Meditasi adalah proses mengolah keintiman dengan pikiran sendiri. "Kita mengolah daya penyesuaian diri secara intrapersonal," kata Daniel Siegel, psikiater dari University of California Los Angeles. "Kemampuan melihat pikiran sendiri membuat kita mampu juga melihat pikiran orang lain."
Bagi orang tua yang memiliki anak remaja, sikap welas asih seringkali sulit dipratikkan. Rasanya hampir tidak mungkin memunculkan perasaan hangat terhadap si remaja yang tukang ngambek tapi sembari minta uang. Agar emosi tidak terpancing, orang tua harus pandai-pandai mengakali pikiran, misalnya dengan memaksa diri mengenang saat-saat manis ketika anaknya itu masih bayi mungil yang lucu.
Dalam bermeditasi, kita juga harus berusaha keras. "Dan upaya itu harus dilakukan berulang-ulang," kata Matthieu Ricard, seorang pendeta Buddha. Caranya antara lain: bayangkanlah seseorang yang Anda cintai. Doakan segala yang terbaik baginya. Lalu pelan-pelan kembangkan perasaan itu terhadap orang lain.
Langkah berikutnya adalah mengembangkan sikap welas asih itu kepada semua orang, membiarkan perasaan itu "tumbuh dan tumbuh dan menguasai pikiran Anda, sehingga setiap atom dalam diri Anda berubah menjadi kebaikan hati, belas kasih, dan kebajikan," imbuhnya. "Biarkan hal itu bertahan dan menjadi bagian dari pikiran Anda, dan tidak hanya pada saat Anda bermeditasi."
Beberapa tahun belakangan ini, para ilmuwan menemukan bahwa otak manusia memiliki sistem saraf 'cermin', yang berfungsi bila kita melakukan sesuatu dan melihat orang lain melakukan hal serupa, termasuk dalam hal mengekspresikan rasa sakit atau gembira. Dengan begitu kita tidak hanya bisa menduga perasaan orang lain, tapi juga bisa ikut merasakannya. Inilah yang disebut empati.
Para ilmuwan tidak hanya mulai memetakan bagian otak yang berhubungan dengan emosi positif seperti empati. Ketika Davidson memerhatikan Richard bermeditasi dan berfokus tentang perasaan welas asih -sembari tersambung dengan sensor EEG- ia menemukan adanya peningkatan besar dalam gelombang gamma di bagian otak depan kiri, suatu area yang berkolerasi dengan perasaan bahagia. Penemuan ini mendukung apa yang sering diutarakan Dalai Lama: "Orang yang bermeditasi tentang sikap welas asih terhadap orang lain akan menjadi orang pertama yang memperoleh manfaatnya."
Sikap welas asih pada orang lain dimulai dari diri sendiri. "Orang yang mengasihi dirinya sendiri tidak akan mencelakakan orang lain," Buddha pernah berkata. Meditasi memunculkan rasa kasih kepada diri kita, karena kita secara sadar menyisihkan waktu dan usaha demi kesejahteraan diri sendiri. Wawasan yang kita peroleh dari situ membuat kita lebih mudah berbaik hati kepada orang lain. Kenapa? Karena dengan menyadari betapa seringnya kita terombang-ambing oleh emosi, kita akan menahan diri sebelum menyalahkan orang lain dan tidak terburu-buru menginterpretasikan tindakan orang lain itu secara keliru. Misalnya dengan menganggapnya sengaja menyakiti hati kita.
Welas asih juga membantu orang mengelola penderitaannya sendiri, karena mengetahui bahwa orang lain pun bisa merasa sakit. "Dengan bersikap welas asih, kesakitan kita tidak lagi terasa seberat semula, karena kita berhenti memprotes diri sendiri," kata Richard.
Bagi orang tua yang memiliki anak remaja, sikap welas asih seringkali sulit dipratikkan. Rasanya hampir tidak mungkin memunculkan perasaan hangat terhadap si remaja yang tukang ngambek tapi sembari minta uang. Agar emosi tidak terpancing, orang tua harus pandai-pandai mengakali pikiran, misalnya dengan memaksa diri mengenang saat-saat manis ketika anaknya itu masih bayi mungil yang lucu.
Dalam bermeditasi, kita juga harus berusaha keras. "Dan upaya itu harus dilakukan berulang-ulang," kata Matthieu Ricard, seorang pendeta Buddha. Caranya antara lain: bayangkanlah seseorang yang Anda cintai. Doakan segala yang terbaik baginya. Lalu pelan-pelan kembangkan perasaan itu terhadap orang lain.
Langkah berikutnya adalah mengembangkan sikap welas asih itu kepada semua orang, membiarkan perasaan itu "tumbuh dan tumbuh dan menguasai pikiran Anda, sehingga setiap atom dalam diri Anda berubah menjadi kebaikan hati, belas kasih, dan kebajikan," imbuhnya. "Biarkan hal itu bertahan dan menjadi bagian dari pikiran Anda, dan tidak hanya pada saat Anda bermeditasi."
Beberapa tahun belakangan ini, para ilmuwan menemukan bahwa otak manusia memiliki sistem saraf 'cermin', yang berfungsi bila kita melakukan sesuatu dan melihat orang lain melakukan hal serupa, termasuk dalam hal mengekspresikan rasa sakit atau gembira. Dengan begitu kita tidak hanya bisa menduga perasaan orang lain, tapi juga bisa ikut merasakannya. Inilah yang disebut empati.
Para ilmuwan tidak hanya mulai memetakan bagian otak yang berhubungan dengan emosi positif seperti empati. Ketika Davidson memerhatikan Richard bermeditasi dan berfokus tentang perasaan welas asih -sembari tersambung dengan sensor EEG- ia menemukan adanya peningkatan besar dalam gelombang gamma di bagian otak depan kiri, suatu area yang berkolerasi dengan perasaan bahagia. Penemuan ini mendukung apa yang sering diutarakan Dalai Lama: "Orang yang bermeditasi tentang sikap welas asih terhadap orang lain akan menjadi orang pertama yang memperoleh manfaatnya."
Sikap welas asih pada orang lain dimulai dari diri sendiri. "Orang yang mengasihi dirinya sendiri tidak akan mencelakakan orang lain," Buddha pernah berkata. Meditasi memunculkan rasa kasih kepada diri kita, karena kita secara sadar menyisihkan waktu dan usaha demi kesejahteraan diri sendiri. Wawasan yang kita peroleh dari situ membuat kita lebih mudah berbaik hati kepada orang lain. Kenapa? Karena dengan menyadari betapa seringnya kita terombang-ambing oleh emosi, kita akan menahan diri sebelum menyalahkan orang lain dan tidak terburu-buru menginterpretasikan tindakan orang lain itu secara keliru. Misalnya dengan menganggapnya sengaja menyakiti hati kita.
Welas asih juga membantu orang mengelola penderitaannya sendiri, karena mengetahui bahwa orang lain pun bisa merasa sakit. "Dengan bersikap welas asih, kesakitan kita tidak lagi terasa seberat semula, karena kita berhenti memprotes diri sendiri," kata Richard.