua tidak memberi tahu cara menghargai diri sebagai perempuan atau sebagai laki-laki," papar Yudiana Ratna Sari, M.Si atau Sari dari Universitas Indonesia. Sebab lainnya, orang tua juga tidak pernah memberi tahu anak cara mengendalikan dorongan seksual secara tepat sesuai usia mereka. Didukung kecanggihan teknologi, anak-anak yang sudah memiliki smartphone di usia sangat dini akan mencari jawabannya di internet. Apa yang mereka akses, sejauh mana orang tua tahu dan peduli?
"Dan jangan lupakan peran peer. Kalau kita melihat masalah ini dari sudut remaja, peer pressure (tekanan kelompok pergaulan) bisa ikut berperan dalam gaya pacaran mereka. Kontribusinya bahkan bisa mencapai lebih dari 50% terhadap perilaku anak kita," jelas Sari. Seorang remaja putri yang berusaha menjaga keperawanannya barangkali bisa dijadikan bahan tertawaan teman-temannya, yang menganggap bahwa melepas keperawanan merupakan gaya hidup modern, dan yang masih perawan menjadi out of date.
"Teman sebaya itu sangat penting bagi remaja. Ketika desakan teman sebaya sangat kuat, siapa yang bisa tahan? Orang tua sering beranggapan remaja seharusnya sudah bisa berpikir dan tahu sendiri batas-batasnya, tetapi tidak demikian kenyataannya. Orang tua seharusnya membantu mereka menetapkan batas-batasnya, jangan cuma menasihati 'jangan kelewat batas'," ujar Sari.
Batasan tumbuh dari norma. Setiap keluarga tentu memiliki nilai dan norma yang harus dipatuhi setiap anggota keluarga. Ada norma yang bisa dilanggar, yang bisa dinego, yang harus dipatuhi, serta yang tidak boleh dilanggar dan tidak boleh dinego. Batasan yang tidak boleh dilanggar dan tidak boleh dinego, misalnya, remaja Anda boleh pacaran tapi tidak boleh pergi berduaan, harus ditemani kakak atau adik. Anak harus paham betul aturan yang ditetapkan oleh orang tuanya, dan bila melanggar harus siap menghadapi konsekuensinya. "Remaja juga butuh punishment untuk pelanggaran yang dia lakukan, karena anak harus mengerti dan paham tentang kekhawatiran orang tuanya," papar Sari.
Tak dipungkiri, sekarang ini telah terjadi pergeseran nilai, yang kalau ditelusuri dimulai oleh orang tua juga. "Zaman saya kecil, untuk mendapatkan sepatu baru harus mendapat nilai bagus dulu, lalu menunggu sampai ayah gajian. Tidak serta merta mendapatkan yang dimau merupakan bagian dari pengendalian diri. Sekarang anak-anak dengan mudah mendapatkan apa saja, bahkan yang tidak mereka perlukan, karena orang tua sekarang mau gampangnya saja," papar Sari. Padahal, kemampuan mengendalikan diri pada anak -termasuk tidak mengumbar nafsu- sangat dibutuhkan untuk mencegah perilaku seks bebas pada remaja. Nah, sudahkah kita mengajarkan nilai itu?
Immanuella Rachmani