
Trauma adalah benturan psikologis di masa lalu yang meninggalkan luka jiwa pada sesorang yang tak kunjung sembuh. Benturan itu bisa dahsyat seperti mengalami kecelakaan yang menyebabkan kecacatan permanen atau mengalami pelecehan seksual di masa kecil. Tapi bisa juga penyebabnya terhitung 'sepele', seperti sering dikatai 'gendut' oleh teman-temannya. Bisa saja di permukaan sepertinya sudah sembuh dan normal, tapi sebenarnya luka itu masih berdarah di dalam. Bila trauma itu tidak disembuhkan sampai tuntas, maka bila suatu saat kita berhadapan lagi dengan kondisi yang sama atau mirip, trauma itu akan kembali 'menyergap' di ujung jalan, dengan cara menyeruak ke permukaan dan kembali menyengatkan rasa sakit. Mungkin karena itu trauma sering disebut the sleeping monster dan membuat seseorang sulit move on.
Mengapa ada orang-orang yang hidupnya terus berkubang dalam masalah dan kesedihan, serta sulit untuk move on? Sementara di tempat lain ada orang-orang yang relatif lebih mudah bangkit dari masalah dan melanjutkan hidup dengan normal?
"Selain kadar trauma yang berbeda-beda dan seberapa lama dipendam, karakteristik dan pola asuh yang diterima seseorang selama ini ikut menentukan bagaimana ia bersikap dalam menghadapi masalah hidup. Meskipun begitu, trauma dalam kadar dan bentuk apa pun sebaiknya diurai untuk kemudian disembuhkan agar tidak menghambat kita untuk meraih kebahagiaan dan menjalani hidup yang berkualitas," saran psikolog dan konselor Toto Subagyo. Menyimpan trauma sendirian dengan harapan waktu akan mengobati luka mungkin bisa menyembuhkan trauma, tapi biasanya hanya sembuh di permukaan. Orang yang memendam trauma juga bisa sukses dalam berbagai bidang, tapi biasanya ada ruang dalam jiwanya yang kosong dan tersiksa.
Dalam bukunya yang yang berjudul Death and Dying, Elizabeth Hubler Ross mengatakan, ada lima tahapan sebagai proses mengatasi trauma -penyangkalan atau pengingkaran (denial), marah (anger), mengasihani diri sendiri, tawar-menawar dan tarik ulur -biasanya dengan Tuhan (bargaining), depresi (depression), sebelum akhirnya sampai ke tahap menerima (acceptance).
Bila kita sudah berhasil mencapai tahapan ini, yaitu menerima kenyataan dengan ikhlas, barulah kita bisa membebaskan diri dari cengkeraman monster tersebut. Bila kita akhirnya bisa memaafkan seseorang atau situasi yang pernah melukai hati atau menghancurkan hidup kita, maka maaf itu bukan lagi sekadar di mulut, tapi benar-benar keluar dari hati. Masa lalu tidak untuk dilupakan dan kita tetap bisa sesekali menengoknya, termasuk masa lalu yang gelap, tetapi untuk menari pelajaran hidup darinya. Dan yang lebih penting, kita tidak lagi merasa kesakitan. Syukur-syukur malah sudah bisa menertawakannya.
Namun tentu saja proses tersebut tidak gampang.
"Ada orang yang bahkan tidak mau beranjak drai tahap pengingkaran atau marah, maunya hanya berputar-putar terus di sana," jelas Toto.
Bantuan yang tulus dari orang-orang terdekat misalnya keluarga, sahabat, pemuka agama (bila memang religius), atau komunitas bisa membantu menyembuhkan trauma. Namun bila trauma yang dialami terhitung berat, baik penyebab atau akibatnya, maka bantuan profesional seperti psikiater, atau spiritual healer bersertifikat sangat dibutuhkan. Baru setelah trauma tersbeut berhasil diatasi, kita bisa menyarankan seseorang untuk move on.
Tina Savitri