HRD Director Perusahaan Periklanan
“Aku masih ingat ketika melihat kondisi Mira menjelang operasi kanker payudara di sebuah rumah sakit. Badannya tampak kurus dan lemah. Tapi herannya Mira tetap tegar dan ceria. Ia menanggapi kesedihanku dengan becanda, 'Kita nggak bisa main golf lagi, dong!' Aku tak kuat menahan air mata dan meninggalkan kamar.
Beberapa minggu setelah operasi, karena kangen aku menelepon Mira. Selama pembicaraaan tersebut, iseng-iseng aku meraba sekitar payudaraku. Dan, aku menemukan benjolan di bagian kiri. Mira spontan menyuruhku untuk segera ke dokter.
Hasil diagnosis, benjolan itu belum menunjukkan sesuatu yang ganas. Untuk lebih memastikannya, aku mencari rujukan lain. Karena setiap tahun rutin melakukan general check up di Singapura, aku pun berangkat ke sana. Beruntung atasanku sangat mendukung dan memberi keleluasaan untuk menjalani proses penyembuhan sampai tuntas. Semula suamiku ingin menemani, tetapi karena saat itu anak bungsuku sedang ulangan umum SLP, aku memintanya untuk mengawasi. Toh, kupikir proses ini tidak akan lama, maksimum 2 hari. Dan tak satu pun dari keluarga besarku yang tahu tentang penyakitku.
Aku berangkat ke Singapura hanya dengan ditemani istri atasanku. Penanganan tim dokter di sana sangat cepat dan profesional. Mereka mengajukan tiga alternatif: diangkat benjolannya saja, diangkat sebagian payudara, atau kalau sudah parah diangkat semua bagian payudara. Sebelum memutuskan, aku berdiskusi dengan suami lewat telepon. Pada prinsipnya, ia menyerahkan keputusan sepenuhnya padaku. Aku minta operasi pengangkatan semua payudara, secepatnya. Yang penting aku harus sembuh karena ada suami dan 2 anak yang masih membutuhkanku.
Segera usai operasi, aku harus menjalani kemoterapi, agar penyebaran kanker tidak meluas. Aku sangat down, karena perjuanganku masih panjang. Aku tidak punya bayangan, kemoterapi itu bagaimana. Untungnya kedua dokter yang menanganiku wanita, sehingga bisa memahami kegelisahanku. 'Tenanglah Rus, semua dapat diatasi. Kita berjuang bersama, okay...' Kata-kata mereka seketika memompa semangatku.
Selama 6 bulan, aku harus bolak-balik Jakarta-Singapura untuk menjalani sekurang-kurangnya 8 kali kemoterapi. Di tahap awal, keadaanku payah sekali. Rambut rontok, muntah-muntah, perasaan tidak menentu. Untunglah atasanku memberi kelonggaran, aku diizinkan masuk kantor 2 minggu dalam sebulan, karena aku membutuhkan waktu 2 minggu untuk pemulihan setelah kemoterapi.
Saat itu aku tidak mau dijenguk oleh teman-teman, sampai aku merasa lebih nyaman. Aku ingat ketika menengok Mira dulu, orang-orang yang datang jadi sedih. Aku ingin bertemu teman-teman dalam keadaan happy.
Ada kalanya aku merasa pesimis. Ada rasa khawatir aku tidak bisa sembuh dan suatu saat harus meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Di saat itulah sahabat seperti Mira sangat berarti. Ia selalu memberiku dorongan semangat, meskipun hanya lewat sedikit kata-kata, tetapi artinya sangat besar. Kata-katanya seperti 'kalimat doa' yang menguatkanku. Di saat yang lain, kami bisa menertawakan diri sendiri saat melihat rambut ‘gundul’ kami di cermin. Aku bersyukur, di dalam kondisi sesulit apapun, aku tidak pernah merasa sendiri. That’s what friends are for."
Beberapa minggu setelah operasi, karena kangen aku menelepon Mira. Selama pembicaraaan tersebut, iseng-iseng aku meraba sekitar payudaraku. Dan, aku menemukan benjolan di bagian kiri. Mira spontan menyuruhku untuk segera ke dokter.
Hasil diagnosis, benjolan itu belum menunjukkan sesuatu yang ganas. Untuk lebih memastikannya, aku mencari rujukan lain. Karena setiap tahun rutin melakukan general check up di Singapura, aku pun berangkat ke sana. Beruntung atasanku sangat mendukung dan memberi keleluasaan untuk menjalani proses penyembuhan sampai tuntas. Semula suamiku ingin menemani, tetapi karena saat itu anak bungsuku sedang ulangan umum SLP, aku memintanya untuk mengawasi. Toh, kupikir proses ini tidak akan lama, maksimum 2 hari. Dan tak satu pun dari keluarga besarku yang tahu tentang penyakitku.
Aku berangkat ke Singapura hanya dengan ditemani istri atasanku. Penanganan tim dokter di sana sangat cepat dan profesional. Mereka mengajukan tiga alternatif: diangkat benjolannya saja, diangkat sebagian payudara, atau kalau sudah parah diangkat semua bagian payudara. Sebelum memutuskan, aku berdiskusi dengan suami lewat telepon. Pada prinsipnya, ia menyerahkan keputusan sepenuhnya padaku. Aku minta operasi pengangkatan semua payudara, secepatnya. Yang penting aku harus sembuh karena ada suami dan 2 anak yang masih membutuhkanku.
Segera usai operasi, aku harus menjalani kemoterapi, agar penyebaran kanker tidak meluas. Aku sangat down, karena perjuanganku masih panjang. Aku tidak punya bayangan, kemoterapi itu bagaimana. Untungnya kedua dokter yang menanganiku wanita, sehingga bisa memahami kegelisahanku. 'Tenanglah Rus, semua dapat diatasi. Kita berjuang bersama, okay...' Kata-kata mereka seketika memompa semangatku.
Selama 6 bulan, aku harus bolak-balik Jakarta-Singapura untuk menjalani sekurang-kurangnya 8 kali kemoterapi. Di tahap awal, keadaanku payah sekali. Rambut rontok, muntah-muntah, perasaan tidak menentu. Untunglah atasanku memberi kelonggaran, aku diizinkan masuk kantor 2 minggu dalam sebulan, karena aku membutuhkan waktu 2 minggu untuk pemulihan setelah kemoterapi.
Saat itu aku tidak mau dijenguk oleh teman-teman, sampai aku merasa lebih nyaman. Aku ingat ketika menengok Mira dulu, orang-orang yang datang jadi sedih. Aku ingin bertemu teman-teman dalam keadaan happy.
Ada kalanya aku merasa pesimis. Ada rasa khawatir aku tidak bisa sembuh dan suatu saat harus meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Di saat itulah sahabat seperti Mira sangat berarti. Ia selalu memberiku dorongan semangat, meskipun hanya lewat sedikit kata-kata, tetapi artinya sangat besar. Kata-katanya seperti 'kalimat doa' yang menguatkanku. Di saat yang lain, kami bisa menertawakan diri sendiri saat melihat rambut ‘gundul’ kami di cermin. Aku bersyukur, di dalam kondisi sesulit apapun, aku tidak pernah merasa sendiri. That’s what friends are for."
seperti diceritakan kepada Shinta Kusuma