Desa Kusamba merupakan daerah dengan curah hujan yang paling sedikit. Selain landai, pantai timur Pulau Bali ini ditutupi dengan pasir hitam berasal dari sisa letusan Gunung Agung di masa lampau. Lebih ideal lagi, di daerah tersebut tidak ada muara sungai. Muara sungai pada umumnya mengandung lumpur, sehingga kadar garam air laut di sekitarnya juga menjadi kurang asin.
Semua proses pembuatan garam di Kusamba dikerjakan dengan cara tradisional, turun temurun dari generasi ke generasi. Mula-mula petani garam akan membersihkan sepetak pasir dari sampah, tanah, kulit kerang, atau pecahan karang. Lokasinya diusahakan tidak berapa jauh dari pantai, namun tetap aman saat air laut pasang. Petak pasur itu lalu digemburkan menggunakan pacul.
Pagi-pagi buta para petani garam sudah mulai menyirami petak pasir mereka. Untuk itu mereka harus menciduk air laut sebanyak 40 kali. Sebuah petak pasir menghabiskan tenaga sebanyak 80 kali berjalan maju mundur membawa pukulan dengan 2 ember air laut. Tugas tersebut dilakukan 3 sampai 4 kali dalam sehari. Setelah apsir itu "matang", lalu dipindahkan ke tempat pengeringan yang beralaskan kain terpal. Khusus untuk tahap ini biasanya para istri petani garam ikut mmebantu mengangkuti pasir tersebut. Dengan bantian sinar matahari dan tiupan angin kencang, lapisan kristal garam mulai terbentuk. Proses pembuatan garam laut membutuhkan waktu 5 sampai 7 hari (apabila tidak turun hujan).
Yang sangat menakjubkan, akibat pertemuan air laut dingin berasal dari utara Bali dengan air laut panas di Selat Lombok, mengakibatkan butiran kristal garam di Kusamba berbentuk piramida dengan dasar empat segi namun bagian tengahnya kosong. Konon bentuk butiran garam laut seperti ini hanya ada di sana.
Karena cara pembuatan garam Kusamba masih sangat tradisional, serta hasilnya masih tetap murni, untuk membedakan dengan garam yang dibuat secara industrial, maka garam Kusamba berhak menyandang gelar artisanal. Khusus untuk garam Kusamba, penjual berhak memsang harga lebih tinggi agar para petaninya bisa tetap berproduksi (fair trade). Dijualnya pun di tempat-tempat khusus dengan harapan para konsumen dapat menghargai usaha pelestarian ini. Umumnya produk artisanal lebih menekankan pada kualitas dibanding kuantitas yang dihasilkan.
Semua proses pembuatan garam di Kusamba dikerjakan dengan cara tradisional, turun temurun dari generasi ke generasi. Mula-mula petani garam akan membersihkan sepetak pasir dari sampah, tanah, kulit kerang, atau pecahan karang. Lokasinya diusahakan tidak berapa jauh dari pantai, namun tetap aman saat air laut pasang. Petak pasur itu lalu digemburkan menggunakan pacul.
Pagi-pagi buta para petani garam sudah mulai menyirami petak pasir mereka. Untuk itu mereka harus menciduk air laut sebanyak 40 kali. Sebuah petak pasir menghabiskan tenaga sebanyak 80 kali berjalan maju mundur membawa pukulan dengan 2 ember air laut. Tugas tersebut dilakukan 3 sampai 4 kali dalam sehari. Setelah apsir itu "matang", lalu dipindahkan ke tempat pengeringan yang beralaskan kain terpal. Khusus untuk tahap ini biasanya para istri petani garam ikut mmebantu mengangkuti pasir tersebut. Dengan bantian sinar matahari dan tiupan angin kencang, lapisan kristal garam mulai terbentuk. Proses pembuatan garam laut membutuhkan waktu 5 sampai 7 hari (apabila tidak turun hujan).
Yang sangat menakjubkan, akibat pertemuan air laut dingin berasal dari utara Bali dengan air laut panas di Selat Lombok, mengakibatkan butiran kristal garam di Kusamba berbentuk piramida dengan dasar empat segi namun bagian tengahnya kosong. Konon bentuk butiran garam laut seperti ini hanya ada di sana.
Karena cara pembuatan garam Kusamba masih sangat tradisional, serta hasilnya masih tetap murni, untuk membedakan dengan garam yang dibuat secara industrial, maka garam Kusamba berhak menyandang gelar artisanal. Khusus untuk garam Kusamba, penjual berhak memsang harga lebih tinggi agar para petaninya bisa tetap berproduksi (fair trade). Dijualnya pun di tempat-tempat khusus dengan harapan para konsumen dapat menghargai usaha pelestarian ini. Umumnya produk artisanal lebih menekankan pada kualitas dibanding kuantitas yang dihasilkan.
Widarti Gunawan