Perjalanan menuju wilayah Pekojan atau dikenal dengan sebutan “Kampung Arab” tampak hiruk pikuk, apalagi harus bersaing dengan truk-truk kontainer. Begitu tiba di Jalan Pekojan Raya, kami tak sadar telah berdiri di depan Masjid Langgar Tinggi. Berjajar di antara rumah penduduk, masjid ini sama sekali tak terlihat menonjol dan tak terawat. Bangunan masjid yang dibangun pada tahun 1829 ini, bertingkat dua. Bagian atas merupakan bagian utama masjid, sedangkan bagian bawah untuk tempat wudu. Sebagian lagi digunakan untuk tempat tinggal pengurus masjid, toko perangkat salat dan buku agama.
Menurut kisah, masjid ini awalnya memang sebuah langgar yang dibangun oleh saudagar muslim dari Yaman bernama Abu Bakar. Kali Angke di abad ke-19 merupakan jalur perdagangan dan transportasi utama di kota Batavia. Kemudian bangunan tersebut dipugar oleh Syekh Said Naum, saudagar muslim dari Palembang. Mungkin karena terbiasa menyebut Langgar Tinggi, meski bangunan sudah diubah menjadi masjid, kata “langgar” tetap dipertahankan.
Mengingat Said Naum berasal dari Palembang, tak heran bila unsur Melayu terpancar dari bangunan masjid yang berbentuk rumah panggung. Mimbar masjid yang berada di sudut ruangan juga kental dengan sentuhan budaya Melayu. Unsur Melayu pada arsitektur masjid ini berpadu dengan gaya Eropa klasik yang terlihat pada pilar berbentuk bundar serta nuansa Tionghoa yang tampak pada penyangga balok-balok kayunya.
Untuk memasuki ke dalam masjid, kami harus melalui pintu pagar sebatas lutut yang masih tertutup rapat. Sebelum menapaki tangga, kami sempat menengok ke sisi kiri, tempat wudu yang tampak remang hanya mengandalkan cahaya dari jendela. Langkah kami berlanjut menaiki anak tangga dan di atas disambut dengan dua pilar yang kokoh. Di sebelah kiri terdapat ruang terbuka layaknya pendopo dan di sebelah kanan adalah pintu masuk ke dalam masjid.
Ruangan masjid yang berbentuk persegi panjang berukuran 8 x 24 meter itu tampak lengang. Mungkin karena waktu salat belum tiba. Jendela-jendela kayu berjajar di bagian kanan dan kiri. Tampak hanya beberapa jendela yang terbuka sehingga ruangan tampak temaram karena sinar matahari tak bisa leluasa masuk ke dalam. Ketika kami membuka jendela yang masih tertutup di sisi kiri, sontak aroma kurang sedap dari kali Angke yang berada di luar cukup menyengat hidung. Namun begitu jendela dibuka, cahaya menyeruak masuk, membuat ruangan lebih terang dan hati terasa nyaman.
Menurut kisah, masjid ini awalnya memang sebuah langgar yang dibangun oleh saudagar muslim dari Yaman bernama Abu Bakar. Kali Angke di abad ke-19 merupakan jalur perdagangan dan transportasi utama di kota Batavia. Kemudian bangunan tersebut dipugar oleh Syekh Said Naum, saudagar muslim dari Palembang. Mungkin karena terbiasa menyebut Langgar Tinggi, meski bangunan sudah diubah menjadi masjid, kata “langgar” tetap dipertahankan.
Mengingat Said Naum berasal dari Palembang, tak heran bila unsur Melayu terpancar dari bangunan masjid yang berbentuk rumah panggung. Mimbar masjid yang berada di sudut ruangan juga kental dengan sentuhan budaya Melayu. Unsur Melayu pada arsitektur masjid ini berpadu dengan gaya Eropa klasik yang terlihat pada pilar berbentuk bundar serta nuansa Tionghoa yang tampak pada penyangga balok-balok kayunya.
Untuk memasuki ke dalam masjid, kami harus melalui pintu pagar sebatas lutut yang masih tertutup rapat. Sebelum menapaki tangga, kami sempat menengok ke sisi kiri, tempat wudu yang tampak remang hanya mengandalkan cahaya dari jendela. Langkah kami berlanjut menaiki anak tangga dan di atas disambut dengan dua pilar yang kokoh. Di sebelah kiri terdapat ruang terbuka layaknya pendopo dan di sebelah kanan adalah pintu masuk ke dalam masjid.
Ruangan masjid yang berbentuk persegi panjang berukuran 8 x 24 meter itu tampak lengang. Mungkin karena waktu salat belum tiba. Jendela-jendela kayu berjajar di bagian kanan dan kiri. Tampak hanya beberapa jendela yang terbuka sehingga ruangan tampak temaram karena sinar matahari tak bisa leluasa masuk ke dalam. Ketika kami membuka jendela yang masih tertutup di sisi kiri, sontak aroma kurang sedap dari kali Angke yang berada di luar cukup menyengat hidung. Namun begitu jendela dibuka, cahaya menyeruak masuk, membuat ruangan lebih terang dan hati terasa nyaman.