Selama belasan tahun lamanya Dian meniti karier sampai ia berada di antrean terdepan untuk meraih jabatan tertinggi di departemennya. Kira-kira setengah tahun lagi, begitu atasannya pensiun, kansnya untuk menggantikan 99,9 persen. Bahkan atasannya sudah terang-terangan mengatakan sedang meng-groom dia dan telah pula mengusulkan namanya ke Dewan Direktur. Namun tiba-tiba Dian merasa ‘gentar’. Bukan karena tidak sanggup mengerjakan tugas-tugas yang bakal disandangnya, tapi ia mempertimbangkan soal ketersediaan waktunya.
Maklum, Dian adalah seorang istri dan ibu dari tiga anak yang masih kecil. Selama ini dengan susah payah dan mengerahkan dua asisten rumah tangga, dua pengasuh anak, plus ibunya sebagai ‘pengawas’. Dan, ia berhasil menyeimbangkan tugas-tugasnya dengan cukup baik. Memang prestasinya tidaklah terlalu cemerlang, bahkan sesekali ia ‘menghilang’ dari kantor untuk keperluan mengambil rapor, mengantar anak ke dokter, dan sejenisnya. Tapi semua ini bisa tertutupi dengan loyalitas dan senioritasnya (juga izin dan pengertian atasannya, tentunya).
Dian cukup bahagia dengan keadaannya sekarang. Dia memiliki posisi cukup baik, mencintai pekerjaannya, dan tetap bisa mengurus rumah tangga dan keluarganya dengan relatif baik. Plus, dia masih bisa ‘berlindung’ di balik punggung atasannya. Namun semakin mendekati ‘hari kemenangan’, semakin dia memperhatikan kesibukan sang atasan, yang selain memiliki segudang tugas dan tanggung jawab berat di kantor, masih harus sering menjamu klien di luar jam kantor dan menghadiri undangan sampai larut malam. Dian membatin, “Kalau aku… rasanya tidak mau dan tidak bisa mengorbankan waktu pribadiku seperti dia.”
Tak heran ketika sampai pada point of no return, sebelum ia dengan resmi ditawari tugas menggantikan atasannya, ia memutuskan mengundurkan diri. Waktu yang hanya 24 jam sehari tidak bisa dibaginya secara proporsional antara pekerjaannya –kelak- dan keluarganya.
Dian bukan satu-satunya contoh. Cukup banyak wanita yang dengan sadar memilih untuk tidak mencemplungkan diri sepenuhnya ke dalam karier, dan menolak naik pangkat. Wanita seringkali dianggap mentok di ‘langit-langit kaca’ bukan karena tidak sanggup secara intelektual, tapi karena itu pilihannya.
Baru-baru ini Neil French, Direktur Kreatif Grup WPP mengatakan di suatu konferensi industri periklanan, bahwa bila wanita tidak berhasil mencapai posisi puncak, itu karena mereka memang tidak berhak, mereka memberi lebih banyak waktu untuk keluarganya. Komentar ini menimbulkan protes berkepanjangan dan akhirnya memaksa Neil mengundurkan diri dari jabatannya.
Maklum, Dian adalah seorang istri dan ibu dari tiga anak yang masih kecil. Selama ini dengan susah payah dan mengerahkan dua asisten rumah tangga, dua pengasuh anak, plus ibunya sebagai ‘pengawas’. Dan, ia berhasil menyeimbangkan tugas-tugasnya dengan cukup baik. Memang prestasinya tidaklah terlalu cemerlang, bahkan sesekali ia ‘menghilang’ dari kantor untuk keperluan mengambil rapor, mengantar anak ke dokter, dan sejenisnya. Tapi semua ini bisa tertutupi dengan loyalitas dan senioritasnya (juga izin dan pengertian atasannya, tentunya).
Dian cukup bahagia dengan keadaannya sekarang. Dia memiliki posisi cukup baik, mencintai pekerjaannya, dan tetap bisa mengurus rumah tangga dan keluarganya dengan relatif baik. Plus, dia masih bisa ‘berlindung’ di balik punggung atasannya. Namun semakin mendekati ‘hari kemenangan’, semakin dia memperhatikan kesibukan sang atasan, yang selain memiliki segudang tugas dan tanggung jawab berat di kantor, masih harus sering menjamu klien di luar jam kantor dan menghadiri undangan sampai larut malam. Dian membatin, “Kalau aku… rasanya tidak mau dan tidak bisa mengorbankan waktu pribadiku seperti dia.”
Tak heran ketika sampai pada point of no return, sebelum ia dengan resmi ditawari tugas menggantikan atasannya, ia memutuskan mengundurkan diri. Waktu yang hanya 24 jam sehari tidak bisa dibaginya secara proporsional antara pekerjaannya –kelak- dan keluarganya.
Dian bukan satu-satunya contoh. Cukup banyak wanita yang dengan sadar memilih untuk tidak mencemplungkan diri sepenuhnya ke dalam karier, dan menolak naik pangkat. Wanita seringkali dianggap mentok di ‘langit-langit kaca’ bukan karena tidak sanggup secara intelektual, tapi karena itu pilihannya.
Baru-baru ini Neil French, Direktur Kreatif Grup WPP mengatakan di suatu konferensi industri periklanan, bahwa bila wanita tidak berhasil mencapai posisi puncak, itu karena mereka memang tidak berhak, mereka memberi lebih banyak waktu untuk keluarganya. Komentar ini menimbulkan protes berkepanjangan dan akhirnya memaksa Neil mengundurkan diri dari jabatannya.