Mungkin suatu hari Anda pernah mengalami kejadian seperti ini: satu atau beberapa masalah membuat hidup Anda bagai di neraka selama berhari-hari. Semua mendesak untuk diselesaikan, sementara Anda belum juga menemukan jalan keluar. Buntu. Sampai pada suatu titik, karena tubuh dan pikiran sudah kelelahan, Anda memutuskan untuk melepaskan semua beban pikiran itu. “Que serra serra, bagaimana nantilah. Mendingan aku tidur saja!”
Begitu bangun tidur keesokan paginya, anehnya, semua kecemasan yang kemarin membuat hati dan pikiran Anda begitu galau, tahu-tahu lenyap begitu saja. Dan tiba-tiba muncul titik terang yang bisa dijadikan solusi untuk masalah Anda, yang selama ini tak pernah terpikirkan.
Mengapa bisa begitu, ya? Menurut Erbe Sentanu –akrab disapa Nunu– transformation coach dari Katahati Institute, pada saat kita melepaskan semua beban pikiran itu, sebetulnya kita masuk ke tataran pasrah. Dalam kondisi pasrah –di mana otak berada di wilayah alfa (alam bawah sadar)— sesungguhnya kita menyerahkan diri sepenuhnya pada alam semesta, kepada Tuhan, sehingga hati kita pun menjadi tenang dan damai.
“Sesungguhnya alam sudah menyediakan solusi untuk setiap masalah. Tapi manusia kerap tidak peka 'menangkapnya', karena sehari-hari lebih sibuk berkutat di wilayah beta (rasio). Padahal, 'pesan' dari alam hanya bisa ditangkap bila kita mau keluar sejenak dari wilayah beta yang hiruk pikuk dan kemrungsung, dan masuk ke wilayah alfa dan teta (kondisi tidur). Oleh karena itu, ketika berpasrah diri, biasanya kita justru menemukan jawaban untuk berbagai permasalahan yang selama ini terasa buntu,” Nunu menjelaskan.
Mungkin jalan keluar itu tidak seperti yang kita harapkan, tapi –seiring berjalannya waktu— kita akan menyadari bahwa itulah jalan keluar terbaik. Mengapa terbaik? Karena sesungguhnya sifat alam adalah mengutamakan keseimbangan, termasuk keseimbangan fisik dan mental manusia, untuk mencegah agar kita tidak stres berlebihan, terserang stroke, atau menjadi gila.
Yang menjadi masalah, banyak orang justru menganggap, jika segala sesuatu –uang, jabatan, ketenaran, dan sebagainya— tidak dikejar dengan bergegas, kita akan ketinggalan kereta dan tidak kebagian apa-apa, karena sudah keburu disambar orang lain. Kondisi itu makin didukung oleh kian canggihnya teknologi komunikasi, yang membuat kita bisa selalu 'terkoneksi'. Akibatnya, kita makin tidak bisa melepaskan diri dari urusan pekerjaan. Karena, di mana pun kita berada, pukul berapa pun, kita tetap bisa dihubungi oleh bos, kolega, atau klien lewat telepon, SMS, BBM, dan sebagainya. Celakanya, kita pun tidak bisa begitu saja mematikannya atau tidak menjawabnya.
Dengan alasan kompetisi akan makin ketat dan keras di masa depan, maka anak-anak kita pun dipacu untuk menjadi yang terbaik. Mereka diwajibkan sekolah dari pagi sampai sore, ikut les ini-itu, mengerjakan PR di malam hari, dan sebagainya, hanya agar mereka kelak tidak terlempar ke luar dari arena kompetisi tersebut. Alhasil, belum lagi sempat menjalani hidup yang sebenarnya, anak-anak itu sudah terserang stres dan depresi, bahkan dari waktu ke waktu, angka bunuh diri di kalangan anak-anak dan remaja di seluruh dunia terus meningkat.
Begitu bangun tidur keesokan paginya, anehnya, semua kecemasan yang kemarin membuat hati dan pikiran Anda begitu galau, tahu-tahu lenyap begitu saja. Dan tiba-tiba muncul titik terang yang bisa dijadikan solusi untuk masalah Anda, yang selama ini tak pernah terpikirkan.
Mengapa bisa begitu, ya? Menurut Erbe Sentanu –akrab disapa Nunu– transformation coach dari Katahati Institute, pada saat kita melepaskan semua beban pikiran itu, sebetulnya kita masuk ke tataran pasrah. Dalam kondisi pasrah –di mana otak berada di wilayah alfa (alam bawah sadar)— sesungguhnya kita menyerahkan diri sepenuhnya pada alam semesta, kepada Tuhan, sehingga hati kita pun menjadi tenang dan damai.
“Sesungguhnya alam sudah menyediakan solusi untuk setiap masalah. Tapi manusia kerap tidak peka 'menangkapnya', karena sehari-hari lebih sibuk berkutat di wilayah beta (rasio). Padahal, 'pesan' dari alam hanya bisa ditangkap bila kita mau keluar sejenak dari wilayah beta yang hiruk pikuk dan kemrungsung, dan masuk ke wilayah alfa dan teta (kondisi tidur). Oleh karena itu, ketika berpasrah diri, biasanya kita justru menemukan jawaban untuk berbagai permasalahan yang selama ini terasa buntu,” Nunu menjelaskan.
Mungkin jalan keluar itu tidak seperti yang kita harapkan, tapi –seiring berjalannya waktu— kita akan menyadari bahwa itulah jalan keluar terbaik. Mengapa terbaik? Karena sesungguhnya sifat alam adalah mengutamakan keseimbangan, termasuk keseimbangan fisik dan mental manusia, untuk mencegah agar kita tidak stres berlebihan, terserang stroke, atau menjadi gila.
Yang menjadi masalah, banyak orang justru menganggap, jika segala sesuatu –uang, jabatan, ketenaran, dan sebagainya— tidak dikejar dengan bergegas, kita akan ketinggalan kereta dan tidak kebagian apa-apa, karena sudah keburu disambar orang lain. Kondisi itu makin didukung oleh kian canggihnya teknologi komunikasi, yang membuat kita bisa selalu 'terkoneksi'. Akibatnya, kita makin tidak bisa melepaskan diri dari urusan pekerjaan. Karena, di mana pun kita berada, pukul berapa pun, kita tetap bisa dihubungi oleh bos, kolega, atau klien lewat telepon, SMS, BBM, dan sebagainya. Celakanya, kita pun tidak bisa begitu saja mematikannya atau tidak menjawabnya.
Dengan alasan kompetisi akan makin ketat dan keras di masa depan, maka anak-anak kita pun dipacu untuk menjadi yang terbaik. Mereka diwajibkan sekolah dari pagi sampai sore, ikut les ini-itu, mengerjakan PR di malam hari, dan sebagainya, hanya agar mereka kelak tidak terlempar ke luar dari arena kompetisi tersebut. Alhasil, belum lagi sempat menjalani hidup yang sebenarnya, anak-anak itu sudah terserang stres dan depresi, bahkan dari waktu ke waktu, angka bunuh diri di kalangan anak-anak dan remaja di seluruh dunia terus meningkat.
(Bersambung)