"Di antara 9 anggota geng, saya yang paling senior. Usia saya sudah 60 plus-plus dan sudah ditinggal suami selamanya, sementara teman-teman saya adalah ibu-ibu muda yang masih punya anak kecil dan suami dengan segala macam cerita yang seru dan lucu-lucu. Saya merasa beruntung bersahabat dengan mereka, karena mereka orang-orang yang penuh semangat.
Diskusi juga selalu nyambung, karena kami punya background yang sama, yaitu bidang kuliner. Anggota geng ini juga hebat-hebat. Shinta misalnya, sudah punya bisnis macam-macam, termasuk restoran bakso. Begitu juga Lila yang kini sudah terekspos ilmu marketing. Alhasil, bila kami berdiskusi untuk tugas-tugas kuliah semacam human resource atau business plan, pembahasannya bisa menjadi lebih tajam.
Saya bersyukur bisa 'kecemplung' di antara mereka yang usianya (jauh) lebih muda dari saya. Saya juga tidak merasakan gap usia, karena di mana pun saya bertemu orang muda, saya akan memperlakukan mereka sebagai teman. Saya justru senang, karena informasi dan pandangan-pandangan mereka tentang makanan tradisional Indonesia selalu fres. Dengan demikian saya pun ketularan bersemangat.
Namun tidak semua aspek berkaitan dengan urusan sekolah. Saat bersama-sama, menghadiri World Street Food Conference di Singapura, misalnya, sejak awal kami sudah sepakat untuk tidak membahas tugas kuliah sama sekali. Pokoknya, kami hanya ingin makan, ngeluyur, tertawa-tawa.
Mengapa memutuskan untuk kuliah lagi di usia 60+? Karena saya masih membutuhkan ilmu untuk menyelesaikan sebuah buku tentang kuliner. Saya sempat mencari-cari, sekolah apa untuk mempelajari seni gastronomi? Kalau sekadar materi, bisa saya dapatkan dari buku atau internet, tapi saya juga butuh bertemu dosen dan teman untuk berdiskusi dan bertanya.
Selain itu, saya bersemangat untuk sekolah lagi karena ada tawaran untuk mengajar. Untunglah secara fisik saya masih kuat pergi ke daerah-daerah untuk memberikan training bagi UKM agar produk-produk pangan Indonesia lebih maju. Itu sebabnya saya tak ragu mengambil bidang Kajian Kuliner Tradisional Indonesia. Pengalaman saya bekerja di beberapa tempat (dan sekarang bekerja lepas untuk Kementrian Pariwisata dan Kementrian Perdagangan) kerap saya bagikan kepada teman-teman. Begitu juga sebaliknya. Bukankah ini gunanya teman?
Bersama mereka, tugas-tugas kuliah, kuis, atau ujian jadi terasa lebih mudak dikerjakan. Mereka juga sangat helpfull terhadap saya, khususnya dalam 'menaklukkan' masalah teknologi. Maklum, banyak materi kuliah yang diberikan (dan diserahkan) secara online, sementara saya termasuk gaptek. Kalau kuliah sendirian, saya tidak yakin tetap bisa bersemangat. Mungkin saya akan feel lonely atau merasa tidak fun, sehingga kuliah jadi terasa berat."
Diskusi juga selalu nyambung, karena kami punya background yang sama, yaitu bidang kuliner. Anggota geng ini juga hebat-hebat. Shinta misalnya, sudah punya bisnis macam-macam, termasuk restoran bakso. Begitu juga Lila yang kini sudah terekspos ilmu marketing. Alhasil, bila kami berdiskusi untuk tugas-tugas kuliah semacam human resource atau business plan, pembahasannya bisa menjadi lebih tajam.
Saya bersyukur bisa 'kecemplung' di antara mereka yang usianya (jauh) lebih muda dari saya. Saya juga tidak merasakan gap usia, karena di mana pun saya bertemu orang muda, saya akan memperlakukan mereka sebagai teman. Saya justru senang, karena informasi dan pandangan-pandangan mereka tentang makanan tradisional Indonesia selalu fres. Dengan demikian saya pun ketularan bersemangat.
Namun tidak semua aspek berkaitan dengan urusan sekolah. Saat bersama-sama, menghadiri World Street Food Conference di Singapura, misalnya, sejak awal kami sudah sepakat untuk tidak membahas tugas kuliah sama sekali. Pokoknya, kami hanya ingin makan, ngeluyur, tertawa-tawa.
Mengapa memutuskan untuk kuliah lagi di usia 60+? Karena saya masih membutuhkan ilmu untuk menyelesaikan sebuah buku tentang kuliner. Saya sempat mencari-cari, sekolah apa untuk mempelajari seni gastronomi? Kalau sekadar materi, bisa saya dapatkan dari buku atau internet, tapi saya juga butuh bertemu dosen dan teman untuk berdiskusi dan bertanya.
Selain itu, saya bersemangat untuk sekolah lagi karena ada tawaran untuk mengajar. Untunglah secara fisik saya masih kuat pergi ke daerah-daerah untuk memberikan training bagi UKM agar produk-produk pangan Indonesia lebih maju. Itu sebabnya saya tak ragu mengambil bidang Kajian Kuliner Tradisional Indonesia. Pengalaman saya bekerja di beberapa tempat (dan sekarang bekerja lepas untuk Kementrian Pariwisata dan Kementrian Perdagangan) kerap saya bagikan kepada teman-teman. Begitu juga sebaliknya. Bukankah ini gunanya teman?
Bersama mereka, tugas-tugas kuliah, kuis, atau ujian jadi terasa lebih mudak dikerjakan. Mereka juga sangat helpfull terhadap saya, khususnya dalam 'menaklukkan' masalah teknologi. Maklum, banyak materi kuliah yang diberikan (dan diserahkan) secara online, sementara saya termasuk gaptek. Kalau kuliah sendirian, saya tidak yakin tetap bisa bersemangat. Mungkin saya akan feel lonely atau merasa tidak fun, sehingga kuliah jadi terasa berat."
Linda F. Adimidjaja seperti dikisahkan kepada Pesona.