Anda mungkin pernah bertanya-tanya sendiri, mengapa Anda jadi sering lupa dan makin pelupa. Namun, Alzheimer? Anda keliru bila memastikan penyakit ini bagian lumrah dari penuaan. Yang benar, Alzheimer memang menyerang banyak lansia, tetapi bukan bagian normal dalam proses penuaan!
Kerak di otak
Meski berbagai gejalanya sudah dikenali, penyebab Alzheimer hingga kini belum dapat dipastikan. Dari hasil pembedahan otak penderita oleh psikiater Jerman Alois Azheimer pada tahun 1906, diketahui terdapat kerusakan jaringan dan sel-sel saraf di otak pada penderita. Kerusakan ini tidak terjadi secara mendadak, melainkan berlangsung perlahan-lahan dan tergantung pada bagian otak yang terkena. Penderita mengalami penurunan fungsi yang mengatur ingatan, kemampuan menggunakan bahasa, dan persepsi terhadap ruang dan waktu, termasuk kemampuan untuk mengenali lingkungan sekitar. Ujung-ujungnya penderita tidak lagi mampu menjaga dan merawat diri sendiri.
Umumnya penyakit ini baru menampakkan keparahannya pada usia di atas 50 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 65 tahun ke atas. Namun, meski jarang, ada juga penderita yang mengalami gejala-gejala awal Alzheimer pada usia 30-an dan 40-an. Ini yang perlu Anda camkan: Alzheimer bukanlah bagian yang normal dari proses penuaan, namun risikonya meningkat seiring pertambahan usia. Ada data yang menyebutkan sekitar 10 persen penduduk Amerika berusia di atas 65 tahun terkena Alzheimer, dan hampir 50 persen lansia berusia di atas 85 merupakan kelompok penyandang risiko.
Sewaktu Dokter Alois Alzheimer pertama kali membedah otak penderita, ia menemukan semacam lapisan kerak dan jumbai, terselap-selip di antara neuron (sel-sel otak). Ukuran, bentuk, dan teksur lapisan kerak itu bermacam-macam. Kini sudah diketahui bahwa kerak dan jumbai itu adalah senyawa beta amiloid dan gamma amiloid. Sebenarnya, senyawa tersebut merupakan produk normal metabolisme tubuh, tapi entah mengapa senyawa ini menumpuk di dalam otak, terutama pada bagian yang mengatur
fungsi ingatan.
Kerak atau jumbai ini menempel atau saling belit di antara neuron, sehingga menghalangi komunikasi antarneuron. Padahal, jalinan antarneuron ini berfungsi mengantarkan dan menerjemahkan seluruh komunikasi elektrokimiawi otak dengan bagian-bagian sistem saraf lainnya. Akibatnya, jaringan antar sel-sel di otak terganggu, mengerut, lalu mati. Itulah yang menyebabkan kemampuan mengingat dan berpikir jadi terganggu.
Genetik dan lingkungan
Ketika diadakan pembedahan pada otak penderita, ditemukan bahwa penderita Alzheimer
juga mengalami defisiensi beberapa senyawa kimia otak neurotransmitter. Neurotransmitter yang berkurang antara lain adalah senyawa asetilkolin yang bertanggung jawab terhadap proses mengingat. Pada awal perjalanan penyakit, yang ditemukan berkurang adalah senyawa neurokimiawi serotonin dan norepinephrine (adrenalin). Senyawa serotonin berfungsi dalam sistem saraf pusat berkaitan dengan suasana hati, ingatan, dan selera makan.
Seluruh fungsi otak bergantung pada kelancaran kerja berbagai neurotransmitter ini. Mereka ibarat pasukan yang mengantarkan pesan-pesan ulang-alik antarsel saraf. Boleh dibilang, mereka menentukan kesehatan lahir batin manusia. Bayangkan apa yang terjadi pada otak penderita Alzheimer yang mengalami gangguan komunikasi di antara sel-sel otak dan defisiensi neurotransmitter ini.
Mengapa terbentuk kerak dan jumbai di antara sel-sel otak, itu masih merupakan misteri. Para ahli baru dapat memetakan faktor-faktor risikonya. Dengan kata lain mereka hanya dapat menggolongkan siapa saja yang berisiko untuk terkena dan apa saja yang memungkinkan terkena.
Salah satu faktor risiko itu adalah bila ada riwayat Alzheimer dalam keluarga. Ada lagi penelitian yang menemukan kaitan antara mutasi gen pada penderita down syndrome dengan risiko Alzheimer. Penderita down syndrome biasanya mengalami pertumbuhan kerak dan jumbai di otak saat mereka menua, dan para peneliti meyakini bahwa kajian lebih mendalam tentang kesamaan antara down syndrome dan Alzheimer akan memberikan pemahaman terhadap faktor-faktor genetik penyakit ini.
Penelitian mutakhir menemukan bahwa selain keturunan, faktor diet pun tampaknya berperan. Pada Februari 2001 dipublikasikan hasil penelitian yang membandingkan orang-orang Ibadan, Nigeria, yang makan dengan menu vegetarian rendah lemak, dengan orang-orang Afro-Amerika yang tinggal di Indianapolis, Amerika Serikat, yang rata-rata mengonsumsi makanan tinggi lemak. Orang-orang Nigeria di tempat asal ini jarang yang terkena penyakit Alzheimer ketimbang rekan-rekan mereka yang seumur hidup tinggal di Amerika.
Ada ahli yang juga menduga berbagai gangguan seperti darah tinggi, penyumbatan pembuluh darah arteri, dan gangguan kardiovaskuler lainnya merupakan penyumbang risiko. Begitu juga faktor lingkungan. Tingginya kadar aluminium di dalam otak, paparan seng, virus, dan keracunan makanan diduga juga merupakan faktor risiko. Namun, belum ada hasil penelitian yang konklusif mengenai kaitan faktor-faktor itu dengan kejadian Alzheimer.
Ada lagi peneliti yang menemukan bahwa trauma pada otak dapat memicu proses penurunan fungsi pada penyakit Alzheimer. Misalnya, penelitian pada rekam medis para veteran Perang Dunia II (1939-1945) mengaitkan antara cedera kepala yang berat pada waktu muda dengan penyakit Alzheimer di usia tua.
(bersambung)
Kerak di otak
Meski berbagai gejalanya sudah dikenali, penyebab Alzheimer hingga kini belum dapat dipastikan. Dari hasil pembedahan otak penderita oleh psikiater Jerman Alois Azheimer pada tahun 1906, diketahui terdapat kerusakan jaringan dan sel-sel saraf di otak pada penderita. Kerusakan ini tidak terjadi secara mendadak, melainkan berlangsung perlahan-lahan dan tergantung pada bagian otak yang terkena. Penderita mengalami penurunan fungsi yang mengatur ingatan, kemampuan menggunakan bahasa, dan persepsi terhadap ruang dan waktu, termasuk kemampuan untuk mengenali lingkungan sekitar. Ujung-ujungnya penderita tidak lagi mampu menjaga dan merawat diri sendiri.
Umumnya penyakit ini baru menampakkan keparahannya pada usia di atas 50 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 65 tahun ke atas. Namun, meski jarang, ada juga penderita yang mengalami gejala-gejala awal Alzheimer pada usia 30-an dan 40-an. Ini yang perlu Anda camkan: Alzheimer bukanlah bagian yang normal dari proses penuaan, namun risikonya meningkat seiring pertambahan usia. Ada data yang menyebutkan sekitar 10 persen penduduk Amerika berusia di atas 65 tahun terkena Alzheimer, dan hampir 50 persen lansia berusia di atas 85 merupakan kelompok penyandang risiko.
Sewaktu Dokter Alois Alzheimer pertama kali membedah otak penderita, ia menemukan semacam lapisan kerak dan jumbai, terselap-selip di antara neuron (sel-sel otak). Ukuran, bentuk, dan teksur lapisan kerak itu bermacam-macam. Kini sudah diketahui bahwa kerak dan jumbai itu adalah senyawa beta amiloid dan gamma amiloid. Sebenarnya, senyawa tersebut merupakan produk normal metabolisme tubuh, tapi entah mengapa senyawa ini menumpuk di dalam otak, terutama pada bagian yang mengatur
fungsi ingatan.
Kerak atau jumbai ini menempel atau saling belit di antara neuron, sehingga menghalangi komunikasi antarneuron. Padahal, jalinan antarneuron ini berfungsi mengantarkan dan menerjemahkan seluruh komunikasi elektrokimiawi otak dengan bagian-bagian sistem saraf lainnya. Akibatnya, jaringan antar sel-sel di otak terganggu, mengerut, lalu mati. Itulah yang menyebabkan kemampuan mengingat dan berpikir jadi terganggu.
Genetik dan lingkungan
Ketika diadakan pembedahan pada otak penderita, ditemukan bahwa penderita Alzheimer
juga mengalami defisiensi beberapa senyawa kimia otak neurotransmitter. Neurotransmitter yang berkurang antara lain adalah senyawa asetilkolin yang bertanggung jawab terhadap proses mengingat. Pada awal perjalanan penyakit, yang ditemukan berkurang adalah senyawa neurokimiawi serotonin dan norepinephrine (adrenalin). Senyawa serotonin berfungsi dalam sistem saraf pusat berkaitan dengan suasana hati, ingatan, dan selera makan.
Seluruh fungsi otak bergantung pada kelancaran kerja berbagai neurotransmitter ini. Mereka ibarat pasukan yang mengantarkan pesan-pesan ulang-alik antarsel saraf. Boleh dibilang, mereka menentukan kesehatan lahir batin manusia. Bayangkan apa yang terjadi pada otak penderita Alzheimer yang mengalami gangguan komunikasi di antara sel-sel otak dan defisiensi neurotransmitter ini.
Mengapa terbentuk kerak dan jumbai di antara sel-sel otak, itu masih merupakan misteri. Para ahli baru dapat memetakan faktor-faktor risikonya. Dengan kata lain mereka hanya dapat menggolongkan siapa saja yang berisiko untuk terkena dan apa saja yang memungkinkan terkena.
Salah satu faktor risiko itu adalah bila ada riwayat Alzheimer dalam keluarga. Ada lagi penelitian yang menemukan kaitan antara mutasi gen pada penderita down syndrome dengan risiko Alzheimer. Penderita down syndrome biasanya mengalami pertumbuhan kerak dan jumbai di otak saat mereka menua, dan para peneliti meyakini bahwa kajian lebih mendalam tentang kesamaan antara down syndrome dan Alzheimer akan memberikan pemahaman terhadap faktor-faktor genetik penyakit ini.
Penelitian mutakhir menemukan bahwa selain keturunan, faktor diet pun tampaknya berperan. Pada Februari 2001 dipublikasikan hasil penelitian yang membandingkan orang-orang Ibadan, Nigeria, yang makan dengan menu vegetarian rendah lemak, dengan orang-orang Afro-Amerika yang tinggal di Indianapolis, Amerika Serikat, yang rata-rata mengonsumsi makanan tinggi lemak. Orang-orang Nigeria di tempat asal ini jarang yang terkena penyakit Alzheimer ketimbang rekan-rekan mereka yang seumur hidup tinggal di Amerika.
Ada ahli yang juga menduga berbagai gangguan seperti darah tinggi, penyumbatan pembuluh darah arteri, dan gangguan kardiovaskuler lainnya merupakan penyumbang risiko. Begitu juga faktor lingkungan. Tingginya kadar aluminium di dalam otak, paparan seng, virus, dan keracunan makanan diduga juga merupakan faktor risiko. Namun, belum ada hasil penelitian yang konklusif mengenai kaitan faktor-faktor itu dengan kejadian Alzheimer.
Ada lagi peneliti yang menemukan bahwa trauma pada otak dapat memicu proses penurunan fungsi pada penyakit Alzheimer. Misalnya, penelitian pada rekam medis para veteran Perang Dunia II (1939-1945) mengaitkan antara cedera kepala yang berat pada waktu muda dengan penyakit Alzheimer di usia tua.
(bersambung)