Karena kehadirannya tak bisa dicegah, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah menghalau sang trauma secepatnya begitu dia hinggap. Ada beberapa cara yang bisa digunakan. Yayasan Pulih, yang didirikan pada 2002, banyak menangani kasus-kasus trauma, terutama akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual, termasuk pemerkosaan. Yayasan ini lebih banyak menggunakan terapi curhat. “Lewat konsultasi, kami berusaha memancing keluar ketakutan-ketakutan yang mereka rasakan atau pendam, sekaligus menggali penyebab atau pemicunya,” ungkap Angesty Putri Ageng, psikolog dari Yayasan Pulih.
Pada anak-anak, mungkin prosesnya lebih sulit, karena mereka belum memiliki keterampilan yang memadai untuk mengekspresikan diri, atau kosa kata mereka masih terbatas. Karena itu, tak jarang digunakan alat bantu, misalnya si anak diminta untuk mengekspresikan perasaan lewat gambar.
Namun, bukan berarti proses terapi pada orang dewasa lebih mudah. Pasalnya, orang dewasa kerap melakukan upaya penghindaran, penyangkalan, atau penolakan terhadap kenyataan yang tidak diinginkannya, atau karena terhalang oleh tabu serta dogma yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, seorang istri dianggap tidak pantas bila mengungkap aib suami atau anaknya sendiri. “Awalnya mungkin sulit, namun sekali kita bisa 'buang sampah', biasanya proses selanjutnya menjadi lebih mudah,” ujar Anges, yang mengibaratkan proses terapi ini sebagai detoksifikasi jiwa. Setelah sampah-sampah dibersihkan, baru dilakukan terapi tahap berikutnya, yaitu menumbuhkan motivasi untuk melanjutkan hidup secara normal kembali.
Ada pula terapi yang harus dibarengi dengan latihan di lapangan. Fitri Prasetya (46), contohnya, mengalami trauma akibat pernah hampir tenggelam ketika berenang di kolam renang yang dalam saat ia duduk di bangku SD. Setelah itu, selama puluhan tahun ia tak berani lagi berenang di kolam dalam, apalagi di laut. “Saya bisa berenang dengan baik di kolam yang dalamnya maksimal 2 meter. Lebih dalam dari itu, mendadak saya tidak bisa berenang,” katanya.
Karena ingin sekali mengalami nikmatnya snorkeling dan diving di laut, seperti yang dilakukan beberapa sahabatnya, akhirnya Fitri bertekad untuk mengatasi traumanya. Ia pun mendatangi psikolog, yang kemudian merujuknya ke seorang pelatih renang yang juga terapis. “Meskipun belum berani di laut, kini saya sudah berani berenang di kolam 3 meter. Lumayan,” kata Fitri, senang.
Kesadaran untuk datang ke psikolog itu pula yang muncul dalam diri Frieda setelah bertahun-tahun hidupnya terpuruk. Kebetulan ia punya sahabat seorang psikolog, sehingga ia mengaku lebih mudah mencurahkan isi hati. “Saya butuh memulihkan diri dari trauma ini, karena sudah sangat mengganggu sekaligus menghambat kesempatan saya untuk mendapatkan jodoh,” katanya terus terang. Lima tahun lalu ia akhirnya berani memulai lagi sebuah hubungan baru, dengan seorang pria Belanda. Setahun kemudian keduanya menikah dan kini tinggal di Groningen, Belanda.
Memang tidak ada jaminan trauma tak akan muncul lagi, atau tetap ada kemungkinan kita
mengalami trauma baru. Namun, memang begitulah hidup; ada senang ada susah, ada berhasil ada gagal. Dihadapi saja apa yang datang dengan hati lapang dan ikhlas. Kuncinya: jangan menghindar atau menolak kenyataan –sepahit apa pun. Tanamkan pikiran bahwa setiap badai pasti akan berlalu –cepat atau lambat, kegagalan adalah hal biasa dan dialami oleh semua manusia, setiap masalah pasti akan ada pemecahannya, dan dalam menjalani kehidupan dibutuhkan keberanian untuk menghadapi segala risiko dan kemungkinan.
'Memelihara' trauma bukan saja menghambat kita untuk berbahagia, tapi juga menutup kesempatan kita untuk meraih keberhasilan. Satu-dua kali gagal saat memperjuangkan sesuatu, bukan berarti gagal untuk selamanya. Bisa jadi di usaha ketiga, pintu sukses justru terbuka.
Kalau baru sekali gagal kita tak berani mencoba lagi, sayang sekali, bukan?
Pada anak-anak, mungkin prosesnya lebih sulit, karena mereka belum memiliki keterampilan yang memadai untuk mengekspresikan diri, atau kosa kata mereka masih terbatas. Karena itu, tak jarang digunakan alat bantu, misalnya si anak diminta untuk mengekspresikan perasaan lewat gambar.
Namun, bukan berarti proses terapi pada orang dewasa lebih mudah. Pasalnya, orang dewasa kerap melakukan upaya penghindaran, penyangkalan, atau penolakan terhadap kenyataan yang tidak diinginkannya, atau karena terhalang oleh tabu serta dogma yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, seorang istri dianggap tidak pantas bila mengungkap aib suami atau anaknya sendiri. “Awalnya mungkin sulit, namun sekali kita bisa 'buang sampah', biasanya proses selanjutnya menjadi lebih mudah,” ujar Anges, yang mengibaratkan proses terapi ini sebagai detoksifikasi jiwa. Setelah sampah-sampah dibersihkan, baru dilakukan terapi tahap berikutnya, yaitu menumbuhkan motivasi untuk melanjutkan hidup secara normal kembali.
Ada pula terapi yang harus dibarengi dengan latihan di lapangan. Fitri Prasetya (46), contohnya, mengalami trauma akibat pernah hampir tenggelam ketika berenang di kolam renang yang dalam saat ia duduk di bangku SD. Setelah itu, selama puluhan tahun ia tak berani lagi berenang di kolam dalam, apalagi di laut. “Saya bisa berenang dengan baik di kolam yang dalamnya maksimal 2 meter. Lebih dalam dari itu, mendadak saya tidak bisa berenang,” katanya.
Karena ingin sekali mengalami nikmatnya snorkeling dan diving di laut, seperti yang dilakukan beberapa sahabatnya, akhirnya Fitri bertekad untuk mengatasi traumanya. Ia pun mendatangi psikolog, yang kemudian merujuknya ke seorang pelatih renang yang juga terapis. “Meskipun belum berani di laut, kini saya sudah berani berenang di kolam 3 meter. Lumayan,” kata Fitri, senang.
Kesadaran untuk datang ke psikolog itu pula yang muncul dalam diri Frieda setelah bertahun-tahun hidupnya terpuruk. Kebetulan ia punya sahabat seorang psikolog, sehingga ia mengaku lebih mudah mencurahkan isi hati. “Saya butuh memulihkan diri dari trauma ini, karena sudah sangat mengganggu sekaligus menghambat kesempatan saya untuk mendapatkan jodoh,” katanya terus terang. Lima tahun lalu ia akhirnya berani memulai lagi sebuah hubungan baru, dengan seorang pria Belanda. Setahun kemudian keduanya menikah dan kini tinggal di Groningen, Belanda.
Memang tidak ada jaminan trauma tak akan muncul lagi, atau tetap ada kemungkinan kita
mengalami trauma baru. Namun, memang begitulah hidup; ada senang ada susah, ada berhasil ada gagal. Dihadapi saja apa yang datang dengan hati lapang dan ikhlas. Kuncinya: jangan menghindar atau menolak kenyataan –sepahit apa pun. Tanamkan pikiran bahwa setiap badai pasti akan berlalu –cepat atau lambat, kegagalan adalah hal biasa dan dialami oleh semua manusia, setiap masalah pasti akan ada pemecahannya, dan dalam menjalani kehidupan dibutuhkan keberanian untuk menghadapi segala risiko dan kemungkinan.
'Memelihara' trauma bukan saja menghambat kita untuk berbahagia, tapi juga menutup kesempatan kita untuk meraih keberhasilan. Satu-dua kali gagal saat memperjuangkan sesuatu, bukan berarti gagal untuk selamanya. Bisa jadi di usaha ketiga, pintu sukses justru terbuka.
Kalau baru sekali gagal kita tak berani mencoba lagi, sayang sekali, bukan?
Tina Savitri