Karena lahir di Bontang dan besar di Palembang, merayakan Natal di tengah cuaca kering dan panas tentu sudah biasa buat saya. Karena itu, ketika pertama kali harus merayakan Natal di Harstad, Norwegia, menjadi pengalaman yang amat berkesan. Sejak kecil saya memang selalu memimpikan bisa mengalami white christmas. Setiap kali membaca komik Donald Bebek yang ada cerita Natalnya, saya selalu berkhayal sembari berharap, kapan ya, saya akan merasakan hal tersebut? Ternyata impian masa kecil itu akhirnya kesampaian juga setelah menikah dengan Espen Rønnevik, pria berkewarganegaraan Norwegia, negara yang letaknya dekat dengan Kutub Utara. Setelah menikah, saya pindah ke negara asal suami.
Merasakan hujan salju untuk pertama kali saja rasanya saya tak percaya. Takjub! Di luar rumah, salju turun dengan deras dan udara sangat dingin, tapi di dalam rumah, saya amat menikmati kehangatan dan keceriaan berkumpul dengan keluarga di depan perapian. Selain itu, bagi warga yang tinggal di Norwegia bagian utara, salju tetap saja yang istimewa. Karena, warna putih salju membuat malam yang gulita menjadi bercahaya berkat pantulan sinar dari putihnya salju.
Saya, suami, dan keluarga besar suami sudah mulai menyambut Natal sejak tanggal 1 Desember, sama seperti kebanyakan warga Nasrani di Norwegia. Masa itu disebut masa Advent, yang berlangsung hingga 24 Desember. Selama masa Advent itu, kami mengisi kado-kado kecil berisi permen, cokelat, dan mainan. Kado-kado kecil ini diselipkan di kantung kecil dengan nomor urut 1 hingga 24. Dengan begitu, setiap hari anak-anak punya kesempatan membuka kado kecil hingga malam Natal tiba. Sungguh menyenangkan!
Malam Natal juga peristiwa yang ditunggu-tunggu. Kami datang ke gereja di bawah temperatur -10°C hingga 0°C. Tak heran bila banyak umat mengenakan bunad (pakaian tebal khas Norwega yang terbuat dari wol). Untunglah temperatur di dalam gereja cukup hangat. Sepulang dari gereja, kembali ada acara buka kado. Seru, kan?
Di Norwegia, tanggal 25 Desember disebut første juledag atau Natal hari pertama. Pada pagi hari, di gagang pintu kamar tidur kami sudah tergantung kaus kaki yang penuh dengan godteri atau aneka permen –kepada anak-anak disebutkan bahwa Sinterklas-lah yang mengirimnya. Acara selanjutnya adalah menonton film Askepott atau Cinderella yang entah kenapa selalu diputar di setiap Natal. Meski sudah dewasa, saya juga senang berpura-pura ada Sinterklas yang memberi kado.
Meskipun menyenangkan, white Christmas dan saling memberi kado Natal bukanlah prioritas utama. Bagi kami, bisa berkumpul bersama keluarga adalah hal yang jauh lebih berharga. Saat itu, mertua dan adik ipar saya yang tinggal di Oslo biasanya datang mengunjungi kami, sehingga rumah kami jadi ramai dan hangat. Tapi pada saat yang bersamaan, kadang saya malah jadi kangen dengan suasana Natal di Indonesia, meskipun jauh dari salju dan riuh rendah kado Natal. Setiap kali Natal tiba, rumah saya di Indonesia selalu ramai, karena keluarga saya punya tradisi open house. Banyak kerabat dan sahabat yang datang, sehingga rumah kami jadi ramai sekali. Sedangkan di Norwegia, kami hanya merayakannya bersama kerabat terdekat saja.
Merasakan hujan salju untuk pertama kali saja rasanya saya tak percaya. Takjub! Di luar rumah, salju turun dengan deras dan udara sangat dingin, tapi di dalam rumah, saya amat menikmati kehangatan dan keceriaan berkumpul dengan keluarga di depan perapian. Selain itu, bagi warga yang tinggal di Norwegia bagian utara, salju tetap saja yang istimewa. Karena, warna putih salju membuat malam yang gulita menjadi bercahaya berkat pantulan sinar dari putihnya salju.
Saya, suami, dan keluarga besar suami sudah mulai menyambut Natal sejak tanggal 1 Desember, sama seperti kebanyakan warga Nasrani di Norwegia. Masa itu disebut masa Advent, yang berlangsung hingga 24 Desember. Selama masa Advent itu, kami mengisi kado-kado kecil berisi permen, cokelat, dan mainan. Kado-kado kecil ini diselipkan di kantung kecil dengan nomor urut 1 hingga 24. Dengan begitu, setiap hari anak-anak punya kesempatan membuka kado kecil hingga malam Natal tiba. Sungguh menyenangkan!
Malam Natal juga peristiwa yang ditunggu-tunggu. Kami datang ke gereja di bawah temperatur -10°C hingga 0°C. Tak heran bila banyak umat mengenakan bunad (pakaian tebal khas Norwega yang terbuat dari wol). Untunglah temperatur di dalam gereja cukup hangat. Sepulang dari gereja, kembali ada acara buka kado. Seru, kan?
Di Norwegia, tanggal 25 Desember disebut første juledag atau Natal hari pertama. Pada pagi hari, di gagang pintu kamar tidur kami sudah tergantung kaus kaki yang penuh dengan godteri atau aneka permen –kepada anak-anak disebutkan bahwa Sinterklas-lah yang mengirimnya. Acara selanjutnya adalah menonton film Askepott atau Cinderella yang entah kenapa selalu diputar di setiap Natal. Meski sudah dewasa, saya juga senang berpura-pura ada Sinterklas yang memberi kado.
Meskipun menyenangkan, white Christmas dan saling memberi kado Natal bukanlah prioritas utama. Bagi kami, bisa berkumpul bersama keluarga adalah hal yang jauh lebih berharga. Saat itu, mertua dan adik ipar saya yang tinggal di Oslo biasanya datang mengunjungi kami, sehingga rumah kami jadi ramai dan hangat. Tapi pada saat yang bersamaan, kadang saya malah jadi kangen dengan suasana Natal di Indonesia, meskipun jauh dari salju dan riuh rendah kado Natal. Setiap kali Natal tiba, rumah saya di Indonesia selalu ramai, karena keluarga saya punya tradisi open house. Banyak kerabat dan sahabat yang datang, sehingga rumah kami jadi ramai sekali. Sedangkan di Norwegia, kami hanya merayakannya bersama kerabat terdekat saja.
Seperti diceritakan Cecilia Fenty Rønnevik kepada Monika Erika