Mira Rumeser dan Rusmeini, dua wanita yang bersahabat akrab sejak masa kuliah, saling mendukung dan memberi kekuatan ketika pada kurun waktu yang sama mengidap kanker payudara. Masa kritis telah lewat, dan mereka tetap aktif sampai sekarang.
Mira Rumeser
Psikolog & Konselor
“Aku kaget ketika suatu hari di bulan Oktober 1996, Mirna mengatakan dirinya didiagnosis kanker payudara. Mirna, mantan perenang nasional, adalah kakak kelasku sejak SMA dan kami sama-sama kuliah di Fakultas Psikologi UI. Setahuku ia punya gaya hidup sehat, kok sampai terkena kanker payudara? Bagaimana denganku, yang suka menyantap sate kambing, daging, dan tidak suka sayuran?
Sebulan kemudian, aku menemukan sebuah benjolan pada payudara kiri. Aku segera minta tolong Shinta, putriku semata wayang, dan Yo, suamiku untuk memastikannya. Shinta langsung menangis. Ia cemas membayangkan sesuatu yang buruk terjadi padaku. Tapi aku justru tersenyum dan berkata dalam hati: 'terima kasih ya, Allah, Engkau mengingatkanku. Jika memang aku mengidap kanker, risiko terburuk meninggal dunia. Kalaupun bukan kanker, nantinya aku akan meninggal juga.'
Sadar bahwa hidupku berpacu dengan waktu, aku tidak mau berdiam diri, menyia-nyiakan kesempatan. Yang pertama, aku harus menyempurnakan salatku. Pastinya Tuhan
memberikan pesan melalui cobaan ini. Pesan yang kutangkap, selama ini pola hidupku sangat tidak sehat. Tuhan seakan menyadarkanku: 'Mira, saya memberimu badan bagus, mengapa disia-siakan?'
Mira Rumeser
Psikolog & Konselor
“Aku kaget ketika suatu hari di bulan Oktober 1996, Mirna mengatakan dirinya didiagnosis kanker payudara. Mirna, mantan perenang nasional, adalah kakak kelasku sejak SMA dan kami sama-sama kuliah di Fakultas Psikologi UI. Setahuku ia punya gaya hidup sehat, kok sampai terkena kanker payudara? Bagaimana denganku, yang suka menyantap sate kambing, daging, dan tidak suka sayuran?
Sebulan kemudian, aku menemukan sebuah benjolan pada payudara kiri. Aku segera minta tolong Shinta, putriku semata wayang, dan Yo, suamiku untuk memastikannya. Shinta langsung menangis. Ia cemas membayangkan sesuatu yang buruk terjadi padaku. Tapi aku justru tersenyum dan berkata dalam hati: 'terima kasih ya, Allah, Engkau mengingatkanku. Jika memang aku mengidap kanker, risiko terburuk meninggal dunia. Kalaupun bukan kanker, nantinya aku akan meninggal juga.'
Sadar bahwa hidupku berpacu dengan waktu, aku tidak mau berdiam diri, menyia-nyiakan kesempatan. Yang pertama, aku harus menyempurnakan salatku. Pastinya Tuhan
memberikan pesan melalui cobaan ini. Pesan yang kutangkap, selama ini pola hidupku sangat tidak sehat. Tuhan seakan menyadarkanku: 'Mira, saya memberimu badan bagus, mengapa disia-siakan?'