
Kehadiran wine di meja makan Asia adalah gelombang terkini dalam perjalanan panjang kuliner. Jauh sebelumnya, gelombang sentuhan Asia dimulai lewat nouvelle. Gaya kuliner ini mendobrak metode memasak penuh aturan dan porsi besar ala Prancis dan menggantikannya dengan bahan dasar ringan dan sehat lewat tampilan mungil adaptasi kuliner Jepang. Selanjutnya muncul fusion yang menggabungkan bahan dasar dan elemen budaya Asia dan Barat menjadi sebuah kesatuan hidangan. Kini tren kuliner Asia menyajikan identitasnya secara utuh diikuti balutan konsep bersantap ala Barat –baik tata ruang, suasana, musik, dan wine sebagai minuman pengiring.
Melalui bukunya ‘Pairing Wine with Asian Food’, penulis sekaligus wine expert Edwin Soon mensyaratkan pemahaman atas empat faktor penting dalam hidangan Asia ketika akan dipadu dengan wine: komponen rasa, tekstur, sensasi, dan intensitas citarasa.
Komponen rasa Asia, menurut Soon, meliputi manis, asam, asin, dan pahit. Tekstur terasa lewat deskripsi ‘ringan’ pada hidangan ikan kukus, ‘kaya’ untuk kari daging bersantan, atau kasar melalui serbuk tumbukan kacang dalam saus. Sensasi tercipta lewat gigitan dan kecapan; segenggam kecil bawang putih cincang atau irisan cabai menambah kenikmatan hidangan. Letupan citarasa terwujud ketika sebuah hidangan menguarkan aroma serai atau buah mangga yang sangat kuat. Semua aspek ini perlu diperhatikan ketika memilih wine.
Selain keempat faktor tadi, Soon juga memperhitungkan metode memasak sebagai salah satu acuan pemilihan wine. Hidangan dikukus, dioseng, atau deep-fried cocok bersama dry wine jenis ringan (still dan sparkling) seperti Chardonnay dan Fino Sherry atau dry Riesling. Bagi penggemar daging panggang atau masakan daging berbumbu rempah seperti rendang atau saus krim, pilihlah red wine dengan kandungan tannin tinggi seperti Sparkling Shiraz dan Cabernet Sauvignon. Tannin pada wine bisa dirasa melalui rasa kering di mulut usai tegukan. Tannin memiliki kecenderungan mengikat protein dan lemak. Maka red wine, yang memiliki tannin lebih tinggi ketimbang white wine cocok untuk hidangan daging merah disertai saus atau bumbu berlemak.
Soon memberi beberapa tip untuk seafood. Hidangan Jepang berbahan mentah seperti sashimi dari ikan berlemak seperti tuna atau salmon dapat dipadu dengan red wine seperti Pinot Noir dan Burgundy. Namun sushi (hati-hati bila melumuri wasabi!), dengan komposisi ikan, udang, nasi, cuka, dan citarasa lemon, sebaiknya diiringi white wine seperti Chenin Blanc dan dry Riesling. Bagi penggemar kari ikan Masala (India), segelas white wine bercitarasa buah atau red wine dengan tannin rendah seperti sparkling Brachetto d’Acqui, menjadi pilihan Soon.
Soon menggarisbawahi sebagian bumbu dasar hidangan Asia yang kerap ‘bermasalah’ ketika hendak dipadu dengan wine. Cabai misalnya. “Alkohol dalam wine dan cabai bisa bertolak belakang. Kandungan capsaicin pada cabai membuat sensasi pedas di mulut, dan alkohol justru bisa memacu rasa pedas itu,” jelas Soon. Karena itu ia menyarankan wine dengan kandungan alkohol rendah atau yang bercitarasa manis atau ringan sebagai pilihan. Sengatan pedas terung balado semakin nikmat bila ditemani manisnya white wine Moscato, dan ayam taliwang didampingi red wine light body seperti Chinon (dari anggur Cabernet Franc).
Orang Asia juga gemar asam, jeruk limau, dan produk fermentasi seperti belacan atau terasi. Ketiganya memberi citarasa kuat sebuah hidangan. Ditambah sambal, maka beberapa hidangan menjadi sukar ‘ditandingi’ oleh wine. Maka untuk pendamping sayur asem, misalnya, Soon memilih Pinot Gris. Untuk para penikmat kimchi, Soon menyarankan sweet wine seperti Sherry atau Port dengan tambahan es.
Terakhir, Soon juga mengingatkan pentingnya penentuan peran wine di meja makan dalam proses pemilihan. “Apakah ia berfungsi melenyapkan rasa haus? Membantu meningkatkan selera? Atau justru sebaliknya, wine sebagai pusat acara, sementara hidangan hanya sebagai pelengkapnya?” lanjut Soon.
Jika sajian hidangan kaya rasa disertai aroma kuat, maka wine sebaiknya berperan sebagai pendamping yang ‘menuntaskan kelezatan. Sebagai pelengkap sambal petai, Soon memilih memadukan rose wine White Zinfadel. Mereka yang menyukai chilli crab, pilihan wine bercitarasa manis seperti Liqueur Muscat atau red wine Lambrusco direkomendasikan mampu menandingi kekayaan bumbu hidangan khas Singapura ini.
Melalui bukunya ‘Pairing Wine with Asian Food’, penulis sekaligus wine expert Edwin Soon mensyaratkan pemahaman atas empat faktor penting dalam hidangan Asia ketika akan dipadu dengan wine: komponen rasa, tekstur, sensasi, dan intensitas citarasa.
Komponen rasa Asia, menurut Soon, meliputi manis, asam, asin, dan pahit. Tekstur terasa lewat deskripsi ‘ringan’ pada hidangan ikan kukus, ‘kaya’ untuk kari daging bersantan, atau kasar melalui serbuk tumbukan kacang dalam saus. Sensasi tercipta lewat gigitan dan kecapan; segenggam kecil bawang putih cincang atau irisan cabai menambah kenikmatan hidangan. Letupan citarasa terwujud ketika sebuah hidangan menguarkan aroma serai atau buah mangga yang sangat kuat. Semua aspek ini perlu diperhatikan ketika memilih wine.
Selain keempat faktor tadi, Soon juga memperhitungkan metode memasak sebagai salah satu acuan pemilihan wine. Hidangan dikukus, dioseng, atau deep-fried cocok bersama dry wine jenis ringan (still dan sparkling) seperti Chardonnay dan Fino Sherry atau dry Riesling. Bagi penggemar daging panggang atau masakan daging berbumbu rempah seperti rendang atau saus krim, pilihlah red wine dengan kandungan tannin tinggi seperti Sparkling Shiraz dan Cabernet Sauvignon. Tannin pada wine bisa dirasa melalui rasa kering di mulut usai tegukan. Tannin memiliki kecenderungan mengikat protein dan lemak. Maka red wine, yang memiliki tannin lebih tinggi ketimbang white wine cocok untuk hidangan daging merah disertai saus atau bumbu berlemak.
Soon memberi beberapa tip untuk seafood. Hidangan Jepang berbahan mentah seperti sashimi dari ikan berlemak seperti tuna atau salmon dapat dipadu dengan red wine seperti Pinot Noir dan Burgundy. Namun sushi (hati-hati bila melumuri wasabi!), dengan komposisi ikan, udang, nasi, cuka, dan citarasa lemon, sebaiknya diiringi white wine seperti Chenin Blanc dan dry Riesling. Bagi penggemar kari ikan Masala (India), segelas white wine bercitarasa buah atau red wine dengan tannin rendah seperti sparkling Brachetto d’Acqui, menjadi pilihan Soon.
Soon menggarisbawahi sebagian bumbu dasar hidangan Asia yang kerap ‘bermasalah’ ketika hendak dipadu dengan wine. Cabai misalnya. “Alkohol dalam wine dan cabai bisa bertolak belakang. Kandungan capsaicin pada cabai membuat sensasi pedas di mulut, dan alkohol justru bisa memacu rasa pedas itu,” jelas Soon. Karena itu ia menyarankan wine dengan kandungan alkohol rendah atau yang bercitarasa manis atau ringan sebagai pilihan. Sengatan pedas terung balado semakin nikmat bila ditemani manisnya white wine Moscato, dan ayam taliwang didampingi red wine light body seperti Chinon (dari anggur Cabernet Franc).
Orang Asia juga gemar asam, jeruk limau, dan produk fermentasi seperti belacan atau terasi. Ketiganya memberi citarasa kuat sebuah hidangan. Ditambah sambal, maka beberapa hidangan menjadi sukar ‘ditandingi’ oleh wine. Maka untuk pendamping sayur asem, misalnya, Soon memilih Pinot Gris. Untuk para penikmat kimchi, Soon menyarankan sweet wine seperti Sherry atau Port dengan tambahan es.
Terakhir, Soon juga mengingatkan pentingnya penentuan peran wine di meja makan dalam proses pemilihan. “Apakah ia berfungsi melenyapkan rasa haus? Membantu meningkatkan selera? Atau justru sebaliknya, wine sebagai pusat acara, sementara hidangan hanya sebagai pelengkapnya?” lanjut Soon.
Jika sajian hidangan kaya rasa disertai aroma kuat, maka wine sebaiknya berperan sebagai pendamping yang ‘menuntaskan kelezatan. Sebagai pelengkap sambal petai, Soon memilih memadukan rose wine White Zinfadel. Mereka yang menyukai chilli crab, pilihan wine bercitarasa manis seperti Liqueur Muscat atau red wine Lambrusco direkomendasikan mampu menandingi kekayaan bumbu hidangan khas Singapura ini.
Mira Renata