Ketika suatu hari pintu rezeki kita trebuka, terkadang peluang untuk mendapatkan materi (baca: uang) datang bertubi-tubi. Rasanya sayang kalau peluang itu disia-siakan begitu saja. Apalagi kalau itu merupakan buah dari kerja keras kita selama ini. Walhasil kita pun berperilaku seperti artis yang sedang naik daun. Semua peluang kita sambar: main sinetron dan film, jadi bintang iklan, presenter, bahkan jadi penyanyi -meskipun suaranya pas-pasan. Aji mumpung.
Nah, di titik inilah manusia kerap tergelincir. Karena standar hidup terus meningkat, maka berapa pun uang yang masuk jadi tak pernah cukup. Kalau dulu Anda sudah merasa aman dengan tabungan Rp100 juta plus asuransi masa tua, kini Anda belum merasa aman kalau belum punya sekian hektar tanah, rumah, apartemen, mobil, emas batangan, dan saham ini-itu.
Itu baru urusan investasi masa depan. Belum lagi perkara gaya hidup yang tentunya juga ikut meningkat standarnya. Urusan berlibur, misalnya, kalau tadinya Anda sudah bahagia bisa berlibur ke Bali naik pesawat kelas ekonomi, kini Anda baru puas bila bisa menginjak Paris naik pesawat kelas bisnis. Sepatu, tas, dan gadget juga wajib bermerek high-end, karena kini Anda mulai banyak bergaul dengan kalangan atas. Akibatnya, untuk memenuhi semua kebutuhan yang kita ciptakan sendiri itu, segala macam cara lantas dihalalkan, termasuk dengan melakukan korupsi.
Dalam salah satu kolom Catatan Pinggir-nya, Goenawan Mohammad menganalogikan orang-orang yang tak kenal kata cukup itu sebagai Gargantua, pangeran raksasa dalam cerita satire karangan sastrawan Prancis, Francois Rabelais. Gargantua digambarkan sangat gembul dan tak mau berhenti makan, karena dia tidak tahu lagi batas lapar dan kenyang, atau mungkin memang tak mau merasa kenyang. Tapi satu hal sudah pasti, dari zaman ke zaman akan selalu muncul Gargantua-Gargantua baru.
Sayangnya, manusia seringkali baru menyadari 'batas' itu ketika sudah terlambat. Misalnya, ketika tubuh telah terlanjur ambruk terserang stroke akibat kelelahan dan stres, kualitas karya menurun karena terlalu banyak 'mengejar setoran', hubungan dengan pasangan atau anak-anak kocar-kacir karena terlalu sibuk mengejar kekayaan, tercekik utang akibat gaya hidup yang terlalu konsumtif, atau ketika KPK sudah keburu mengendus praktik korupsi yang dilakukan.
Nah, di titik inilah manusia kerap tergelincir. Karena standar hidup terus meningkat, maka berapa pun uang yang masuk jadi tak pernah cukup. Kalau dulu Anda sudah merasa aman dengan tabungan Rp100 juta plus asuransi masa tua, kini Anda belum merasa aman kalau belum punya sekian hektar tanah, rumah, apartemen, mobil, emas batangan, dan saham ini-itu.
Itu baru urusan investasi masa depan. Belum lagi perkara gaya hidup yang tentunya juga ikut meningkat standarnya. Urusan berlibur, misalnya, kalau tadinya Anda sudah bahagia bisa berlibur ke Bali naik pesawat kelas ekonomi, kini Anda baru puas bila bisa menginjak Paris naik pesawat kelas bisnis. Sepatu, tas, dan gadget juga wajib bermerek high-end, karena kini Anda mulai banyak bergaul dengan kalangan atas. Akibatnya, untuk memenuhi semua kebutuhan yang kita ciptakan sendiri itu, segala macam cara lantas dihalalkan, termasuk dengan melakukan korupsi.
Dalam salah satu kolom Catatan Pinggir-nya, Goenawan Mohammad menganalogikan orang-orang yang tak kenal kata cukup itu sebagai Gargantua, pangeran raksasa dalam cerita satire karangan sastrawan Prancis, Francois Rabelais. Gargantua digambarkan sangat gembul dan tak mau berhenti makan, karena dia tidak tahu lagi batas lapar dan kenyang, atau mungkin memang tak mau merasa kenyang. Tapi satu hal sudah pasti, dari zaman ke zaman akan selalu muncul Gargantua-Gargantua baru.
Sayangnya, manusia seringkali baru menyadari 'batas' itu ketika sudah terlambat. Misalnya, ketika tubuh telah terlanjur ambruk terserang stroke akibat kelelahan dan stres, kualitas karya menurun karena terlalu banyak 'mengejar setoran', hubungan dengan pasangan atau anak-anak kocar-kacir karena terlalu sibuk mengejar kekayaan, tercekik utang akibat gaya hidup yang terlalu konsumtif, atau ketika KPK sudah keburu mengendus praktik korupsi yang dilakukan.
Tina Savitri