Ada yang lebih suka ke Korea pada musim dingin untuk mengejar winter spot. Tapi bukan berarti di musim lain tidak ada winter sport. Buktinya, tempat pertama yang kami kunjungi di Seoul adalah One Mount Snow Park, sebuah theme park di mana kita bisa main seluncur es, kereta es, atau sekadar menonton dari sekitar arena yang dibuat jadi semacam panggung berpemandangan musim dingin. Tapi karena hanya diberi waktu terbatas, kami hanya bisa melihat-lihat sambil memeluk tubuh menahan dingin.
Hari itu juga kami terbang ke Pulau Jeju yang terletak di selatan, agak barat daya Korea Selatan. Sayangnya, saat itu tidak ada tanda-tanda musim gugur seperti yang telah saya lihat selintas di Seoul. Tapi tidak mengapa. Jeju indah, kok. Malah ia dijuluki sebagai Hawaii-nya AS atau Bali-nya Indonesia. Seluruh pulau yang bentuknya setengah lingkaran itu adalah gunung berapi raksasa, dengan satu kawah besar dan lebih dari 350 kawah kecil-kecil, yang disebut eo-reom. Sekitar 20 pantai mengelilingi pulau ini, yang luasnya 1.810 kilometer persegi dan separuhnya masih berupa hutan.
Dalam perjalanan menuju tempat wisata, kami diajak mampir ke toko yang menjual cokelat jeruk. Di sekeliling toko tersebar pohon-pohon jeruk dengan buah-buah ranum bergelantungan. Tapi setelah didekati, buahnya yang jingga itu ternyata palsu! Pastilah sengaja dipasang sebagai daya tarik sebelum jeruk benerannya matang.
Di kebun inilah untuk pertama kalinya saya melihat sepasang patung grandfather (dol hareubang) yang merupakan ikon Pulau Jeju. Cokelat jeruk di toko itu pun langsung diborong turis, apalagi ada iming-iming: beli 4 kotak 1 (produk lain) gratis. Yang patut dicatat, di Korea kita tidak bisa menawar, melainkan mendapat bonus bila membeli banyak.
Pemandu lokal, bernama Lini, yang pernah kuliah bahasa Indonesia di UI, mengingatkan bahwa ada 3 hal mencolok tentang Jeju: angin, wanita, dan batu karang. Jeju memang berangin karena posisinya sebagai pulau. Wanita Jeju disebut-sebut, perkasa. Dulu, sampai berusia lanjut mereka masih menyelam mencari hasil laut. Dan batu karang menjadi penting, karena Jeju berbatu-batu. Batu-batu ini berporositas tinggi, dan hal ini dapat dilihat di sebuah formasi batu di Seopjikoji Waterfront, tujuan pertama kami pagi itu.
Pantai ini terletak di ujung timur Pulau Jeju. ‘Koji’ dalam bahasa setempat berarti tanjung, yang seolah muncul tiba-tiba di ujung lapangan rumput luas tanpa sebatang pohon pun. Seopjikoji terkenal sebagai salah satu lokasi indah di mana samudera, batu karang dan padang rumput bertemu. Berjalan di sepanjang jalan setapak menuju gereja di kejauhan, kami saksikan hamparan laut lepas yang sekilas mengingatkan saya akan The Great Ocean Road di Melbourne, Australia. Sesampai di dekat gereja, kami menyaksikan beberapa kuda yang disewakan. Tak jauh dari situ ada rumah kecil tempat dipamerkan foto-foto dari film “All In”. Memang pantai ini menjadi lokasi syuting drama tersebut.
Selanjutnya kami berangkat ke Seongsan Ilchulbong Peak atau Seongsan Sunrise Peak. Kata Lini, “Seharusnya kita datang pada waktu matahari terbit, tapi itu berarti morning call pukul empat pagi.”
Saat fajar merekah ataupun bukan, Seongsan tetap sedap dipandang. Bayangkan, hamparan bukit luas berumput dengan gunung berkawah di kejauhan. Di sana-sini tampak kuda merumput, beberapa di antaranya ditunggangi turis. Sejarahnya, Seongsan muncul dari dasar samudera ketika terjadi letusan gunung berapi lebih dari 5000 tahun yang lalu. Di atas gunung Halla tersebut tercipta sebuah kawah besar berdiameter 600 meter dan berketinggian 90 meter. Di sekelilingnya mencuat 99 batu besar, membuat penduduk Jeju menganggap Seongsan Ilchulbong tempat yang suci.
Hari itu juga kami terbang ke Pulau Jeju yang terletak di selatan, agak barat daya Korea Selatan. Sayangnya, saat itu tidak ada tanda-tanda musim gugur seperti yang telah saya lihat selintas di Seoul. Tapi tidak mengapa. Jeju indah, kok. Malah ia dijuluki sebagai Hawaii-nya AS atau Bali-nya Indonesia. Seluruh pulau yang bentuknya setengah lingkaran itu adalah gunung berapi raksasa, dengan satu kawah besar dan lebih dari 350 kawah kecil-kecil, yang disebut eo-reom. Sekitar 20 pantai mengelilingi pulau ini, yang luasnya 1.810 kilometer persegi dan separuhnya masih berupa hutan.
Dalam perjalanan menuju tempat wisata, kami diajak mampir ke toko yang menjual cokelat jeruk. Di sekeliling toko tersebar pohon-pohon jeruk dengan buah-buah ranum bergelantungan. Tapi setelah didekati, buahnya yang jingga itu ternyata palsu! Pastilah sengaja dipasang sebagai daya tarik sebelum jeruk benerannya matang.
Di kebun inilah untuk pertama kalinya saya melihat sepasang patung grandfather (dol hareubang) yang merupakan ikon Pulau Jeju. Cokelat jeruk di toko itu pun langsung diborong turis, apalagi ada iming-iming: beli 4 kotak 1 (produk lain) gratis. Yang patut dicatat, di Korea kita tidak bisa menawar, melainkan mendapat bonus bila membeli banyak.
Pemandu lokal, bernama Lini, yang pernah kuliah bahasa Indonesia di UI, mengingatkan bahwa ada 3 hal mencolok tentang Jeju: angin, wanita, dan batu karang. Jeju memang berangin karena posisinya sebagai pulau. Wanita Jeju disebut-sebut, perkasa. Dulu, sampai berusia lanjut mereka masih menyelam mencari hasil laut. Dan batu karang menjadi penting, karena Jeju berbatu-batu. Batu-batu ini berporositas tinggi, dan hal ini dapat dilihat di sebuah formasi batu di Seopjikoji Waterfront, tujuan pertama kami pagi itu.
Pantai ini terletak di ujung timur Pulau Jeju. ‘Koji’ dalam bahasa setempat berarti tanjung, yang seolah muncul tiba-tiba di ujung lapangan rumput luas tanpa sebatang pohon pun. Seopjikoji terkenal sebagai salah satu lokasi indah di mana samudera, batu karang dan padang rumput bertemu. Berjalan di sepanjang jalan setapak menuju gereja di kejauhan, kami saksikan hamparan laut lepas yang sekilas mengingatkan saya akan The Great Ocean Road di Melbourne, Australia. Sesampai di dekat gereja, kami menyaksikan beberapa kuda yang disewakan. Tak jauh dari situ ada rumah kecil tempat dipamerkan foto-foto dari film “All In”. Memang pantai ini menjadi lokasi syuting drama tersebut.
Selanjutnya kami berangkat ke Seongsan Ilchulbong Peak atau Seongsan Sunrise Peak. Kata Lini, “Seharusnya kita datang pada waktu matahari terbit, tapi itu berarti morning call pukul empat pagi.”
Saat fajar merekah ataupun bukan, Seongsan tetap sedap dipandang. Bayangkan, hamparan bukit luas berumput dengan gunung berkawah di kejauhan. Di sana-sini tampak kuda merumput, beberapa di antaranya ditunggangi turis. Sejarahnya, Seongsan muncul dari dasar samudera ketika terjadi letusan gunung berapi lebih dari 5000 tahun yang lalu. Di atas gunung Halla tersebut tercipta sebuah kawah besar berdiameter 600 meter dan berketinggian 90 meter. Di sekelilingnya mencuat 99 batu besar, membuat penduduk Jeju menganggap Seongsan Ilchulbong tempat yang suci.
Begitu turun dari bus, kami menyusuri jalan lebar yang bersambung dengan jalan-jalan setapak yang beranak tangga, mendaki, dan bercabang, hingga akhirnya menurun ke sebuah teluk, di mana kami bisa berperahu. Di situ tampak poster para wanita penyelam Jeju, dan di dekatnya para wanita Jeju masa kini membuka kios yang menawarkan barbekyu hidangan laut.
Seongsan Ilchulbong diakui sebagai situs pertama di Korea yang menjadi Natural World Heritage UNESCO, suatu penghargaan yang hanya diberikan kepada 173 tempat di dunia.
Teks dan foto: Belinda Gunawan