
“Kadang mereka lebih sensitif dari para hearing, jadi kita memang perlu ‘mendengar’ mereka. Dan mereka juga akan mengapresiasi upaya kita memahami bahasa mereka,” jelas Dissa Syakina Andanisa (25), pendiri Deaf Café Fingertalk. Sebenarnya saya sendiri tipe orang yang tak sabaran, tapi ketika Frisca (25), salah seorang pramusaji di Fingertalk, dengan gigih menjelaskan menu dan membawakan pesanan saya, rasanya menyenangkan bisa membantunya menaikkan kepercayaan dirinya.
Café ini memang tak luas, tapi nyaman dan suasananya rumahan. Ternyata, bangunan café ini memang tadinya adalah bagian dari rumah mantan ketua Gerakan Kesejahteraan untuk Tunarungu Indonesia (GERKATIN) yang akrab disapa Bu Pat. Dissa langsung menemuinya di bulan Desember 2014 lalu. Ia mengutarakan idenya ini, mempertemukan komunitas tunarungu dan orang-orang yang mendengar (hearing). Tim pun segera dibentuk dan para pramusaji direkrut dengan rekomendasi-rekomendasi dari Bu Pat sendiri. Akhirnya, 3 Mei 2015 kemarin Deaf Café Fingertalk resmi dibuka.
Berbuat baik tak harus berbuat hal hal yang super. Kalau Dissa bisa membangun Fingertalk dalam beberapa bulan saja, Anda pun bisa memupuk empati lagi di akhir pekan. Kalau biasanya Anda didengar, kali ini giliran Anda yang mendengar. Sekadar mendengar dengan tulus saja tentu bukan hal yang merugikan, bukan?
Deaf Café Fingertalk
Jalan Pinang No. 37 RT 001 RW 014
Tangerang Selatan, Banten
Mardyana Ulva