Susan David, pakar psikologi yang berspesialisasi dalam penerapan penemuan ilmiah untuk kehidupan profesional sehari-hari, mengakui bahwa emosi tak selalu dihargai di tempat kerja. Bahkan, secara tradisional, memperturutkan emosi kerap dianggap cengeng, tidak rasional, tidak logis, tidak profesional, dan 'sangat perempuan'. Ia mengutip kata-kata yang sering dilontarkan orang saat menanggapi suatu keputusan: "Anda mengambil keputusan ini dengan kepala atau hati?"
Dalam artikelnya berjudul 'Take Your Emotion to Work', Susan menekankan, bahwa emosi justru penting dalam pekerjaan. Riset tentang emosi membuktikan, suasana hati yang berbeda-beda berguna untuk menyelesaikan tugas yang berbeda-beda pula. Dia memberi contoh, suasana hati yang santai dan riang biasanya menghasilkan pemikiran yang kreatif. Bukankah ide-ide kreatif sering muncul ketika kita sedang berlibur atau dalam suasana hati yang relaks?
Rasanya benar sekali. Lihat saja, betapa lancarnya sesi brainstorming di kantor ketika semua peserta sedang mengalami emosi yang positif. Sebaliknya, betapa seretnya ide bila suasana hati mereka sedang buruk. Sedapat mungkin kita juga menghindari melibatkan orang-orang yang pendapatnya selalu negatif ketika sedang membahas ide-ide kreatif. Menurut Sigal Barsade, orang-orang semacam ini menyedot energi dari orang-orang di sekelilingnya dan menyeret mereka ke suasana hati yang negatif pula. Sikap orang yang negatif bahkan bisa membuat berita baik jadi terkesan buruk. "Emosi mudah menular dari satu orang ke orang lain, tak ubahnya virus," Barsade memberi ilustrasi.
Di sisi lain, menurut Susan, bila kita sedang melakukan pekerjaan yang memerlukan ketelitian -misalnya menyunting naskah, merencanakan proyek, atau memeriksa keuangan -justru akan lebih tepat bila kita sedang 'mengidap' emosi negatif. Kesimpulannya, bila suasana hati sedang riang, kita cenderung lebih kreatif tapi lebih mudah melakukan kesalahan. Sebaliknya, bila sedang sedih, kita cepat mengenali kesalahan namun sulit menemukan solusi kreatif.
Setelah membuktikan besarnya dampak emosi pada pekerjaan, Susan menganjurkan agar kita membuang pemikiran bahwa semua emosi bersifat merugikan, tidak logis, dan harus disingkirkan jauh-jauh dari tempat kerja, termasuk dari proses pengambilan keputusan.
Diakui Susan, sebagian wanita cenderung mudah terjebak dalam emosi, berlama-lama memikirkan segala sesuatu, sehingga mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengambil tindakan. Untuk itu Susan mengingatkan para wanita manajer agar memusatkan perhatian pada dua hal ini: solusi jangka pendek dan hasil jangka panjang. Contohnya, melampiaskan kemarahan pada pasangan atau bawahan di kantor mungkin merupakan solusi jangka pendek yang oke, tapi bila hasil jangka panjangnya tidak dipikirkan justru bisa celaka.
Jadi sebaiknya begini saja: pecahkan masalah dengan mengikutsertakan perasaan, tapi lakukan dengan cerdas!
Dalam artikelnya berjudul 'Take Your Emotion to Work', Susan menekankan, bahwa emosi justru penting dalam pekerjaan. Riset tentang emosi membuktikan, suasana hati yang berbeda-beda berguna untuk menyelesaikan tugas yang berbeda-beda pula. Dia memberi contoh, suasana hati yang santai dan riang biasanya menghasilkan pemikiran yang kreatif. Bukankah ide-ide kreatif sering muncul ketika kita sedang berlibur atau dalam suasana hati yang relaks?
Rasanya benar sekali. Lihat saja, betapa lancarnya sesi brainstorming di kantor ketika semua peserta sedang mengalami emosi yang positif. Sebaliknya, betapa seretnya ide bila suasana hati mereka sedang buruk. Sedapat mungkin kita juga menghindari melibatkan orang-orang yang pendapatnya selalu negatif ketika sedang membahas ide-ide kreatif. Menurut Sigal Barsade, orang-orang semacam ini menyedot energi dari orang-orang di sekelilingnya dan menyeret mereka ke suasana hati yang negatif pula. Sikap orang yang negatif bahkan bisa membuat berita baik jadi terkesan buruk. "Emosi mudah menular dari satu orang ke orang lain, tak ubahnya virus," Barsade memberi ilustrasi.
Di sisi lain, menurut Susan, bila kita sedang melakukan pekerjaan yang memerlukan ketelitian -misalnya menyunting naskah, merencanakan proyek, atau memeriksa keuangan -justru akan lebih tepat bila kita sedang 'mengidap' emosi negatif. Kesimpulannya, bila suasana hati sedang riang, kita cenderung lebih kreatif tapi lebih mudah melakukan kesalahan. Sebaliknya, bila sedang sedih, kita cepat mengenali kesalahan namun sulit menemukan solusi kreatif.
Setelah membuktikan besarnya dampak emosi pada pekerjaan, Susan menganjurkan agar kita membuang pemikiran bahwa semua emosi bersifat merugikan, tidak logis, dan harus disingkirkan jauh-jauh dari tempat kerja, termasuk dari proses pengambilan keputusan.
Diakui Susan, sebagian wanita cenderung mudah terjebak dalam emosi, berlama-lama memikirkan segala sesuatu, sehingga mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengambil tindakan. Untuk itu Susan mengingatkan para wanita manajer agar memusatkan perhatian pada dua hal ini: solusi jangka pendek dan hasil jangka panjang. Contohnya, melampiaskan kemarahan pada pasangan atau bawahan di kantor mungkin merupakan solusi jangka pendek yang oke, tapi bila hasil jangka panjangnya tidak dipikirkan justru bisa celaka.
Jadi sebaiknya begini saja: pecahkan masalah dengan mengikutsertakan perasaan, tapi lakukan dengan cerdas!
BG