Anda memiliki pengetahuan umum yang bagus, namun tidak menguasai cara membayar tagihan telepon? Atau, Anda ambisius dan selalu bersemangat, tapi sering berkecil hati hanya karena tugas-tugas sepele? Lalu, Anda selalu kehilangan barang, lupa pada janji-janji, dan harus berusaha keras agar tak ketinggalan dari orang lain? Sehingga Anda merasa hidup terasa runyam? Bila jawaban Anda‘ya’ untuk setiap pertanyaan di atas, Anda mungkin terserang gangguan konsentrasi atau dikenal dengan istilah attention deficit disorder (ADD) dewasa.
Gangguan afeksi atau atensi?
Dokter Danardi Sosrosumihardjo, Sp.KJ(K), psikiater dan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan, sebetulnya istilah ADD lebih lazim diberikan kepada anak-anak, sementara pada orang dewasa biasanya gejala ADD dimasukkan ke dalam kategori gangguan afeksi, hipomanik, atau hiperkinetik, Namun belakangan orang mulai menyebutnya sebagai “ADD dewasa”.
Dari riset kepustakaan, belum jelas diketahui penyebab patologis dari 'penyakit' ini. Sebagian ahli menduga ADD disebabkan oleh rendahnya tingkat aktivitas bagian otak yang bertugas memusatkan perhatian dan konsentrasi. Sehingga orang yang menderita ADD seringkali dianggap ceroboh dan tidak rapi.
Sementara menurut Danardi, penyebab lain di luar masalah atensi adalah gangguanafeksi (emosi). Karenanya orang ADD juga sering terlihat gelisah, mudah lupa, dan frustrasi. Maka tak heran jika penderita ADD sering mengalami 'bencana': dari sering kehilangan dompet atau kunci, daging hangus, sampai air kamar mandi yang meluap. Ketidakmampuan penderita ADD untuk memusatkan perhatian seringkali mengacaukan tugas yang beragam, dan juga membuat penderita sulit mengikuti instruksi sederhana atau menjalani rutinitas.
“Merupakan perjuangan terus-menerus untuk bisa sembuh,” kata psikolog Dr. Peter Powell, pimpinan Sydney’s Pastoral Counselling Institute, yang pernah menderita ADD. “Saya memiliki 5 set kunci rumah, karena saya selalu kehilangan barang. Saya juga selalu menempelkan kertas berisi catatan di mana-mana di dalam rumah untuk mengingatkan diri sendiri. Saya juga selalu membawa tas besar, agar tidak lupa membawanya,” cerita Powell.
Namun kebanyakan orang tidak bisa melihat ADD sebagai penyakit. Karenanya mereka mengasosiasikan keadaan ini sebagai sikap agresif dan anti-sosial yang sering dikaitkan dengan anak-anak dengan gangguan hiperaktif atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Bila anak ADHD terus meloncat-loncat dan menarik perhatian, anak dengan ADD umumnya pendiam dan pemimpi. Mereka lebih suka duduk manis, melempar pandangan ke luar jendela, dan asyik dengan pikirannya sendiri. Namun demikian, menurut Danardi penderita ADD tidak selalu mengalami masalah tingkah laku atau hubungan sosial. “Tergantung pada tingkat keparahan gangguannya.”
Bisa berawal dari masa kecil
Ada semacam dugaan bahwa ADD pada orang dewasa dimulai dari gangguan serupa pada masa anak-anak. Jika masalah ini tidak mendapat bantuan pengobatan atau terapi secara tuntas, maka ketika dewasa, mereka akan mengalami ADD kronis. Akhirnya mereka akan sulit memusatkan perhatian pada satu hal di waktu yang sama dan terus-menerus melompat dari tugas yang satu ke tugas yang lain sehingga membuat kesalahan dan melanggar deadline. Hal ini membuat mereka sulit bersikap profesional, karena sering tampak bingung dan tidak kompeten.
“Saya punya seorang klien yang sebenarnya punya karier bagus, tapi selalu paranoid karena takut kehilangan pekerjaannya atau ketahuan ‘belangnya’,” cerita Dr. Chris Wever, psikiater di Sydney’s Delphis Anxiety Disorder Clinic. “Dia pun berusaha keras mengatur jadwal hariannya, tapi sangat sulit berkonsentrasi sehingga terpaksa membawa pulang pekerjaannya dan menambah 3 atau 4 jam waktunya setiap malam, agar bisa tetap bertahan pada posisinya.”
Namun pendapat ini masih pro dan kontra. Di sisi lain ada ahli yang berpendapat bahwa ADD pada anak akan cenderung hilang ketika dewasa karena kognisi dan afeksi seseorang berkembang lebih baik. “Hanya saja pada ADD dewasa, gejala gangguan aktivitas yang mengacau, tidak beraturan, atau berlebihan, tingkatannya lebih ringan dibanding ADD pada anak,” tutup Danardi.
Gangguan afeksi atau atensi?
Dokter Danardi Sosrosumihardjo, Sp.KJ(K), psikiater dan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan, sebetulnya istilah ADD lebih lazim diberikan kepada anak-anak, sementara pada orang dewasa biasanya gejala ADD dimasukkan ke dalam kategori gangguan afeksi, hipomanik, atau hiperkinetik, Namun belakangan orang mulai menyebutnya sebagai “ADD dewasa”.
Dari riset kepustakaan, belum jelas diketahui penyebab patologis dari 'penyakit' ini. Sebagian ahli menduga ADD disebabkan oleh rendahnya tingkat aktivitas bagian otak yang bertugas memusatkan perhatian dan konsentrasi. Sehingga orang yang menderita ADD seringkali dianggap ceroboh dan tidak rapi.
Sementara menurut Danardi, penyebab lain di luar masalah atensi adalah gangguanafeksi (emosi). Karenanya orang ADD juga sering terlihat gelisah, mudah lupa, dan frustrasi. Maka tak heran jika penderita ADD sering mengalami 'bencana': dari sering kehilangan dompet atau kunci, daging hangus, sampai air kamar mandi yang meluap. Ketidakmampuan penderita ADD untuk memusatkan perhatian seringkali mengacaukan tugas yang beragam, dan juga membuat penderita sulit mengikuti instruksi sederhana atau menjalani rutinitas.
“Merupakan perjuangan terus-menerus untuk bisa sembuh,” kata psikolog Dr. Peter Powell, pimpinan Sydney’s Pastoral Counselling Institute, yang pernah menderita ADD. “Saya memiliki 5 set kunci rumah, karena saya selalu kehilangan barang. Saya juga selalu menempelkan kertas berisi catatan di mana-mana di dalam rumah untuk mengingatkan diri sendiri. Saya juga selalu membawa tas besar, agar tidak lupa membawanya,” cerita Powell.
Namun kebanyakan orang tidak bisa melihat ADD sebagai penyakit. Karenanya mereka mengasosiasikan keadaan ini sebagai sikap agresif dan anti-sosial yang sering dikaitkan dengan anak-anak dengan gangguan hiperaktif atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Bila anak ADHD terus meloncat-loncat dan menarik perhatian, anak dengan ADD umumnya pendiam dan pemimpi. Mereka lebih suka duduk manis, melempar pandangan ke luar jendela, dan asyik dengan pikirannya sendiri. Namun demikian, menurut Danardi penderita ADD tidak selalu mengalami masalah tingkah laku atau hubungan sosial. “Tergantung pada tingkat keparahan gangguannya.”
Bisa berawal dari masa kecil
Ada semacam dugaan bahwa ADD pada orang dewasa dimulai dari gangguan serupa pada masa anak-anak. Jika masalah ini tidak mendapat bantuan pengobatan atau terapi secara tuntas, maka ketika dewasa, mereka akan mengalami ADD kronis. Akhirnya mereka akan sulit memusatkan perhatian pada satu hal di waktu yang sama dan terus-menerus melompat dari tugas yang satu ke tugas yang lain sehingga membuat kesalahan dan melanggar deadline. Hal ini membuat mereka sulit bersikap profesional, karena sering tampak bingung dan tidak kompeten.
“Saya punya seorang klien yang sebenarnya punya karier bagus, tapi selalu paranoid karena takut kehilangan pekerjaannya atau ketahuan ‘belangnya’,” cerita Dr. Chris Wever, psikiater di Sydney’s Delphis Anxiety Disorder Clinic. “Dia pun berusaha keras mengatur jadwal hariannya, tapi sangat sulit berkonsentrasi sehingga terpaksa membawa pulang pekerjaannya dan menambah 3 atau 4 jam waktunya setiap malam, agar bisa tetap bertahan pada posisinya.”
Namun pendapat ini masih pro dan kontra. Di sisi lain ada ahli yang berpendapat bahwa ADD pada anak akan cenderung hilang ketika dewasa karena kognisi dan afeksi seseorang berkembang lebih baik. “Hanya saja pada ADD dewasa, gejala gangguan aktivitas yang mengacau, tidak beraturan, atau berlebihan, tingkatannya lebih ringan dibanding ADD pada anak,” tutup Danardi.
Shinta Kusuma