
Mana kebenaran, mana dusta, kadang kita tidak bisa lagi membedakan. Benarkah kini kita semakin mahir berbohong?
Dari sudut pandang ilmu sosial, gambaran yang terjadi di masyarakat sesungguhnya adalah gambaran dari diri kita masing-masing. Menurut Erbe Sentanu, transformation coach dari Katahati Institute, kebenaran semestinya berjalan seiring dengan kejujuran, meskipun keduanya tak harus diumbar di depan publik. "Ada banyak kebenaran yang cukup kita simpan saja di dalam hati," kata pria yang akrab disapa Nunu itu. Karena itu pula ada istilah white lies. "Daripada kalau diungkapkan secara jujur malah bikin ribut besar, mendingan cukup kita sendiri yang tahu."
Selain itu, kebenaran juga bisa bersifat subjektif, tergantung dari sisi mana kita melihatnya dan kepada siapa kita berpihak. Seorang Robin Hood misalnya, di mata hukum, dia adalah seorang perampok yang pantas dihukum. Sedangkan bagi rakyat kecil, dia adalah pahlawan, karena dia membagikan hasil rampokannya kepada rakyat yang kelaparan.
Yang layak dipermasalahkan adalah bila sebuah kebohongan 'melukai' rasa keadilan masyarakat banyak. Misalnya, ketika seorang koruptor mampu membayar sejuta pengacara papan atas, para pengacara itu -yang biasanya pintar bicara, sangat persuasif, dan sangat menguasai pasal-pasal hukum- biasanya akan berusaha dengan berbagai cara mencari celah untuk membela kliennya, kalau perlu dengan cara memutar-balikkan fakta.
"Akhirnya yang kerap terjadi adalah siapa yang bersuara paling keras, dialah yang (lebih) didengar oleh orang banyak, dan pada akhirnya dialah yang dianggap benar. Yang seperti itu memang sungguh memprihatinkan," kata Nunu. Karena, mengutip Vladimir Lenin, mantan orang nomor satu Uni Soviet, bila kebohongan diucapkan begitu sering dan berulang-ulang, maka lama kelamaan kita akan mempercayainya sebagai kebenaran. Dan itu berbahaya.
Mungkin alasan itulah yang membuat banyak orang enggan mengungkapkan atau menerima kebenaran. Seorang istri yang suaminya berselingkuh akan suka menyalahkan 'sang wanita lain' yang dianggapnya rajin menggoda iman suaminya, ketimbang menerima kenyataan bahwa sang suami telah bersikap tidak setia kepadanya. Seorang ibu yang anaknya terjerumus dalam jeratan narkoba lebih suka menyalahkan semua pihak daripada mengakui dengan rendah hati bahwa dia memang telah 'kecolongan'. Ketika seorang ketua umum partai dinyatakan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus suap daging impor, rekan-rekan separtainya langsung bereaksi dengan meneriakkan bahwa penahanan sang ketua merupakan konspirasi penguasa -bahkan lebih jauh dari itu, konspirasi zionis.
Karena itu, mungkin ada baiknya kita belajar dari Ariel 'Peterpan' -sekarang Ariel Noah, dalam kasus video porno yang dilakukannya. Meski dihujat banyak orang, ia tak mau repot-repot mengelak, membela diri, atau melarikan diri -meksi juga tak pernah mengakuinya karena konon dilarang oleh pengacaranya. Dengan jantan ia menjalani hukumannya beberapa tahun kurungan penjara, plus hukuman sosial yang tak kalah berat. Kini, setelah menyelesaikan hukumannya, dengan penuh kerendahan hati ia kembali ke dunia musik, kembali naik panggung, dan ternyata masyarakat menerima kembali kehadirannya dengan tangan terbuka. Masyarakat telah memaafkannya, bahkan banyak yang respek kepadanya, karena dia dengan berani menerima hukumannya.
"Kebenaran memang terkadang menyakitkan. Tapi kalau terus menerus dihindari apalagi disangkal dengan kebohongan, bukan saja kita tidak belajar apa-apa, beban psikologisnya pun akan terus memberatkan hidup," tutur Nunu.
Dan percayalah, tambah Nunu, sebuah kebenaran -biarpun ditentang, dizalimi, ditutup-tutupi, atau diputarbalikkan- cepat atau lambat akan muncul juga ke permukaan dan memperlihatkan wujudnya. "Pada akhirnya, kebenaran sejati tetaplah ada pada hati nurani. Karena hati nurani adalah suara Tuhan. Peganglah itu, maka hidup kita akan damai."
Dari sudut pandang ilmu sosial, gambaran yang terjadi di masyarakat sesungguhnya adalah gambaran dari diri kita masing-masing. Menurut Erbe Sentanu, transformation coach dari Katahati Institute, kebenaran semestinya berjalan seiring dengan kejujuran, meskipun keduanya tak harus diumbar di depan publik. "Ada banyak kebenaran yang cukup kita simpan saja di dalam hati," kata pria yang akrab disapa Nunu itu. Karena itu pula ada istilah white lies. "Daripada kalau diungkapkan secara jujur malah bikin ribut besar, mendingan cukup kita sendiri yang tahu."
Selain itu, kebenaran juga bisa bersifat subjektif, tergantung dari sisi mana kita melihatnya dan kepada siapa kita berpihak. Seorang Robin Hood misalnya, di mata hukum, dia adalah seorang perampok yang pantas dihukum. Sedangkan bagi rakyat kecil, dia adalah pahlawan, karena dia membagikan hasil rampokannya kepada rakyat yang kelaparan.
Yang layak dipermasalahkan adalah bila sebuah kebohongan 'melukai' rasa keadilan masyarakat banyak. Misalnya, ketika seorang koruptor mampu membayar sejuta pengacara papan atas, para pengacara itu -yang biasanya pintar bicara, sangat persuasif, dan sangat menguasai pasal-pasal hukum- biasanya akan berusaha dengan berbagai cara mencari celah untuk membela kliennya, kalau perlu dengan cara memutar-balikkan fakta.
"Akhirnya yang kerap terjadi adalah siapa yang bersuara paling keras, dialah yang (lebih) didengar oleh orang banyak, dan pada akhirnya dialah yang dianggap benar. Yang seperti itu memang sungguh memprihatinkan," kata Nunu. Karena, mengutip Vladimir Lenin, mantan orang nomor satu Uni Soviet, bila kebohongan diucapkan begitu sering dan berulang-ulang, maka lama kelamaan kita akan mempercayainya sebagai kebenaran. Dan itu berbahaya.
Mungkin alasan itulah yang membuat banyak orang enggan mengungkapkan atau menerima kebenaran. Seorang istri yang suaminya berselingkuh akan suka menyalahkan 'sang wanita lain' yang dianggapnya rajin menggoda iman suaminya, ketimbang menerima kenyataan bahwa sang suami telah bersikap tidak setia kepadanya. Seorang ibu yang anaknya terjerumus dalam jeratan narkoba lebih suka menyalahkan semua pihak daripada mengakui dengan rendah hati bahwa dia memang telah 'kecolongan'. Ketika seorang ketua umum partai dinyatakan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus suap daging impor, rekan-rekan separtainya langsung bereaksi dengan meneriakkan bahwa penahanan sang ketua merupakan konspirasi penguasa -bahkan lebih jauh dari itu, konspirasi zionis.
Karena itu, mungkin ada baiknya kita belajar dari Ariel 'Peterpan' -sekarang Ariel Noah, dalam kasus video porno yang dilakukannya. Meski dihujat banyak orang, ia tak mau repot-repot mengelak, membela diri, atau melarikan diri -meksi juga tak pernah mengakuinya karena konon dilarang oleh pengacaranya. Dengan jantan ia menjalani hukumannya beberapa tahun kurungan penjara, plus hukuman sosial yang tak kalah berat. Kini, setelah menyelesaikan hukumannya, dengan penuh kerendahan hati ia kembali ke dunia musik, kembali naik panggung, dan ternyata masyarakat menerima kembali kehadirannya dengan tangan terbuka. Masyarakat telah memaafkannya, bahkan banyak yang respek kepadanya, karena dia dengan berani menerima hukumannya.
"Kebenaran memang terkadang menyakitkan. Tapi kalau terus menerus dihindari apalagi disangkal dengan kebohongan, bukan saja kita tidak belajar apa-apa, beban psikologisnya pun akan terus memberatkan hidup," tutur Nunu.
Dan percayalah, tambah Nunu, sebuah kebenaran -biarpun ditentang, dizalimi, ditutup-tutupi, atau diputarbalikkan- cepat atau lambat akan muncul juga ke permukaan dan memperlihatkan wujudnya. "Pada akhirnya, kebenaran sejati tetaplah ada pada hati nurani. Karena hati nurani adalah suara Tuhan. Peganglah itu, maka hidup kita akan damai."
Tina Savitri