"Saya dan Fajar Ayuningsih sebetulnya sudah lama saling kenal karena sama-sama pernah bekerja sebagai redaktur boga di majalah Femina. Tetapi ada kejadian lucu yang membuat kami akhirnya 'mendarat' bersama teman-teman lainnya di sebuah perguruan tinggi untuk melanjutkan studi S2. Saya sebut lucu, karena sebetulnya rumah kami berdekatan, tapi selama ini kami tidak saling menyadari. Kami baru menyadari ketika kami jadi sering bertemu di pasar atau toko swalayan dekat rumah.
Setelah beberapa kali bertemu dan ngobrol, tiba-tiba dia mengajak saya sekolah lagi di bidang Kajian Kuliner Tradisional Indonesia di Graduate School Trisakti Institute of Tourism di Jakarta. Ibarat event organizer, Fajar juga mengajak teman-teman redaktur boga dan eks redaktur boga di Femina. Akhirnya terkumpullah kami semua: Belianti Savitri, Mulia Sari, Virta Hapsari, Heni Pridia, Fajar, dan Linda F. Adimidjaja. Yang disebut terakhir ini dulunya adalah senior saya di kantor. Selain kami, ikut bergabung dua teman lain (Shinta Teviningrum dan Inti Krisnawati) yang berprofesi sebagai penulis bidang kesehatan. Jadi total anggota geng kami ada 9 orang.
Adanya kesamaan minta, visi, dan impian untuk mempopulerkan kuliner Indonesia membuat kami bisa kompak. Sebagai tim, kami tidak memandang satu sama lain sebagai kompetitor. Meski usia berbeda-beda (30-an, 40-an, dan 60-an), kami punya semangat yang sama, yaitu mengembangkan dunia pariwisata Indonesia lewat kuliner tradisionalnya.
Di luar urusan sekolah, kami juga sering jalan-jalan bareng, misal saat mengunjungi festival kuliner di Singapura beberapa waktu lalu. Meski cukup melelahkan, mbak Linda yang paling senior pun tetap semangat. Untuk urusan mengerjakan tugas kuliah, kami biasanya ketemu di suatu tempat, restoran misalnya, untuk mengerjakan tugas bersama-sama sekaligus icip-icip. Begitu akrabnya geng kami, sehingga kami paling dominan di kelas.
Pertemanan kami sangat luar biasa. Bagi saya, para sahabat itu tak hanya berperan sebagai 'dopping' yang memacu semangat belajar. Berada di antara mereka, 'ketakutan' saya menghadapi dunia persekolahan lagi bisa teratasi. Bagaimana tidak takut? Sudah lebih dari 10 tahun saya tidak pernah menginjakkan kaki ke kampus, dan sekarang harus kuliah lagi, baca text book lagi, ujian lagi. Tapi bersama mereka kuliah tidak lagi terasa sebagai beban, tapi justru menjadi us time, tempat kami bisa melepas stres dan kekhawatiran. Hari-hari kuliah (di akhir minggu) berubah jadi refreshing day, setelah melewati lima hari kerja yang melelahkan. Bayangan akan bertemu teman-teman justru memicu semangat untuk berangkat ke kampus. Malah beberapa di antara kami di antara kami ada yang sudah memulai bisnis bersama.
Apabila saya menjalani kuliah sendiri, mungkin saya akan menjadi stres, karena begitu banyak tugas dan kuis. Kalau dikerjakan sendiri pastilah terasa berat. Meski kami tidak saling menyontek, mengerjakan tugas atau ujian secara bersama-sama mmeberikan suntikan energi tersendiri. Teman-teman bisa saya jadikan tempat untuk bertanya dan sharing. Pertemanan ini sungguh-sungguh tak bisa dihargai dengan uang."
Setelah beberapa kali bertemu dan ngobrol, tiba-tiba dia mengajak saya sekolah lagi di bidang Kajian Kuliner Tradisional Indonesia di Graduate School Trisakti Institute of Tourism di Jakarta. Ibarat event organizer, Fajar juga mengajak teman-teman redaktur boga dan eks redaktur boga di Femina. Akhirnya terkumpullah kami semua: Belianti Savitri, Mulia Sari, Virta Hapsari, Heni Pridia, Fajar, dan Linda F. Adimidjaja. Yang disebut terakhir ini dulunya adalah senior saya di kantor. Selain kami, ikut bergabung dua teman lain (Shinta Teviningrum dan Inti Krisnawati) yang berprofesi sebagai penulis bidang kesehatan. Jadi total anggota geng kami ada 9 orang.
Adanya kesamaan minta, visi, dan impian untuk mempopulerkan kuliner Indonesia membuat kami bisa kompak. Sebagai tim, kami tidak memandang satu sama lain sebagai kompetitor. Meski usia berbeda-beda (30-an, 40-an, dan 60-an), kami punya semangat yang sama, yaitu mengembangkan dunia pariwisata Indonesia lewat kuliner tradisionalnya.
Di luar urusan sekolah, kami juga sering jalan-jalan bareng, misal saat mengunjungi festival kuliner di Singapura beberapa waktu lalu. Meski cukup melelahkan, mbak Linda yang paling senior pun tetap semangat. Untuk urusan mengerjakan tugas kuliah, kami biasanya ketemu di suatu tempat, restoran misalnya, untuk mengerjakan tugas bersama-sama sekaligus icip-icip. Begitu akrabnya geng kami, sehingga kami paling dominan di kelas.
Pertemanan kami sangat luar biasa. Bagi saya, para sahabat itu tak hanya berperan sebagai 'dopping' yang memacu semangat belajar. Berada di antara mereka, 'ketakutan' saya menghadapi dunia persekolahan lagi bisa teratasi. Bagaimana tidak takut? Sudah lebih dari 10 tahun saya tidak pernah menginjakkan kaki ke kampus, dan sekarang harus kuliah lagi, baca text book lagi, ujian lagi. Tapi bersama mereka kuliah tidak lagi terasa sebagai beban, tapi justru menjadi us time, tempat kami bisa melepas stres dan kekhawatiran. Hari-hari kuliah (di akhir minggu) berubah jadi refreshing day, setelah melewati lima hari kerja yang melelahkan. Bayangan akan bertemu teman-teman justru memicu semangat untuk berangkat ke kampus. Malah beberapa di antara kami di antara kami ada yang sudah memulai bisnis bersama.
Apabila saya menjalani kuliah sendiri, mungkin saya akan menjadi stres, karena begitu banyak tugas dan kuis. Kalau dikerjakan sendiri pastilah terasa berat. Meski kami tidak saling menyontek, mengerjakan tugas atau ujian secara bersama-sama mmeberikan suntikan energi tersendiri. Teman-teman bisa saya jadikan tempat untuk bertanya dan sharing. Pertemanan ini sungguh-sungguh tak bisa dihargai dengan uang."
Lila Muliani, seperti dikisahkan kepada Pesona.