Anda mungkin merasa akrab dengan percakapan-percakapan antarteman yang merupakan campuran antara sharing dan bergosip, yang membuat kita betah berjam-jam berkumpul dengan teman-teman. Tetapi, psikolog Vierra Adella atau akrab dipanggil Della, justru menyarankan agar kita mawas diri dan berhati-hati bila mulai terjebak dalam percakapan seperti itu secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi bila Andalah sang pencetus atau 'kompor' dalam percakapan tersebut. Sebab, perilaku Anda atau teman Anda itu bisa jadi 'meracuni' para pendengarnya, atau yang populer dengan sebutan toxic friend.
Apa sebenarnya seorang toxic friend? Label tersebut memang tidak ditujukan kepada seseorang sebagai pribadi, tetapi lebih kepada perilaku negatif seseorang yang direspon secara negatif pula oleh pergaulan sosialnya. Racun itu bermain di area emosional, bukan akal sehat. Maksudnya, sejauh Anda menanggapinya dengan emosional, barulah berpotensi jadi racun.
Bagaimana 'racun' itu bekerja? Tiga ilustrasi berikut ini mungkin bisa memberi gambaran:
1. Teman kerja atau sahabat Anda sedang berkeluh kesah tentang kekesalannya terhadap seseorang. Sebagai teman, lama kelamaan Anda pun terpengaruh dengan mengamini kebenciannya terhadap orang tersebut. Padahal, sebelum ini Anda tidak pernah bermasalah dengan orang tersebut.
2. Sepintas lalu Anda sepertinya memberi dukungan moral kepada seorang teman yang sedang ditimpa masalah. Namun -dengan atau tanpa sadar- Anda sebetulnya 'menikam' dia. Misalnya dengan mengatakan "Setiap perkawinan pasti ada jatuh-bangunnya, jadi kamu harus tabah. Si A memang cantik dan seksi banget, masih muda pula, pantas saja kalau suamimu tergila-gila sama dia."
3. Teman Anda selalu mengeluh setiap saat. Keluhannya bisa Anda temukan di akun media sosialnya, di pesan singkatnya kepada Anda, atau dalam percakapan ringan saat makan siang. Akibatnya, tanpa disadari Anda menjadi stres sendiri.
'Lucunya', kondisi 'racun-meracuni' ini paling sering terjadi dalam pertemanan antara sesama perempuan dibanding sesama pria. Pasalnya, perempuan memiliki kecenderungan untuk senang berkoloni atau ngumpul-ngumpul. Ketika pendapat kita ditentang orang, atau ketika ada yang mengancam atau mengkritik kita, maka kita akan meminta 'bala bantuan' dari teman-teman kita, yang kita harapkan akan mendukung kita. Dan biasanya teman yang menolong akan melihat pertolongannya lebih sebagai bentuk kesetiaan 'sisterhood' atau kesamaan emosi, bukan dari objektivitas masalahnya. Bahkan, menurut Della, kalau mau jujur, jarang sekali bentuk dukungan atau pertolongan dari pertemanan perempuan bersifat problem focus, sekadar untuk membuat teman yang bermasalah merasa lebih nyaman, meskipun tidak memecahkan masalah yang sesungguhnya.
Perempuan juga memiliki emotional bonding lebih kuat dibanding pria, sehingga sering kali tanpa sadar kita telah 'meracuni' atau 'diracuni' teman-teman kita. Seseorang yang dijadikan tempat curhat tanpa sadar ikut mengimbangi curhatan temannya dengan mencari-cari masalah atau cerita yang kurang lebih sama agar terkesan berempati, padahal sebetulnya dia tidak sedang mengalami masalah yang sama, atau mungkin sedang tidak bermasalah apa pun.
Apa sebenarnya seorang toxic friend? Label tersebut memang tidak ditujukan kepada seseorang sebagai pribadi, tetapi lebih kepada perilaku negatif seseorang yang direspon secara negatif pula oleh pergaulan sosialnya. Racun itu bermain di area emosional, bukan akal sehat. Maksudnya, sejauh Anda menanggapinya dengan emosional, barulah berpotensi jadi racun.
Bagaimana 'racun' itu bekerja? Tiga ilustrasi berikut ini mungkin bisa memberi gambaran:
1. Teman kerja atau sahabat Anda sedang berkeluh kesah tentang kekesalannya terhadap seseorang. Sebagai teman, lama kelamaan Anda pun terpengaruh dengan mengamini kebenciannya terhadap orang tersebut. Padahal, sebelum ini Anda tidak pernah bermasalah dengan orang tersebut.
2. Sepintas lalu Anda sepertinya memberi dukungan moral kepada seorang teman yang sedang ditimpa masalah. Namun -dengan atau tanpa sadar- Anda sebetulnya 'menikam' dia. Misalnya dengan mengatakan "Setiap perkawinan pasti ada jatuh-bangunnya, jadi kamu harus tabah. Si A memang cantik dan seksi banget, masih muda pula, pantas saja kalau suamimu tergila-gila sama dia."
3. Teman Anda selalu mengeluh setiap saat. Keluhannya bisa Anda temukan di akun media sosialnya, di pesan singkatnya kepada Anda, atau dalam percakapan ringan saat makan siang. Akibatnya, tanpa disadari Anda menjadi stres sendiri.
'Lucunya', kondisi 'racun-meracuni' ini paling sering terjadi dalam pertemanan antara sesama perempuan dibanding sesama pria. Pasalnya, perempuan memiliki kecenderungan untuk senang berkoloni atau ngumpul-ngumpul. Ketika pendapat kita ditentang orang, atau ketika ada yang mengancam atau mengkritik kita, maka kita akan meminta 'bala bantuan' dari teman-teman kita, yang kita harapkan akan mendukung kita. Dan biasanya teman yang menolong akan melihat pertolongannya lebih sebagai bentuk kesetiaan 'sisterhood' atau kesamaan emosi, bukan dari objektivitas masalahnya. Bahkan, menurut Della, kalau mau jujur, jarang sekali bentuk dukungan atau pertolongan dari pertemanan perempuan bersifat problem focus, sekadar untuk membuat teman yang bermasalah merasa lebih nyaman, meskipun tidak memecahkan masalah yang sesungguhnya.
Perempuan juga memiliki emotional bonding lebih kuat dibanding pria, sehingga sering kali tanpa sadar kita telah 'meracuni' atau 'diracuni' teman-teman kita. Seseorang yang dijadikan tempat curhat tanpa sadar ikut mengimbangi curhatan temannya dengan mencari-cari masalah atau cerita yang kurang lebih sama agar terkesan berempati, padahal sebetulnya dia tidak sedang mengalami masalah yang sama, atau mungkin sedang tidak bermasalah apa pun.
Monika Erika