Seberapa banyak anak muda sekarang yang tertarik pada sejarah? Sepertinya, sih, tidak banyak, apalagi mereka yang tinggal di kota-kota besar. Dengan adanya teknologi internet, mereka justru lebih senang berburu dengan waktu agar bisa selalu up-to-date dan mengejar real time.
Mungkin karena alasan itu pula maka Angga Dwimas Sasongko, sutradara dan produser film "Surat dari Praha", terpaksa mengemas sejarah dengan kisah cinta dan hal-hal kekinian agar generasi muda tertarik untuk menontonnya, tidak merasa bosan, dan tetap terkoneksi. Maklum, film yang tayang di bioskop-bioskop nasional mulai 28 Januari 2016 ini sejatinya berkisah tentang orang-orang Indonesia yang menjadi eksil di Praha, ibu kota Republik Ceko, pasca peristiwa G30S-1965. Amat jauh dari kehidupan anak muda sekarang, yang mungkin tak mempelajarinya di sekolah.
Film yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini berkisah tentang Jaya (Tio Pakusadewo), salah satu dari puluhan mahasiswa ikatan dinas yang dikirim Pemerintah Indonesia untuk belajar di Praha. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia memang lebih dekat ke negara-negara Blok Timur yang berhaluan komunis, antara lain Ceko (waktu itu namanya masih Cekoslowakia). Namun ketika Soekarno jatuh menyusul peristiwa 1965 dan Orde Baru di bawah Soeharto berdiri, para mahasiswa Indonesia di luar negeri harus menandatangani pakta bahwa mereka akan setia pada Orde Baru, sebagai syarat untuk bisa pulang ke Indonesia.
Jaya dan beberapa temannya menolak menandatanganinya. Risikonya, Jaya harus kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan tak bisa kembali ke Tanah Air, sekalipun untuk menengok orang tuanya yang meninggal dunia. Sebagai sarjana teknik nuklir, ia hanya bisa bekerja sebagai tenaga kebersihan di gedung opera. “Kami bukan komunis, kami hanya loyalis Soekarno,” tegas Jaya kepada Larasati (Julie Estelle) yang mendatangi Jaya ke apartemennya di daerah kumuh Praha.
Laras mencari Jaya untuk meminta tanda tangan Jaya, untuk melengkapi persyaratan yang diajukan almarhumah ibunya, Sulastri (Widyawati), bila Laras ingin menjual rumah warisan sang ibu. Laras juga diminta untuk mengembalikan kotak berisi surat-surat yang pernah dikirimkan Jaya kepada Lastri, kekasih yang ditinggalkannya di Indonesia, selama bertahun-tahun. Saat itu Laras memang tengah membutuhkan uang untuk mengurus perceraiannya yang alot. Hubungan Laras dan ibunya memang tak pernah harmonis. Laras menganggap ibunya tak pernah mencintai dia dan ayahnya, dan hanya sibuk menyendiri. Hubungan keduanya makin memburuk setelah sang ayah meninggal, karena Laras menganggap sang ibulah yang membiarkan ayahnya mati merana.
Tio Pakusadewo berakting dahsyat. Ia mampu menghayati perasaan seorang lelaki berusia menjelang 70an yang hidup sendirian, hanya ditemani anjing setianya yang bernama Bagong, berusaha tegar memendam rasa frustrasi dan kesepiannya di negeri orang. Emosinya yang turun-naik saat terpaksa menerima Laras, yang dirampok saat naik taksi, untuk tinggal di apartemennya sembari mengurus paspor hanya bisa diperankan oleh aktor watak sekaliber Tio Pakusadewo. Bisa dibilang, aktor di film ini hanya dua orang, yaitu Tio dan Julie, meskipun sesekali muncul Rio Dewanto sebagai bartender. Bahkan Chicco Jerikho hanya muncul sekelebat sebagai (mantan) suami Laras. Meskipun berusaha menyeimbangkan diri, tampaknya kualitas akting Julie Estelle masih jauh tertinggal di belakang Tio. Berbagai emosi yang berkecamuk di hatinya ia tampilkan nyaris serupa saja: dingin dan keras.
Selain dihiasi lagu-lagu Glenn Fredly, yang juga produser film ini, sejumlah lagu ciptaan Ismail Marzuki berhasil membuat film ini sarat nostalgia yang menyayat hati. Sebut saja "Di Wajahmu Kulihat Bulan" (yang dinyanyikan sendiri oleh Tio), "Rindu Lukisan", dan "Indonesia Pusaka." Film yang pantas ditonton, terutama bila Anda ingin bukti (lagi) akting ciamik Tio Pakusadewo.
Foto: Visinema Pictures