Menurut Dr. Med. dr. Harrina Erlianti Rahardjo, Sp.U dari Bagian Ilmu Bedah Sub Bagian Urologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mekanisme seksual pada pria dan wanita nyaris sama. Dimulai dengan tahap desire (gairah/libido) berlanjut ke tahap arrousal atau perangsangan (pada pria disebut ereksi), lalu orgasme (pada pria disebut ejakulasi), dan diakhiri resolusi (kondisi nyaman dan relaks). “Bila pada satu tahap saja terjadi gangguan, maka proses selanjutnya dipastikan akan berantakan,” jelas wanita yang untuk studi S3-nya mengambil bidang fungsi seksual wanita di Hannover Medical School, Jerman.
Padahal, pada wanita, gangguan justru lebih sering muncul di tahap paling awal, yaitu sulitnya memunculkan gairah. Jadi, boro-boro mencapai orgasme, mesinnya saja tak sempat menyala! Kenapa begitu, ya? “Karena, pada wanita, masalah libido terkait dengan banyak hal, mulai fisik, psikologis, hingga budaya. Pokoknya kompleks, ruwet, sekaligus misterius,” tambah Dr. Harrina, tertawa.
Masalah fisik, misalnya, meliputi adanya sejumlah penyakit yang kemungkinan 'bersembunyi' di tubuh, antara lain diabetes, hipertensi, dan kolesterol tinggi. Bisa juga karena adanya gangguan pada persarafan seperti trauma di panggul yang menyebabkan seorang wanita kehilangan sensivitas. Atau adanya infeksi di vagina. Karena membayangkan bakal kesakitan bila terjadi penetrasi, belum apa-apa wanita sudah kehilangan gariah untuk bercinta.
Pada wanita perimenopause dan menopause, biang keladinya biasanya adalah masalah hormon. Seperti diketahui, memasuki usia 30+ kadar testosteron (biasa juga disebut hormon androgen) menurun lumayan drastis. Setelah menopause, produksi estrogen (yang antara lain berperan mengatur haid) juga berhenti (meski sebagian ahli meyakini bahwa estrogen tetap diproduksi setelah menopause, meski jumlahnya hanya sedikit). Akibatnya, bibir vagina menipis, yang menyebabkan kegiatan penetrasi seksual bisa menimbulkan rasa sakit.
“Penurunan libido juga banyak terjadi pada para pengguna kontrasepsi oral (pik KB). Pasalnya, hormon globuline pada pil KB bersifat mengikat testosteron sehingga hormon pendongkrak gairah itu tidak leluasa bersirkulasi ke seluruh tubuh. Akibatnya, gairah seksual otomatis menurun,” jelas Dr. Harrina.
Peran budaya –terutama di masyarakat Timur- juga ikut memengaruhi wanita dalam mengekspresikan gairah seksualnya. Sebagai contoh, wanita yang terkesan 'doyan' pada seks, dianggap sebagai bukan 'wanita baik-baik'. Akibatnya, banyak wanita –yang merasa dirinya wanita baik-baik-- memilih menyembunyikan gairahnya, bahkan di hadapan suaminya sendiri. Dan karena terbiasa menekan libido, akhirnya gairah itu jadi tak mau muncul saat benar-benar dibutuhkan.
Namun, yang paling sering merusak gairah wanita adalah masalah psikologis. Mulai dari hal-hal besar seperti trauma masa lalu (misalnya pernah mengalami pelecehan seksual di masa kecil), hingga hal-hal yang sepintas lalu terkesan sepele. Urusan anak yang rewel, rasa tak puas terhadap suami, cicilan kredit yang belum terbayar, kesal pada bos di kantor, rasa tak percaya diri terhadap tubuh yang tak lagi langsing, hingga rasa gelisah karena usia yang terus merangkak naik, bisa membuat wanita kehilangan gairah seksual.
Namun, bukan berarti kita hanya pasrah begitu saja dan membiarkan kehidupan seksual kita menjadi hambar dan tidak menarik lagi. Bila sumbernya adalah masalah fisik, Anda bisa secepatnya berobat ke dokter. Bila Anda dihantui pengalaman masa lalu yang menyakitkan, berkonsultasilah segera ke psikolog atau psikiater untuk mencari kesembuhan.
Kalau sumbernya bersifat psikologis yang serba tak jelas itu? Nah, jelas hanya Anda sendiri yang tahu sumber masalahnya, dan dengan begitu Anda sendiri pula yang harus mencari jalan keluarnya. Setidaknya, sembari kita menunggu hadirnya obat pendongkrak libido wanita yang benar-benar cespleng.
Padahal, pada wanita, gangguan justru lebih sering muncul di tahap paling awal, yaitu sulitnya memunculkan gairah. Jadi, boro-boro mencapai orgasme, mesinnya saja tak sempat menyala! Kenapa begitu, ya? “Karena, pada wanita, masalah libido terkait dengan banyak hal, mulai fisik, psikologis, hingga budaya. Pokoknya kompleks, ruwet, sekaligus misterius,” tambah Dr. Harrina, tertawa.
Masalah fisik, misalnya, meliputi adanya sejumlah penyakit yang kemungkinan 'bersembunyi' di tubuh, antara lain diabetes, hipertensi, dan kolesterol tinggi. Bisa juga karena adanya gangguan pada persarafan seperti trauma di panggul yang menyebabkan seorang wanita kehilangan sensivitas. Atau adanya infeksi di vagina. Karena membayangkan bakal kesakitan bila terjadi penetrasi, belum apa-apa wanita sudah kehilangan gariah untuk bercinta.
Pada wanita perimenopause dan menopause, biang keladinya biasanya adalah masalah hormon. Seperti diketahui, memasuki usia 30+ kadar testosteron (biasa juga disebut hormon androgen) menurun lumayan drastis. Setelah menopause, produksi estrogen (yang antara lain berperan mengatur haid) juga berhenti (meski sebagian ahli meyakini bahwa estrogen tetap diproduksi setelah menopause, meski jumlahnya hanya sedikit). Akibatnya, bibir vagina menipis, yang menyebabkan kegiatan penetrasi seksual bisa menimbulkan rasa sakit.
“Penurunan libido juga banyak terjadi pada para pengguna kontrasepsi oral (pik KB). Pasalnya, hormon globuline pada pil KB bersifat mengikat testosteron sehingga hormon pendongkrak gairah itu tidak leluasa bersirkulasi ke seluruh tubuh. Akibatnya, gairah seksual otomatis menurun,” jelas Dr. Harrina.
Peran budaya –terutama di masyarakat Timur- juga ikut memengaruhi wanita dalam mengekspresikan gairah seksualnya. Sebagai contoh, wanita yang terkesan 'doyan' pada seks, dianggap sebagai bukan 'wanita baik-baik'. Akibatnya, banyak wanita –yang merasa dirinya wanita baik-baik-- memilih menyembunyikan gairahnya, bahkan di hadapan suaminya sendiri. Dan karena terbiasa menekan libido, akhirnya gairah itu jadi tak mau muncul saat benar-benar dibutuhkan.
Namun, yang paling sering merusak gairah wanita adalah masalah psikologis. Mulai dari hal-hal besar seperti trauma masa lalu (misalnya pernah mengalami pelecehan seksual di masa kecil), hingga hal-hal yang sepintas lalu terkesan sepele. Urusan anak yang rewel, rasa tak puas terhadap suami, cicilan kredit yang belum terbayar, kesal pada bos di kantor, rasa tak percaya diri terhadap tubuh yang tak lagi langsing, hingga rasa gelisah karena usia yang terus merangkak naik, bisa membuat wanita kehilangan gairah seksual.
Namun, bukan berarti kita hanya pasrah begitu saja dan membiarkan kehidupan seksual kita menjadi hambar dan tidak menarik lagi. Bila sumbernya adalah masalah fisik, Anda bisa secepatnya berobat ke dokter. Bila Anda dihantui pengalaman masa lalu yang menyakitkan, berkonsultasilah segera ke psikolog atau psikiater untuk mencari kesembuhan.
Kalau sumbernya bersifat psikologis yang serba tak jelas itu? Nah, jelas hanya Anda sendiri yang tahu sumber masalahnya, dan dengan begitu Anda sendiri pula yang harus mencari jalan keluarnya. Setidaknya, sembari kita menunggu hadirnya obat pendongkrak libido wanita yang benar-benar cespleng.
Tina Savitri