Hidup itu berat, penuh ornak duri, penuh jebakan jurang, penuh godaan, penuh bahaya yang mengintai dari sana-sini. Kalau tidak hati-hati dan waspada, kita bisa terjerumus ke dalam kegelapan, kesesatan, kesengsaraan.
Betapa sering kita mendengar 'definisi' hidup yang seperti itu. Duh, berat sekali hidup ini kalau kita selalu memakai parameter seperti itu. Padahal, pada kenyataannya, hidup tidaklah (selalu) berat. Banyak hal menyenangkan dan membahagiakan yang juga bisa kita nikmati, yang bahkan kita anggap sebagai anugerah. Bahwa masalah selalu datang dan pergi dalam hidup ini, hal itu memang tidak dapat disangkal. Bahwa kadang kita terjebak dan hanya berputar-putar di tengah suatu masalah, itu juga hal biasa. Tapi pada akhirnya, kita selalu membuktikan bahwa setiap badai pasti akan berlalu, cepat atau lambat, tergantung bagaimana kita menyikapi masa-masa sulit itu.
Betapa sering kita mendengar 'definisi' hidup yang seperti itu. Duh, berat sekali hidup ini kalau kita selalu memakai parameter seperti itu. Padahal, pada kenyataannya, hidup tidaklah (selalu) berat. Banyak hal menyenangkan dan membahagiakan yang juga bisa kita nikmati, yang bahkan kita anggap sebagai anugerah. Bahwa masalah selalu datang dan pergi dalam hidup ini, hal itu memang tidak dapat disangkal. Bahwa kadang kita terjebak dan hanya berputar-putar di tengah suatu masalah, itu juga hal biasa. Tapi pada akhirnya, kita selalu membuktikan bahwa setiap badai pasti akan berlalu, cepat atau lambat, tergantung bagaimana kita menyikapi masa-masa sulit itu.
Menurut Leo Babauta, pendiri komunitas Zen Habits di Amerika Serikat yang aktif memperkenalkan konsep the Power of Less, konsep ini pada intinya adalah untuk memperlihatkan bahwa hidup ini sebenarnya bisa dijalani tanpa kening berkerut atau kewaspadaan tingkat tinggi. Caranya adalah dengan pandai-pandai mengidentifikasi hal-hal yang penting dan mengeliminasi hal-hal yang tidak atau kurang penting -tentunya menurut kebutuhan dan standar masing-masing yang rasional. "Dengan begitu kita membebaskan diri dari distraksi yang terjadi sehari-hari serta bisa lebih memfokuskan diri untuk mencapai tujuan-tujuan hidup yang kita anggap penting," tutur Leo.
Dengan menghalau gangguan-gangguan yang tak perlu, kita bukan saja bisa lebih mengasah kreativitas, tapi juga meningkatkan efisiensi dalam hidup, mulai dari efisiensi keuangan, tenaga, pikiran, hingga efisiensi bahan bakar, dan jejak karbon di bumi.
Setelah mengidentifikasi yang penting dan mengeliminasi yang tak penting, kita bisa melanjutkan ke langkah berikutnya, yaitu menerapkan penyederhanaan itu pada setiap aspek kehidupan kita sehari-hari.
Meski bersifat domestik dan pribadi, ternyata urusan rumah tangga dan keluarga menempati urutan pertama sebagai hal yang paling membuat riwet hidup manusia. Hubungan personal dengan anggota keluarga seperti suami, anak, mertua, atau asisten rumah tangga, juga sering kali tak kalah bikin pusing dan frustasi. Belum lagi urusan parenting atau pengasuhan anak yang tingkat kesulitannya makin lama makin tinggi seiring terus bertambahnya bentuk-bentuk ancaman dari luar.
Urusan pekerjaan atau kehidupan profesional menempati urutan kedua sebagai biang keladi keruwetan hidup. Namun, kata Leo, sumber keruwetan biasanya bukan dari jenis atau beban kerja itu sendiri, melainkan lebih banyak akibat komunikasi dengan atasan atau kolega yang tak lancar, atau karena terlalu melibatkan diri dalam politik kantor yang tak sehat.
Karena itu, menurut Leo, mulailah proses penyederhanaan itu dari diri sendiri dulu, sebelum mulai mengajak orang lain. Dan mulailah secara bertahap, sedikit demi sedikit, sehingga Anda tidak kaget, frustasi, dan akhirnya berhenti di tengah jalan. Meski mungkin tidak semudah yang dibayangkan -mengubah kebiasaan memang bukan hal gampang- yakinlah bahwa selalu ada jalan bila kita benar-benar meniatkannya. Dan yang paling penting, lakukan proses itu dengan santai. Bukankah tujuan hidup kita adalah untuk menyederhanakan hidup dan bukan malah mempersulitnya?
Tina Savitri