Ketika Sildenafil Citrate (nama generik dari Viagra) dilansir pada 1998, kehadirannya langsung menggebrak, karena dianggap sebagai penyelamat harga diri pria. Mereka yang sebelumnya mengalami gangguan ereksi akibat kurang lancarnya alirah darah ke bagian perifer (wilayah 'bawah') bisa mendapatkan kembali keperkasaan mereka di tempat tidur.
Harus diakui, keberhasilan Viagra itu membuat banyak wanita iri. Kalau sudah ada obat yang ampuh menanggulangi masalah seks pria, kapan menyusul obat sejenis yang mampu membuat wanita 'menggeram'?
Penelitian panjang
Ternyata, rasa penasaran kaum wanita itu tak luput dari perhatian para ahli dan –tentu saja ditangkap dengan gesit oleh perusahaan-perusahaan farmasi. Maklum, ini calon tambang emas yang sangat menantang. Konon keberhasilan Viagra mampu menggemukkan pundi-pundi uang Pfizer, perusahaan farmasi raksasa asal Jerman yang memproduksi Viagra. Apalagi wanita masa kini juga makin menyadari (dan menuntut) seks sebagai sarana rekreasi dan kesehatan (selain sarana reproduksi dan 'ibadah').
Mengutip International Herald Tribune (18 Juni 2010), sebuah perusahaan obat Jerman lain, Boehringer Ingelheim, hingga kini masih terus meyakinkan Food and Drug Administration (FDA), semacam Badan POM di Amerika Serikat, bahwa obat baru yang mereka ciptakan, yaitu flibanserin (ini nama generik), dapat membantu memperbaiki gangguan libido pada wanita, khususnya pada wanita di periode perimenopause dan menopause.
Konon, awalnya Boerhringer menciptakan flibaserin sebagai obat antidepresan. Yang terjadi, alih-alih gagal menghilangkan depresi, secara tak teruga obat itu –bila diminum setiap hari selama beberapa minggu-- justru memperlihatkan kemampuan untuk memperbaiki libido wanita. Sayangnya, hingga saat ini FDA belum meloloskannya untuk beredar di AS.
Sebelum itu, pada 2004, perusahaan farmasi raksasa lain, Procter & Gamble, juga gagal mendapat persetujuan FDA untuk melansir obat yang berefek meningkatkan kadar hormon testosteron pada wanita, khususnya mereka yang telah menjalani operasi pengangkatan rahim dan indung telur. Seperti diketahui, testosteron (hormon seksual utama pada pria tapi hanya dimiliki sedikit oleh wanita) juga berperan sebagai libido booster.
Alasan penolakan FDA, obat itu berisiko tinggi memicu kanker payudara dan penyakit kardiovaskular. Selain itu, bila dikonsumsi dalam waktu lama, bisa menimbulkan sejumlah efek samping, mulai dari jerawatan, tumbuhnya bulu-bulu kasar di seluruh tubuh, dan suara menjadi berat seperti suara laki-laki.
Penolakan FDA itu serta merta memicu perdebatan pro-kontra. Pihak yang pro FDA mengatakan, Boehringer dan Procter 'maksa' mengategorikan libodo rendah sebagai penyakit, yang bisa disembuhkan dengan obat kimia. “Ini kasus klasik branding suatu penyakit untuk memasarkan obat tertentu,” komentar Dr. Adriane Fugh-Berman, associate professor di Universitas Georgetown, AS, yang mendalami bidang marketing dan kampanye obat.
Sementara para penentang FDA menekankan bahwa hypoactive sexual desire disorder atau HSDD (libido rendah) termasuk dalam gangguan mental. Dengan kata lain, ya, penyakit juga. Apalagi menurut hasil sejumlah penelitian, HSDD dialami oleh sekitar 10% wanita di dunia (tapi perlu dicatat, penelitian seperti ini umumnya didanai oleh perusahan obat). Begitupun –mengutip Wall Street Journal, 3 Juli 2010-- di AS, sekitar 1 dari 5 resep testosteron yang dikeluarkan dokter ditujukan untuk pasien wanita –meski dengan risiko berbulu!
Di luar kedua kelompok tersebut, banyak ahli mengatakan bahwa –dibanding kaum pria-- masalah seksual pada wanita memang jauh lebih kompleks dan lebih sulit didiagnosis.
Harus diakui, keberhasilan Viagra itu membuat banyak wanita iri. Kalau sudah ada obat yang ampuh menanggulangi masalah seks pria, kapan menyusul obat sejenis yang mampu membuat wanita 'menggeram'?
Penelitian panjang
Ternyata, rasa penasaran kaum wanita itu tak luput dari perhatian para ahli dan –tentu saja ditangkap dengan gesit oleh perusahaan-perusahaan farmasi. Maklum, ini calon tambang emas yang sangat menantang. Konon keberhasilan Viagra mampu menggemukkan pundi-pundi uang Pfizer, perusahaan farmasi raksasa asal Jerman yang memproduksi Viagra. Apalagi wanita masa kini juga makin menyadari (dan menuntut) seks sebagai sarana rekreasi dan kesehatan (selain sarana reproduksi dan 'ibadah').
Mengutip International Herald Tribune (18 Juni 2010), sebuah perusahaan obat Jerman lain, Boehringer Ingelheim, hingga kini masih terus meyakinkan Food and Drug Administration (FDA), semacam Badan POM di Amerika Serikat, bahwa obat baru yang mereka ciptakan, yaitu flibanserin (ini nama generik), dapat membantu memperbaiki gangguan libido pada wanita, khususnya pada wanita di periode perimenopause dan menopause.
Konon, awalnya Boerhringer menciptakan flibaserin sebagai obat antidepresan. Yang terjadi, alih-alih gagal menghilangkan depresi, secara tak teruga obat itu –bila diminum setiap hari selama beberapa minggu-- justru memperlihatkan kemampuan untuk memperbaiki libido wanita. Sayangnya, hingga saat ini FDA belum meloloskannya untuk beredar di AS.
Sebelum itu, pada 2004, perusahaan farmasi raksasa lain, Procter & Gamble, juga gagal mendapat persetujuan FDA untuk melansir obat yang berefek meningkatkan kadar hormon testosteron pada wanita, khususnya mereka yang telah menjalani operasi pengangkatan rahim dan indung telur. Seperti diketahui, testosteron (hormon seksual utama pada pria tapi hanya dimiliki sedikit oleh wanita) juga berperan sebagai libido booster.
Alasan penolakan FDA, obat itu berisiko tinggi memicu kanker payudara dan penyakit kardiovaskular. Selain itu, bila dikonsumsi dalam waktu lama, bisa menimbulkan sejumlah efek samping, mulai dari jerawatan, tumbuhnya bulu-bulu kasar di seluruh tubuh, dan suara menjadi berat seperti suara laki-laki.
Penolakan FDA itu serta merta memicu perdebatan pro-kontra. Pihak yang pro FDA mengatakan, Boehringer dan Procter 'maksa' mengategorikan libodo rendah sebagai penyakit, yang bisa disembuhkan dengan obat kimia. “Ini kasus klasik branding suatu penyakit untuk memasarkan obat tertentu,” komentar Dr. Adriane Fugh-Berman, associate professor di Universitas Georgetown, AS, yang mendalami bidang marketing dan kampanye obat.
Sementara para penentang FDA menekankan bahwa hypoactive sexual desire disorder atau HSDD (libido rendah) termasuk dalam gangguan mental. Dengan kata lain, ya, penyakit juga. Apalagi menurut hasil sejumlah penelitian, HSDD dialami oleh sekitar 10% wanita di dunia (tapi perlu dicatat, penelitian seperti ini umumnya didanai oleh perusahan obat). Begitupun –mengutip Wall Street Journal, 3 Juli 2010-- di AS, sekitar 1 dari 5 resep testosteron yang dikeluarkan dokter ditujukan untuk pasien wanita –meski dengan risiko berbulu!
Di luar kedua kelompok tersebut, banyak ahli mengatakan bahwa –dibanding kaum pria-- masalah seksual pada wanita memang jauh lebih kompleks dan lebih sulit didiagnosis.
(bersambung)