Ada ‘sampah’ yang ditinggalkan oleh berbagai demo politik di negeri ini yang sulit dibersihkan. Sampah itu berupa sikap intoleran.
Namanya Hibar Syahrul, bersekolah di SMPN 1 Bogor. Diilhami kasus pelecehan seksual yang kerap dialami perempuan, siswa ini menciptakan sepatu dengan daya listrik 450 V yang mampu membuat pelaku terpental. Untuk penemuannya itu, ia memperoleh penghargaan International Exhibition of Young Investor di Malaysia pada 2016. Ada pula Salman Tirsnadi Wijrasena yang baru lulus TK pada 2015 lalu. Saat anak lain masih ditunggui ibu mereka di sekolah, ia telah menjuarai lomba Robot Internasional di Korea.
Anak lain, Aditya Bagus Arfan, meraih gelar Asian Master di bidang catur pada usia 11 tahun. Jangan lupa, ada Joey Alexander—pianis berusia 12 tahun—yang memukau di Grammy Awards 2016 lalu. Ia menjadi musisi termuda yang masuk nominasi Grammy Awards untuk kategori Best Improvised Jazz Solo dan Best Jazz Instrumental Album.
Mereka hanya segelintir contoh. Masih banyak anak Indonesia lainnya yang punya prestasi mengagumkan di dunia internasional lewat olimpiade fisika dan matematika, lewat game ciptaan mereka, juga lewat suara merdu mereka dalam kelompok paduan suara anak.
Tapi ada juga anak Indonesia ini: Berbaris bersama anak-anak lain seusianya meneriakkan ujaran kebencian dan pembunuhan. “Dampak Pilkada DKI itu sangat memprihatinkan. Di daerah-daerah anak-anak dengan mudah mengatakan temannya kafir, syiah, murtad, komunis,” demikian paparan Ifa Hanifah Misbach, Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, di acara talk show di televisi bertajuk Menangkal yang Radikal. Bagaimana perasaan Anda jika yang menjadi korban sikap rasis dan intoleran mereka adalah anak-anak Anda?
Saya merasa hak anak saya untuk tidak dibedakan berdasar agama, suku, dan rasnya telah dirampas oleh anak lain. PR kita saat ini adalah membentengi anak kita dari faham radikalisme dan menanamkan sikap toleransi. Dan itu butuh contoh nyata, bukan retorika.
Mari kita lihat temuan ini
Setara Institute pada tahun 2016 mengadakan survei toleransi dan bibit radikalisme di sekolah terhadap 760 siswa di 171 SMA di Jakarta dan Bandung Raya. Hasilnya: Sejumlah 5,8% setuju dasar negara Pancasila diganti yang lain, dan sebanyak 3,9% menyatakan bahwa orang lain yang beda agama adalah kafir. Angka itu jangan dianggap kecil, karena akan terus meningkat bila dibiarkan.
Ketika saya bertanya mengapa anak muda rentan disusupi paham radikal kepada Prof. Irwanto, Ph.D di ruang kerjanya di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta, ia mengatakan, “Pertanyaan yang sulit dijawab.”
Memang, tidak ada penyebab tunggal yang menjadi jawaban pasti. Irwanto mengajak saya untuk menyusuri tahap perkembangan anak. Katanya, anak sampai usia 12 tahun adalah masa memberontak. Mereka sudah bersentuhan dengan dunia luar, bertemu dengan otoritas lain selain orang tuanya yaitu guru, lalu otoritas orang tua ditantang.
“Contohnya, orang tua tidak punya quality time dengan anaknya sampai usia anak 12 tahun karena sibuk meniti karier, misalnya. Lalu di atas usia itu, anak sudah akrab dengan gadgetnya dan sudah sulit dikontrol. Kalau orang tua bersikap otoriter, tidak ada dialog, anak merasa rumah bukan bagian dari internalisasi nilai terbaik, ia akan mencari di luar.
Ada ?“Uncle” Google. Ketika ada orang memberi perhatian, menyuntikkan value yang basic-nya sama, maka jadilah,” kata Irwanto, yang meraih gelar Ph.D tahun 1992 dari Jurusan Child Development & Family Study, Purdue University, AS, dan Peneliti Khusus pada Anak dan Remaja. Mengapa anak bersikap radikal, rasis, dan intoleran, bisa saja karena itulah yang ia pelajari dari kita.
Kalau mau jujur, apa prasangka buruk Anda terhadap suku lain? Orang Minang pelit, cewek Sunda genit, orang Manado hobi pesta? Apa prasangka Anda terhadap agama lain? Orang Kristen jahat, orang Budha menyembah patung, dan mungkin masih banyak prasangka buruk lain yang membatasi diri kita untuk bergaul dengan mereka.
“Jangan berteman sama dia Nak, dia Cina, mata duitan, mikirin untung melulu.” Dengan pagar semacam itu, anak-anak kita kehilangan peluang untuk berteman, bergaul seluasluasnya.
Kata Henny Supolo Sitepu, Ketua Badan Pengurus Yayasan Cahaya Guru, anak kehilangan kesempatan untuk bisa menerima pemikiran-pemikiran kritis yang akan sangat melengkapi pemikirannya kalau ia terbuka. Kita tidak sadar bahwa sebetulnya kita aktif menyampaikan pesan bahwa keberagaman itu menakutkan, dan semua harus sama karena kesamaan akan memberi kita rasa aman. Hanya mau berteman dengan kelompok yang memiliki kesamaan, itu insting dasar manusia.
“Ada rasa aman saat bergaul dengan segala sesuatu yang ragamnya tidak jauh berbeda dengan kita. Dan rasa aman itu basic need,” jelas Irwanto, yang juga Konsultan pada Badan-badan PBB dan Konsultan di BAPPENAS untuk Strategi Nasional Perlindungan Anak. Maka tak perlu takjub bila kita melihat anakanak muda kita begitu fasih meneriakkan ujaranujaran kebencian. Jangan pula heran bila anak-anak kecil berteriak “Bunuh Ahok”, karena itu sebagai perpanjangan sikap orang tua mereka yang merasa tidak aman pada keragaman dan perbedaan.
“Bagi anak muda, joining the crowd itu adrenaline sport. Menantang bahaya, berlagak jagoan. Begitu adrenalin sudah dikeluarkan, lupa segala-galanya,” jelas Irwanto, Ketua Studi S-3 Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta. Ia menjelaskan, ketika adrenalin itu dikeluarkan, bagian otak bernama lobus frontal tidak berfungsi. “Adrenalin berfungsi di primitive brain yang fungsinya fight, flight, sex, hungry —yang sifatnya basic needs. Ketika masuk ke dalam crowd, perasaan yang muncul adalah marah dan benci. Lobus frontal atau bagian nalar langsung diblok,” jelasnya.
Bagaimana dengan anak-anak kecil yang meneriakkan pembunuhan? “Anak-anak pada dasarnya lebih suka bermain,” kata Henny. Menurutnya, sesuatu yang terus-menerus ditanamkan dalam otak mereka akan menjadi kebiasaan. Kepekaan terhadap kata ‘bunuh’ menjadi menurun, maka yang ditakutkan adalah setelahnya. Rasa kemanusiaan semakin terkikis.
Irwanto sependapat dengan Henny. Katanya, teori brain plasticity menjelaskan fakta yang sangat simpel. Bahwa segala sesuatu yang diulang-ulang akan menjadi sinapsis yang menetap. Kalau sinapsis menetap, akan jadi memori. “Sebuah message yang semula nggak ada artinya bagi anak—‘Bunuh Ahok’ misalnya—kalau setiap hari diulang, membidik subconscious mereka dan akan menjadi pesan yang berarti,” jelas Irwanto.