Kemampuan, jejaring, dan pengalaman yang kita miliki selama membangun karier selama ini, adalah 'modal' untuk bisa membangun karier kedua. Jika Anda tak berbakat berdagang sehingga ragu membangun bisnis, menjadi coach adalah alternatif lain yang perlu Anda coba.
Kita kerap tidak sadar dan tidak yakin akan 'modal' yang kita miliki. Mungkin karena sudah terlalu rutin dilakukan, kita jadi kurang menghargai skill dan kompetensi diri sendiri. Padahal selama ini karena dianggap senior, kita sering dijadikan tempat bertanya (bahkan curhat) dari rekan kerja atau staf kita. Kita pun dengan senang berbagi ilmu dan memberi nasehat agar mereka menjadi lebih berkembang.
Apa yang kita lakukan selama bertahun-tahun di kantor tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fungsi seorang coach. Dan kemampuan ini bisa 'dijual' sebagai karier kedua yang menguntungkan. Kita bisa menjadi coach untuk para staf junior di kantor atau bahkan mengambil sertifikasi khusus sebagai seorang professional coach. Bayarannya mahal, lho!
Siapkan kompetensi
Jadi sebagai coach, kita memang perlu memiliki kompetensi khusus, terutama interpersonal skill. International Coach Federation (ICF) sendiri menetapkan 11 kompetensi yang perlu dimiliki seorang coach, di antaranya: kemampuan untuk berbagi, active listening, dan menjalin partnership.
Namun yang terpenting, ada kesadaran untuk mengasah empati dan mau membenahi diri sendiri sebelum mengarahkan orang lain. "Kalau kita termasuk orang yang dominan atau otoriter, kita terlebih dulu perlu mengubah mindset dan sikap agar tidak terlalu dominan. Karena dalam coaching, prinsip hubungannya adalah setara dan seorang coach tidak boleh mengatur-atur coachee-nya," ujar Mutia Prihatini, business coah dari Coaching Indonesia.
Untuk itulah Mutia menyarankan untuk mengikuti pelatihan dasar coaching agar prosesnya berjalan efektif dan sesuai etika. Untuk mendapatkan sertifikasi sebagai coach cukup mengikuti pelatihan selama 60 jam atau kurang lebih 5 hari. Namun untuk menjadi coach yang terampil, diperlukan waktu minimal 3 bulan. "Dengan catatan: rajin praktik," tegas Mutia.
Yang perlu diingat, pilihlah lembaga yang sudah mendapat akreditasi dari organisasi coaching internasional seperti ICF sehingga dapat lebih dipertanggungjawabkan dan diakui di dunia. Di Indonesia sudah ada perwakilan ICF Jakarta Chapter yang berdiri pada akhir tahun 2011. "Melalui website ICF, kita bisa mendapat rekomendasi lembaga atau coach yang sesuai dengan kebutuhan kita," tambahnya.
Lantas, untuk menjadi professional coach apakah kita harus pensiun dulu? "Tidak juga. Ilmu coaching ini bisa dipelajari dan dipraktekkan sejak kita masih aktif di kantor. Jadi ikuti saja dulu pelatihan kompetensi dasar coach, lalu praktikkan di lingkungan pekerjaan, teman, atau keluarga kita untuk menambah jam terbang. Nanti kalau sudah benar-benar siap atau pensiun, barulah terjun sebagai professional coach," Mutia menyarankan.
Setelah memiliki kompetensi dasar dan sertifikasi sebagai coach, selanjutnya kita bisa menentukan pilihan: apakah ingin menjadi business coach, family coach, atau life coach. Untuk pilihan ini, kita tinggal mengikuti pelatihan tambahan sesuai minat dan passion. walaupun akan lebih menguntungkan jika kita memilih bidang coaching yang sesuai dengan pengalaman atau minat kita. "Selain tidak perlu belajar lagi, kita juga lebih kredibel dan lebih percaya diri," ujar Mutia.
Salah satu prospek yang bagus untuk wanita, menurut Mutia, adalah business coach. Pasalnya, saat ini makin banyak pemilik bisnis atau CEO wanita, sementara jumlah business coach masih lebih sedikit dibandingkan pria. Seperti dalam pertemanan, kita tentu lebih nyaman curhat dengan sesama perempuan, bukan?
Shinta Kusuma